Hahahah… Hahahah…
“Itu suara siapa? Kok malam-malam gini ramai sekali, nggak sopan!” Aku menutup buku pelajaran yang aku baca. Kemudian aku beranjak dari meja belajarku menuju ruang tamu.
“Ternyata seru ya ngobrol sama Nak Willy,” itu suara ibu.
“Willy? Siapa dia?” Aku mengintip dari balik gorden yang terpasang di antara tiang menuju ruang tamu. Ada kakak duduk berhadap-hadapan dengan lelaki yang nggak aku kenal, sementara ibu duduk di samping lelaki itu. “Masya Allah, sudah jam 22.25!” Kemudian aku menengok jam yang di letakan di atas buffet kristal-kristal dan keramik hiasan.
Aku sedih dengan semua ini, kenapa keluargaku berbeda dengan keluarga temanku? Mereka sangat kuat menjaga sendi-sendi islam. Aku kenal dengan keluarga temanku. Tak akan mungkin mereka membiarkan anak perempuannya bergaul dengan laki-laki yang bukan mahromnya. Apalagi membawanya ke rumah seperti itu.
“Lho kok Kiki belum tidur?” Aku terperanjat kaget, tiba-tiba ayah ada di hadapanku tanpa aku sadari.
“Ayah, kenapa ada laki-laki yang bukan mahrom di rumah kita, lihat ayah ini sudah jam berapa?” Aku menatap ayah dengan kecewa. “Kenapa ayah membiarkan kakak bergaul seperti itu? Kenapa ayah membiarkan ibu menerima tamu laki-laki yang bukan mahrom?” Pertanyaanku membuat ayah tak bisa berkata apa-apa.
….
“Dek bangun, ke masjid yuk?” Aku membangunkan adik bungsuku yang masih mendengkur.
“Emang ini jam berapa Kak?” Dia menggeliat tapi matanya masih merem.
“Udah jam empat, sebentar lagi adzan shubuh! Segera mandi!” Dia malah menutup dirinya dengan selimut. “Bangun sayang!” Aku menggendong dia ke kamar mandi.
Aku memang dekat dengan adikku yang itu. Kalau dengan adik pertamaku, kami tidak terlalu dekat, dia sangat tertutup, berbicarapun seperlunya. Biasanya setelah pulang sekolah, kalau tidak main pasti mengurung diri di kamarnya. Entahlah aku tidak tahu apa yang dilakukannya.
Kalau dengan kakak, aku tidak dekat. Mungkin karena perangai kami saling bertolak belakang.
Kalau kakakku suka berhias diri, aku lebih suka tampil apa adanya. Termasuk dalam bergaul, kakakku lebih suka bergaul dengan lawan jenis, katanya “lebih nyaman dan merasa ada yang melindungi”. Kakakku suka jalan-jalan, sedangkan aku lebih suka berdiam diri di rumah.
…..
“Kayak kakakmu dong Ki, udah punya pacar. Kamu kapan punya pacarnya?” Selalu itu yang ibu ucapkan. Aku sedih sekali.
“Ibu, dalam islam itu nggak ada yang namanya pacaran. Pacaran itu haram Bu, karena aktifitasnya menjerumuskan semua,” aku mencoba memberi tahu ibu.
“Alah! Ngomong aja nggak laku!” Kakakku sewot. “Jangan sok alim deh kamu!” Kak Wafa menarik kerudung yang aku kenakan.
“Tapi itu memang benar Kak! Kiki sayang sama Kakak, Kiki mohon Kak, segera kembalilah ke jalan Allah. Kiki takut Kak Wafa kenapa-kenapa,” Aku berusaha menasihatinya. Aku kecewa ibu hanya diam saja.
“Kak Wafa sama Kak Kiki kenapa sih! Berisik! Ini lagi makan!” Fikar menggebrak meja makan.
“Sudah! Cuma masalah gitu aja kok sampe bertengkar,” ayah menengahi. “Jadi nggak nafsu makan,” ayah kemudian pergi tanpa pamit.
“Fikar pergi!” Dengan raut muka yang marah, dia pamitan tanpa mencium tangan ibu dan kakaknya. Aku bisa mengerti kenapa dia bisa semarah itu. Karena bukan kali pertama aku berdebat dengan Kak Wafa, melainkan hampir tiap hari.
