Loading

Aku menengadah menatap langit, lalu dengan tekad kuat aku menggangguk pasti. Aku tersenyum ke arah Riani dan menariknya kembali ke rumah tadi.

“Nah, ini baru Vera yang aku kenal.”

***

Sudah dari 1 jam aku mengetuk dan menunggu di depan pintu ini. Tapi, tak ada jawaban sama sekali. Riani yang berjanji akan membantuku, bahkan sudah tertidur pulas di sebuah kursi taman yang lumayan jauh dari tempatku berdiri. Aku menghela napas, hampir menyerah. Kalau tidak ingat tujuanku ke sini, mungkin aku akan lebih memilih pulang daripada menunggu sampai tangan ku memerah karena tak henti mengetuk pintu di depanku.

Aku duduk di teras rumah. Putus asa rasanya.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”

Aku mendongak, kaget ketika mendengar suara berat seorang pria yang berdiri di hadapanku. Aku bergegas bangkit dari dudukku, sambil sedikit merapikan jilbabku.

“Maaf, apa benar ini rumah Revan Rahardian?” Kulihat Riani berjalan mendekat.

“Iya benar. Kalau boleh tahu, saya sedang bicara dengan siapa, ya?”

“Saya Vera, adiknya. Apa Revan ada di dalam?”

“Oh adiknya. Biar saya cek sebentar” Ia pamit, kemudian masuk ke rumah tersebut.

Aku menunduk lagi. Riani menarik tanganku dan menggenggamnya erat. Ia mengangguk yakin. Ini waktunya.

“Silahkan masuk. Revan sakit dan sekarang sedang istirahat di kamarnya.”

“Ohh, begitu.”

“Karena kamu adiknya. Saya percayakan kamu untuk menjaga Revan, sementara saya pergi keluar sebentar. Apa tidak merepotkan?”

“Tidak masalah. Apa saya sedang bicara dengan temannya?”

“Ahh iya, saya Aldo, temannya. Kamar Revan ada di atas, cari saja. Kalau begitu saya pergi dulu.”

Aku melangkah menaiki anak tangga satu persatu. Tapi, tiba di pijakan anak tangga ke tiga, aku menoleh ke belakang dan menemukan sosok Riani yang masih berdiri mematung di depan pintu.

“Rin, kamu tidak ikut naik ke atas?”

“Nggak, aku di sini saja. Aku tak ingin mengganggu.” Ia melangkah dan menghempaskan tubuhnya di sofa.

Aku tersenyum.

“Cepat sana naik.” Ia mengibas-ngibaskan tangannya, mengusir.

Aku melanjutkan langkahku menaiki anak tangga. Setiba di lantai atas, ku temukan dua buah kamar. Aku mencoba mengetuk pintu kamar yang terdekat dari tempat ku berdiri. Tak ada jawaban. Ku putar kenop pintu, lalu sedikit mengintip. Tak ada siapa-siapa.

Aku melangkah ke arah pintu kamar kedua yang terbuka sedikit. Dari situ dapat kulihat sesosok tubuh di atas tempat tidur yang kuyakini adalah Kak Revan.

Aku membuka pintu lebih lebar dan masuk dengan langkah pelan. Kak Revan tidur dan yang dapat kulakukan adalah duduk di tepi tempat tidur sambil berharap Kak Revan bangun dan mau berbicara denganku.

“Kak,” Ku sentuh tangan nya.

Aku menunggu. Kak Revan belum juga bangun dari tidurnya. Rasanya tak tega harus membangunkan kakak yang kelihatan sangat lelah. Dalam hati, aku berharap Kak Revan bangun tanpa harus aku bangunkan terlebih dahulu.

Tangan Kak Revan yang kini sudah berada dalam genggamanku bergerak perlahan. Kujauhkan tangangku. Matanya mengerjap, silau akan cahaya matahari yang menerobos masuk dari gorden yang terbuka. Mata kami bertemu. Keringat dingin dan tangan yang bergetar, aku gugup.

“Kak,” Aku menghela napas, sadar sedari tadi kalau aku menahannya.

“Vera,” Ia berkata lirih.

“Kenapa kamu bisa di sini? Siapa yang mengijinkanmu masuk?” Kakak berkata tajam sambil mengalihkan pandangannya dari ku.

“Tadi, kebetulan ada teman kakak di depan. Aku langsung di suruh masuk begitu dia tahu kalau aku adikmu, Kak.” Aku berusaha untuk tetap tegar, seolah merasa biasa dengan nada tajamnya.

“Oh, jadi, apa tujuanmu ke sini?” Kakak berusaha bangkit untuk duduk.

“Aku ingin bicara, Kak” Kataku tegas.

[Hanifa Sabila, santriwati jenjang SMP angkatan ke-2, Pesantren Media]

By Hanifa Sabila

Hanifa Sabila | Santriwati angkatan ke-2 jenjang SMP, kelas 2 | @hanifasabila21 | Asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *