Loading

Wanita Muda Gagalkan Aksi Copet

Jika Anda memergoki seorang pencopet sedang beraksi, apa yang akan Anda lakukan? Berteriak? Memakinya? Atau justru Anda bergeming ketakutan? Beberapa trik menghadapi aksi kepepet para pencopet ini, mungkin dapat membantu sikap Anda.

 

‘Sahabat’ Petualang

Aku dan suami suka melakukan perjalanan. Berangkat setelah subuh dan pulang di kala petang. Maklum, saat itu kami baru membangun bisnis kecil kami. Usaha di bidang konveksi pakaian jadi. Maka kepergian kami adalah dalam rangka survei kain, survei tren warna dan mode. Hingga mencari orang yang bisa kami rekrut menjadi mitra atau pegawai. Konsep usaha itu adalah pemberdayaan masyarakat, bukan memperdaya mayarakat ya.

Mobil dinas kami adalah angkot atau bis kota. Kalau beruntung banyak, kau bisa duduk manis di salah satu bangkunya. Namun jika beruntung sedikit, kau harus puas hanya bergelantungan  dengan satu tangan. Kau akan dikatakan sial, jika hanya mampu berdiri dan menatap bis atau angkot berlalu dari sisi jalan (baca: ketinggalan).

Uniknya, kau akan mendapat banyak kenalan yang sering tak dapat kau ingat nama dan wajahnya. Maklum, saat di perjalanan, kondisi macet serta ruangan yang pengap akan kerap hinggap sehingga menghadirkan rasa bosan. Teman seperjalanan sejenis (berjenis kelamin sama-red) adalah tempat paling nyaman berbagi. Maka sebelum pergi, siapkan telinga untuk menjadi pendengar yang baik.

Ada satu hal yang kerap menjadi aral perjalanan kami. Bukan, bukan salah jurusan lalu tersesat. Bukan pula riuh rendahnya suara pengamen. Aral kami adalah… pencopet. Ya, mereka sepertinya ditakdirkan menjadi ‘sahabat’ petualang seperti kami. Mereka bisa berjenis kelamin apa saja, berdandan dan menyamar menjadi siapa saja, dan memakai ukuran sepatu berapa saja.

Di bawah ini akan aku uraikan sedikit pengalamanku tentang aksi pencopet dan trik menghadapinya:

Aksi Saling Remas

Bis kota (saat itu kami naik metromini) mulai merayap di jalan yang basah. Bau parfum menyatu dengan bau keringat, membentuk aroma yang menyengat. Perutku mulai teraduk-aduk. Saat itu kondisiku sedikit beruntung. Kondisi dimana aku berdiri dengan dua kaki dan satu tangan bergelantungan. Tidak perlu berpegangan terlalu kuat, toh ada orang-orang di sekitar yang akan menahan tubuhku sehingga aku tidak mungkin akan terjatuh. maklum, kondisi bis sangatlah padat.

Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres. Tanganku segera meraba kantong bajuku. Benar saja, ada sebuah tangan merayap di sana. Tangan kami bertemu dan saling meremas. Huek! Tidak-tidak! Yang benar adalah, aku shock ada tangan lain yang numpang di kantong gamisku selain tanganku sendiri. Kepalaku segera berputar mencari si pemilik tangan. Seraut wajah ayu, kalem, berpakaian ala kantoran kudapati kikuk menatapku. Aku panik. Dia tidak kalah panik. Tapi ternyata, dia yang duluan mengambil tindakan.

“Ada apa sih Mbak, pegang-pegang tanganku?” Wajahnya cemberut sambil menarik tangannya yang pasrah kembali ke tuannya.

“Lho, bukannya ini kantongku Mbak? Mo nyopet ya?!” bentakku.

“Enak saja, kan Mbak yang narik tanganku!” Jawabnya tidak kalah galak.

Nah, saat seperti ini, orang-orang harus menyadari, kamu jenis yang ‘normal’.

“Enak saja, aku normal Mbak. Itu suamiku!” aku menunjuk suamiku yang terpisah cukup jauh dariku. Wajah suamiku kalem sekali, tidak tahu dia, istrinya baru saja mengalami aksi saling remas.

Orang-orang menatap kami bingung. Beberapa orang yang paham langsung memberi isyarat kepadaku untuk diam. Seorang bapak di sebelahku berbisik. “Sudah Mbak, jangan diperpanjang. Temannya banyak. Mereka berkomplot.”

Aku segera berpaling menatap bapak tersebut. Terbesit di benakku, si bapak adalah salah satu komplotannya yang ingin melindungi si wanita. Tiba-tiba aku menjadi paranoid.

“Tanah Abang…Tanah Abang…” belum sempat berbicara lagi, si kondektur sudah berteriak-teriak memberi tahu tempat tujuan kami. Aku segera turun, disusul suamiku. Meski kesal, ulah si pencopet tak ayal membuatku tersenyum.

Aksi Pijat Refleksi

Kejadian kedua adalah di angkot. Kali ini yang mereka incar adalah suamiku. Ketika kami baru naik, seorang lelaki muda berpakaian seragam bak pegawai negeri, naik dan duduk di sebelah kiri suamiku. Sekitar lima menit kemudian naik lagi seorang lelaki setengah baya berpakaian perlente, bertas besar, yang entah bagaimana ceritanya bisa duduk di sebelah kanan suamiku. Aku yang duduk di hadapan suamiku saat itu belum menaruh curiga apa pun.

Selang lima menit kemudian, naiklah seorang lelaki, yang tak kalah rapi, dan langsung membagi-bagikan sebuah pamflet tentang pengobatan terapi. Begitu melihat suamiku (yang sebenarnya sudah mereka incar dari awal), ia segera menawarkan jasa.