“Gara-gara kamu! tahu ah! Males!” Kakakku pun berlalu. Tinggallah aku berdua dengan ibu di ruang makan.
….
Aku benar-benar nggak habis pikir. Kedua orang tuaku sudah naik haji. Lalu apa gunanya mereka berhaji, kalau akhirnya seperti ini. Bukankah orang yang sudah berhaji berarti dia tahu banyak tentang islam? Entahlah aku tidak tahu.
“Kenapa nggak ada suasana islami di dalam rumahku?” Aku bergumam.
“Assalamu’alaykum?” Sapaan itu aku mengenalnya. Itu adalah suara Aisyah sahabatku. Ia masih mengenakan seragam putih abu-abu.
“Wa’alaykum salam,” aku tertunduk sedih.
“Kenapa Qirani?” Aisyah mendekatiku dan duduk di sampingku.
“Aku iri sama keluargamu Aisyah. Kamu hidup dalam keluarga yang sederhana tapi kamu beruntung mempunyai keluarga yang mengerti islam, aku melihatnya selalu harmonis. Hubunganmu dengan kakakmu juga baik-baik aja,” Aku lipat tanganku di atas meja dan menundukkan wajahku.
“Ki, setiap manusia itu sudah tertuliskan takdirnya seperti apa di dunia ini. ketika kita menerima ujian dari Allah, itu karena Allah tahu kita mampu menghadapinya. Allah menurunkan kita satu kesulitan tapi di samping kesulitan itu Allah memberikan kita dua kemudahan. Percayalah,, kamu pasti bisa Ki,” Kata-kata Aisyah membuat aku bersemangat.
“Sambil menunggu jam dua, mending kita ke rumahku yuk? Kebetulan Abiku baru datang dari desa,” Aisyah. Nama yang cocok untuknya. Dia pantas mendapatkan nama itu. Lembut nan anggun, seperti sayyidah Aisyah ra.
Drrt… drrt.. drrt…
“Syah bentar ya ada yang nelepon?” Aku segera mengangkat telepon dari handphone yang nomornya nggak aku kenal.
“Wa’alaykum salam, iya benar saya kakaknya Fikar. Iya baik saya akan segera ke sana Bu,” Aku jadi khawatir, sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Fikar.
“Ada apa Ki?” Aku hanya menggeleng.
“Aisyah main ke rumahmu lain kali aja ya, aku mau pergi ke SMP tempat sekolahnya Fikar,” tanpa memandang ke arah Aisyah, aku pun segera pergi dan menyetop angkot.
“Ki ingat lho jam dua kita ada les matematika!” Aku tak menghiraukannya.
…
Setibanya di sekolah Fikar, aku langsung mencari ruang BP. Hatiku mulai tak enak, aku yakin telah terjadi sesuatu padanya. Dari nada suara gurunya pun terdengar marah.
“Assalamu’alaykum?” Aku melihat beberapa anak seusia Fikar sedang dimarahi. Sepertinya itu guru BP. Tapi aku tak melihat Fikar. Ke qmana dia.
“Wa’alaykum salam, anda kakaknya Dzulfikar, silakan?” Aku dipersilakan duduk.
“Iya betul, maaf Bu, ada apa dengan adik saya, di mana dia sekarang?” Mataku terus mencarinya, dia tidak ada di antara temannya itu.
“Dia sekarang sedang ada di kantor, mari saya antar.” Aku dan ibu itu segera menuju kantor kepala sekolah.
“Fikar?” Aku menatapnya tajam. Dia menunduk.
“Apa yang sudah dia lakukan Bu?” Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan ke inti permasalahannya.
“Fikar kepergok ciuman dengan teman perempuannya di kamar mandi dan ketika ada razia, di hapenya banyak video porno,” Kepala sekolahnya memperlihatkan hape Fikar kepadaku. “Belum kami hapus, supaya menjadi pembuktian, silakan periksa,” lanjutnya kemudian.
“Masya Allah Fikar, kakak kecewa sama kamu!” Hatiku hancur. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku benci dengan semua ini.
“Dia dikenakan sanksi, tidak boleh sekolah selama dua minggu, silakan tanda tangan,” Aku sakit mendengar kalimat ini dari kepala sekolahnya.
….
“Biarin aja lah Ki, dia masih anak-anak. Wajar aja kalau masih suka main-main gitu sama temannya,” begitulah jawaban Ibuku saat aku memberi tahu Fikar belum pulang, padahal waktu itu sudah larut malam. Perkataan ibu itu terngiang-ngiang di telingaku.
“Ibu, seperti inikah yang ibu inginkan?” Aku bergumam pilu.
Aku bingung harus melakukan apa, di perjalanan pulang menuju rumah aku hanya diam. Fikar beberapa kali meminta maaf padaku, tapi aku tak menjawab apa-apa. Aku terlalu kecewa.
“Kak Kiki!” Adik bungsuku keluar dan langsung memelukku. “Kakak kok lama pulang sekolahnya, Dedek kan takut sendiri di rumah,” aku tersenyum dengan agak terpaksa.
“Fatih sama Abang dulu ya? Kakak capek.” Aku berjalan gontai ke kamar. Air mata yang sedari tadi aku tahan, akhirnya pecah juga.
….
Setelah Ayah pulang dari kantor, aku segera mengumpulkan semua anggota keluargaku di ruang tengah. Aku ingin berbicara kepada mereka. Terima atau tidak, yang penting aku sudah menyampaikannya. Hanya Kak Wafa yang tidak ada.
“Kiki mau menyampaikan apa? Ayah capek Nak, baru pulang kerja,” Ayahku duduk di kursi dekat telepon rumah.
“Kalau alasan Ayah seperti itu terus, kapan Ayah mau memperhatikan anak-anak Ayah?” Aku mulai emosi. Semuanya terdiam. “Ayah nggak tahu kan tadi siang ada sesuatu yang terjadi pada salah satu anggota keluarga ini!” Aku berkaca-kaca. Kemudian aku menoleh ke arah Fikar. Fikar menatapku menyesal.
“Kiki! Kamu kok bentak-bentak Ayah!” Ibu membentakku. “Kamu mau jadi anak durhaka?” Ibu mengernyitkan dahi dan gelengkan kepalanya.
“Maaf Bu, Kiki mau cerita tentang kisah Anak durhaka yang diadukan pada Umar Bin Khaththab yang dicap sebagai anak durhaka,” aku tersenyum tipis.
“Suatu hari ada seorang laki-laki, dia mengadukan anaknya yang katanya durhaka. Kemudian apa yang dikatakan si anak itu? “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak-hak bapak kepada anaknya itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku ju’al yang artinya kumbang kelapa, dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari Al-Kitab (Al-Quran),” aku menatap mereka satu persatu.
“Kemudian Sayyidina Umar mengatakan, engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu. “Sedikit lega, sebrtulnya sudah lama aku ingin menyampaikan ini pada mereka. Sudah lama aku ingin menceritakan kisah ini pada mereka. Aku berharap mereka mengerti.
“Lalu Kiki maunya apa?” Tanya Ayahku lembut.
“Luangkan waktu untuk memperhatikan kami, Ayah.” aku menatap Ayah penuh harap.
“Ayah kan sudah memperhatikan kamu. Ayah bekerja untuk kalian, membiayai sekolah kalian, pakaian kalian, kebutuhan kalian sehari-hari,” Ayah menjabarkannya satu persatu.
“Ayah, kami bukan hanya butuh itu. Kami butuh….perhatian.” aku bicara terbata-bata. “Jangan sibuk terus dengan dunia, Ayah. Sungguh, kami masih butuh didikan dari Ayah dan Ibu.” Aku mulai menangis.
Ayah hendak menyela. Tapi kulihat ibu menyentuh lengan ayah. Menahannya untuk bicara.
Ayah menghela napas panjang.
“Ibu tahu kenapa di televisi banyak yang memberitakan masalah korupsi? Itu semua tidak akan terjadi kalau istri-istrinya sholihah bu. Bukankah ibu yang dulu memberi tahu kiki, kalau wanita itu pilarnya dunia? Wanita yng menentukan ke depannya mau jadi seperti apa. Iya kan bu?” Aku pegang tangan Ibuku.
“Ibu juga pernah bilang, ketika ada laki-laki yang hebat pasti di sampingnya ada wanita yang hebat juga, Kiki pengen ibu melakukannya sebelum dicontoh oleh anak perempuan ibu,” aku memelas dan aku genggam tangannya.
Lama kami diam, tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Ibu dan Ayah saling berjauhan. Ayah berdiri di depan jendela, matanya melihat langit yang sudah gelap. Ibu duduk di kursi goyang menghadap balkon. Fikar duduk di dekat Fatih yang sedang sibuk dengan mobil-mobilannya. Sementara aku duduk sendiri di kursi sofa menghadap televisi.
“Ayah? Ibu? Tadi Kiki dipanggil guru BP Fikar.” Aku mencoba mengungkapkan permasalahan tadi siang. Ibu beranjak dari kursi goyang itu, lalu menghampiriku.
“Guru BP? Kenapa nggak menghubungi ayah?” Ayah membalikkan badannya.
“Kata guru BP-nya nomor hape ayah sibuk, nomor hape ibu nggak aktif, menelepon Kak Wafa, katanya Kak Wafa nggak bisa ke sekolah, nggak bisa absen kuliah, Fikar disanksi dua minggu tidak boleh sekolah karena…” aku menelan ludah. “Kepergok ciuman dengan temannya dan menyimpan video-video porno di hape-nya.” Lanjutku lirih.
“Ya Allah, Fikar…tidak mungkin…” Ibu menutup mulutnya. Tangannya bergetar. Fikar menunduk.
“Ibu, Fikar bukan anak kecil lagi. Ia sudah baligh, Bu. Sudah mengerti tentang seks. Nggak mungkin anak kecil mengerti sejauh itu, Berbeda dengan Fatih, Bu. Fatih belum baligh. Fatihlah yang masih pantas disebut anak kecil.” Aku semakin terisak. Sekilas aku menengok Fatih yang sedang asyik bermain dengan mobil-mobilannya.
Aku melihat ibu menangis. Sementara ayah, ia tertunduk lesu.
Aku berharap itu menandakan penyesalan mereka.
….
“Qirani! Maafkan Kak Wafa, Kakak menyesal, hik…hik…hik!” Kak Wafa tiba-tiba memelukku.
“Kak Wafa kenapa?” Aku melihat rambut Kak Wafa berantakan.
“Kamu benar Ki, tadi kakak mau diperkosa sama Willy,” Kak Wafa menangis sesenggukan.
“Astagfirullahal ‘azhim, terus gimana?” Aku kaget bukan main.
“Kakak lari, untungnya ada ojeg lewat, kakak dianterin pulang, kakak menyesal Ki, kakak mau bertaubat Ki, tolong ajari Kakak. Kakak menyesal,” Kak Wafa sepertinya memang bersungguh-sungguh ingin bertaubat.
“Subhanallah Kak, Kiki senang banget, terimakasih Ya Allah,” aku dan Kak Wafa saling berpelukan. Aku senang sekali.
——
Aku tak tahu apa yang menyebabkan orangtuaku berubah. Perlahan namun pasti, semenjak peristiwa itu, ayah lebih banyak memperhatikan kami. Bahkan ketika ke luar kota, ayah menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan kami satu persatu.
Ibu pun begitu, dia sudah tidak bergaul dengan teman-teman arisannya. Sekarang ia aktif ikut pengajian-pengajian. Di sela-sela waktu luangnya, ia sempatkan membaca buku-buku islami.
Ya Allah, tidak ada kesulitan kecuali Kau mudahkan. Dan Engkau mampu merubah kesulitan menjadi mudah bila Kau hendaki.
Malam ini menjadi saksi atas hidayah yang Allah berikan pada keluargaku, khususnya orang tuaku. Benar kata Aisyah, Allah memberikan satu kesulitan tapi Allah memberikan dua kemudahan. Nggak mungkin ada racun kalau nggak ada penawarnya.[Neng Ilham Raudhatul Jannah, Santriwati Angkatan Pertama, Jenjang SMA]