“Aku ingin bicara, Kak” Kataku tegas.
“Kalau kau ingin membicarakan tentang kematian mereka, lebih baik pulang saja. Aku sedang tidak ingin berdebat lagi denganmu.” Jelas sekali aku mengerti arti kata ‘mereka’ yang Kak Revan ucapkan.
“Itu termasuk hal yang ingin ku bicarakan denganmu. Tapi, kuharap kali ini Kakak bisa meluangkan sedikit waktu Kakak,”
Kak Revan tetap diam.
“Aku ingin penjelasanmu, Kak. Penjelasan tentang semuanya. Termasuk tentang kebahagiaan itu.”
“Bukankah sudah jelas, Vera. Tuhan mengambil semuanya dari kita, dan aku benci Tuhan. Aku tidak percaya Tuhan. Semua sudah jelas. Tidak ada yang perlu di jelaskan lagi.” Kakak menekankan setiap perkataanya sambil memandangku tajam.
Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku.
“Kalau maksud kedatanganmu ke sini hanya untuk menceramahiku. Jangan harap aku akan mendengarnya, Vera.”
Aku menengadahkan kepala menatap langit-langit kamar sambil menggigit bibir dengan kuat, berusaha menahan tangisku.
“Kak, apa tidak bisa seperti dulu? Dulu sekali, sebelum kejadian yang merenggut orang tua dan Kakak kita? Apa tidak bisa kita kembali ke saat-saat itu? Saat-saat semuanya masih normal. Di saat Kakak tidak menganggapku orang lain seperti ini? Sebernanya aku tidak mengerti masalah kita ini.”
“Semua sudah berubah, Vera.”
“Ya, aku tahu itu. Tidak perlu di jelaskan, aku sudah mengerti. Semua memang sudah berubah. Orang tua kita sudah tidak ada, Kak Rahman juga sudah pergi, dan sekarang, satu-satunya orang yang bisa dan kuharapkan ada sisiku malah ikutan-ikutan ingin pergi dari ku. Menjauh. Semuanya memang sudah berubah, Kak.”
“Lebih baik kamu keluar, Vera.”
Kak Revan menatapku dingin dan menunjuk ke arah pintu yang tepat di belakangku. Aku menggeleng. “Aku akan tinggal di sini, dan aku berharap kakak tidak keberatan”
“Keluar, Vera!” Ucapan bernada tinggi tersebut, tak membuatku keder. Aku tahu, dalam hati kakak pasti mengizinkan.
***
Revan (dalam kesendiriannya)
Aku menatap pintu kamar yang tertutup. Vera sudah keluar. Tak tega rasanya sudah mengusir Vera seperti tadi. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tak ingin berdebat dengannya, yang ujung-ujungnya akan membuatku emosi. Ini demi kebaikan Vera juga. Maafkan aku, Vera.
Aku membuka perlahan laci meja kecil di samping tempat tidurku. Tanganku berusaha mencari sesuatu di dalam sana. Sebuah amplop berwarna putih bersih. Ku keluarkan sebuah kertas dari dalam amplop tersebut. Kubuka lipatan kertas dan mulai membaca isinya.
Walau sudah membacanya berulang kali, tetap saja perasaan sedih itu serasa mencengkramku. Aku menengadah, berusaha keras untuk menahan air mataku. Tapi, sekuat apapun, seberusahanya diriku, tetap saja tetesan itu mengalir. Aku segera mengahapus air mataku dengan kasar.
Tanganku gemetar ketika menyisipkan kembali kertas tadi ke dalam amplop, lalu memasukkannya ke laci meja. Aku keluar dari kamar menuju dapur di lantai dasar.
***
[Hanifa Sabila, santriwati jenjang SMP angkatan ke-2, Pesantren Media]