“Belum punya anak ya Pak? Sini saya terapi sedikit” katanya.

Melihat suamiku ragu ia segera menambahkan. “Gratis kok, Pak.”

Pasrah, suamiku mengulurkan tangannya yang sudah sedari tadi ditarik lelaki ketiga. Lelaki ketiga segera melancarkan aksinya. Ia menggoyang-goyang tangan suamiku, sementara kedua lelaki di sebelahnya memperhatikan dengan seksama.

Tidak berhenti sampai di situ, si lelaki ketiga menarik kaki suamiku dan menggoyang-goyangkan kaki itu. Saat itu aku mulai curiga, demikian pula suamiku. Di tengah-tengah aksi pengobatannya, tiba-tiba suamiku berteriak. “Handphone-ku jatuh!” Lalu dengan sigap ia memungut handphone yang terjatuh, sebelum handphone itu sempat diraih oleh tangan si lelaki kedua yang duduk di sebelah kanan suamiku.

Seketika wajah ketiga lelaki itu pias. Sedetik kemudian si lelaki ketiga bicara sambil bersungut-sungut.

“Bayar Pak, lima belas ribu saja.” Tagihnya.

Nah, inilah gaya pencopet saat gagal jadi tukang pijat. Maka trik yang harus dihadapi adalah, pasang wajah galak dan tegaskan kalimatnya di awal pemijatan.

“Lho, bukannya Bapak bilang tadi gratis?” tanya suamiku sewot.

Si lelaki ketiga tampak kesal, sementara kedua lelaki lainnya masih memucat. Seketika mereka turun serempak. Sebelum turun, sempat-sempatnya suamiku berkomentar.

“Terima kasih ya Pak, pijatannya enak lho.” Komentarnya sambil tersenyum nakal. Dasar.

Aksi Mabuk dan Butuh Tissue

Hari sudah sore, ketika aku menuju perjalanan pulang ke Ciputat. Sedikit kusesalkan tidak menuruti saran suamiku untuk tinggal di Bogor saja selama kuliah, daripada harus bolak-balik Ciputat – Bogor.

Tubuhku penat sekali. Di angkot itu hanya ada seorang ibu tua yang duduk di pojok kiri, lalu aku pada pojok sebelah kanan, dan seorang ibu muda yang duduk di dekat pintu masuk. Merasa semuanya wanita –dengan mengabaikan Pak Sopir– aku duduk selonjoran. Wah, nyaman rasanya.

Baru menikmati posisiku selama beberapa menit, naik seorang pemuda memakai tas ransel berukuran besar, bergaya mahasiswa, dan duduk di hadapan si ibu muda.

Merasa ada perubahan formasi, aku segera memperbaiki posisi dudukku.

Selang waktu tak sampai 10 menit, naiklah lagi seorang pemuda. Kali ini dandanannya ala preman. Bertato, berikat kepala, berompi dan bercelana jeans yang warnanya sudah sangat pudar. Matanya merah, gaya jalannya pun sempoyongan.

Aku –dan mungkin juga si ibu muda– masih sedang menebak-nebak, apa yang terjadi dengan si pemuda, tiba-tiba si pemuda pertama sudah ribut berbisik.

“Wah, orang mabuk Mbak, orang mabuk. Kebanyakan minum.” Bisiknya dengan gaya pria rumpi. Aku dan si ibu muda saling berpandangan dan tersenyum simpul.

Di angkot itu, si pemuda mabuk berbuat ulah. Ia buka jendela mobil lebar-lebar, melongokkan kepalanya dan bertingkah ingin muntah ke luar jendela tersebut. Lalu, ia memasukkan kepalanya kembali dan kali ini bertingkah ingin muntah di hadapan kami. Si pemuda pertama langsung terlihat panik.

“Mbak-mbak ada yang punya tissue di tas tidak? Aduh, saya jijik sekali. Jijik sekali.” Ia bergidik-gidik dan gesturnya seperti seorang transgender.

“Biar saja muntah, biar legaan. Saya orang kesehatan. Jika muntahnya sudah keluar, ia akan enakan.” Celetuk si ibu muda.

Aku sendiri sudah pasrah, menyiapkan mentalku saat melihat lahar muntahnya nanti. Tapi aku memang benar-benar tak punya tissue.

Sementara si ibu tua, ia bergeming dan wajahnya datar-datar saja. Aku tak yakin ia memahami pembicaraan kami.

Sekitr 15 menit kemudian, dua pemuda itu turun berbarengan. Sedikit mengherankan. Begitu mereka turun, tiba-tiba Pak Supir terbahak.

“Mereka itu pencopet lho Bu. Harapannya, ibu-ibu panik lalu membuka tas dan menyodorkan tissue. Ketika tas terbuka, si pemuda berdandan mahasiswa akan sigap memindahkan isi tas ibu. Hahaha….”

“Lho, kok tahu Pak?” tanyaku heran.

“Lho, itu sudah biasa Bu. Saya supir angkot lho.” Jawab Pak Supir bangga.

Aku manggut-manggut dan si Ibu muda tertawa. Si ibu tua? Masih setia dengan gayanya yang lama. Bergeming dan wajahnya datar-datar saja.

Nah, untuk aksi copet jenis ini, aku tidak punya trik khusus. Tapi sepertinya, gaya si ibu tua boleh juga dicoba. Bergeming dan berwajah datar-datar saja. Hehe…

Bogor, 08 Januari 2013

[Wita Dahlia, ‘santriwati kalong’ Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini bagian dari tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *