Bagi santri baru, kehidupan di pondok adalah kehidupan yang baru. Ketika di rumah, sering bertemu dengan orang tua, kini yang paling sering bertemu dengan mereka adalah teman senasib seperjuangan dalam menuntut ilmu. Guru yang tinggal di pondok, juga sering bertemu. Walau bukan orang tua kandung, tetapi guru adalah seperti orang tua, mendidik dan membimbing.
Kebiasaan di rumah nyaris berbeda jauh dengan kehidupan di pondok. Bagi santri yang pernah mondok sebelumnya, tentu akan merasakan perbedaan, meski tak begitu jauh, kehidupan di pondok yang baru. Ada perasaan canggung karena punya teman baru, perasaan sedih karena tak bisa setiap hari bertemu orang tua, perasaan galau karena harus mencuci sendiri, mengatur jatah uang saku yang diberikan orang tua, dan banyak perasaan lainnya.
Memulai hidup baru memang tak mudah, tetapi bukan berarti semuanya jadi susah, sehingga yang ditampilkan hanya kesengsaraan. Jadikan ini sebagai ajang latihan menempa diri. Ya, menempa diri dalam kemandirian, tanggung jawab, komitmen, dan amanah yang diberikan orang tua. Berat memang, tetapi itu adalah konsekuensi yang harus diterima dalam meraih cita-cita. Semoga dimudahkan dan dilancarkan, ya!
Kesabaran dan kesungguhan menjadi modal utama dari kesiapan modal lainnya secara materi. Mengapa? Karena meski secara finansial disuplai orang tua secara berlebih, namun jika tak sabar dan tak bersungguh-sungguh dalam belajar, akan menjadi sia-sia. Itu sebabnya, jika kesabaran dan kesungguhan sudah tertanam kuat dalam tekad, maka segala rintangan akan dihadapi demi wujudkan cita-cita mulia. Meski uang kiriman orang tua pas-pasan, meski fasilitas belajar belum lengkap, ia akan berusaha dengan kesabaran dan kesungguhan untuk tetap dan terus belajar. Akan tetap semangat!
Para santri harus bisa bersabar. Sebab, kesabaran akan menumbuhkan kebahagiaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS al-’Ashr [103]: 1-3)
Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas)
Oya, dalam hadits di atas, riwayatnya adalah mu’allaq dengan nada tegas. Sedikit dijelaskan bahwa mu’allaq secara bahasa artinya tergantung. Pengertian secara istilah, yakni hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya pada awal sanad secara berturutan.
Nah, bila belajar hadits, nanti akan ditemukan penjelasan bahwa hukum hadits mu’allaq dalam Shahih Bukhari dan Muslim, jika diriwayatkan dengan tegas dan jelas, yaitu dengan sighat jazm (kata kerja aktif), seperti: qaala (dia telah berkata), dzukara (dia telah menyebutkan), dan haaka (dia telah bercerita); maka haditsnya dihukumi shahih.
Intinya, kesabaran itu berbuah kebaikan, berbuah kebahagiaan. Jadi, tetap sabar, ya. Nah, bagaimana dengan kesungguhan? Tentu saja, kesungguhan juga menjadi modal dalam mencari ilmu. Santri yang belajar dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan ilmu dan manfaat dari belajarnya. Insya Allah.
Kesungguhan biasanya diwujudkan dengan semangat. Tidak malas dan tidak putus asa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Semangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu, minta tolonglah pada Allah, dan jangan malas (patah semangat).” (HR Muslim no. 2664)
Al Junaid rahimahullah,
ما طلب أحد شيئا بجد وصدق إلا ناله فإن لم ينله كله ناله بعضه
“Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran, melainkan ia akan meraihnya. Jika ia tidak seluruhnya, ia pasti meraih sebagiannya.”
Ketika Imam Ahmad bin Hambal masih usia belia, adakalanya beliau sudah keluar menuju halaqah para ulama sebelum Shubuh. Ibunya saat itu mengambil bajunya dan mengatakan–sebagai tanda sayang pada Imam Ahmad–, “Tunggu saja sampai suara adzan dikumandangkan atau tiba waktu Shubuh.”
Luar biasa. Semoga para santri tetap semangat meraih ilmu dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Kesabaran dan kesungguhan dalam memulai hidup baru di pondok, insya Allah akan mendorong kalian untuk menjadi pribadi yang lebih baik: iman ditingkatkan, takwa dikuatkan, kesabaran dan kesungguhan ditunjukkan. Meski jauh dari orang tua, harus mandiri, harus berbagi dengan teman-teman senasib seperjuangan, tetapi gairah untuk mendapatkan ilmu tetap menyala di dada. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kalian.
Salam,
O. Solihin
Mudir Pesantren Media