Oleh Farid Ab (Santri Pesantren Media)
Episode 2: Siluet Masa Lalu
Malam semakin larut menyelimuti pesantren an-Najah di Meulaboh ini. Jam di dinding kamarku menunjukkan tepat pukul satu dini hari. Bunyi detak jam dinding itu jelas terdengar di tengah kesunyian malam. Berpadu dengan bunyi derik khas binatang malam dari luar sana. Memberikan sebuah nuansa tersendiri. Nuansa lain yang tak bisa didapatkan di tengah keramaian siang hari. Nuansa tenang dan damai yang melingkupi susana hati penghuni asrama yang masih terjaga.
Meskipun malam sudah larut, mataku tak dapat dipejamkan. Nuansa malam yang tenang tak mampu menenangkan hatiku. Sejak kembali dari syukuran tadi, rasa kantuk tak pernah bisa menaklukkan mata ini. Mataku terus saja terbuka. Bayangan Naila, semakin berkutat aku mengusirnya, semakin menjadi saja ia memborbardir jagad khayalku. Selalu saja terlintas bagaimana tadi putri Teungku Husein ini tampil di podium. Caranya berbicara, caranya berjalan, kemampuan Bahasa Arabnya, kecerdasannya, kecantikannya, dan semua pesonanya terus saja berkelebat bergantian mengisi batok kepalaku. Belum lagi berbagai andai-andai, yang entah dihembuskan setan, juga ikut datang meramaikan kacaunya hatiku. Andai saja aku dapat berkenalan dengannya. Andai saja aku berjalan berdua dengannya. Dan berbagai andai-andai rusuh lainnya. Sesuatu yang menurutku tidak pantas ada dalam benak seorang pemuda muslim.
“Kacau!” Gumamku membatin sambil menggelengkan kepala. Kutegakkan tubuh. Kini aku duduk di pinggir kasurku yang tanpa ranjang ini. Menatap teman-temanku satu kamar.
Aku iri melihat teman-teman satu kamarku di asrama ini, Mustofa, Bisri, dan Samsi. Kulihat mereka bisa tidur dengan tenang dan nikmat. Sejak pulang dari syukuran di aula pesantren, dan setelah sedikit berbasa-basi, mereka langsung bisa molor[1]. Begitu kepala mereka bertemu bantal, mata mereka langsung sayu. Beberapa saat kemudian mereka sudah memasuki alam mimpi masing-masing. Sesekali suara dengkur mereka juga ikut mengisi keheningan malam.
Aku yakin, perut mereka yang kekenyangan telah melahirkan rasa kantuk luar biasa hingga mereka sudah tertidur sejak pukul 20.30 WIB tadi. Tepat beberapa saat setelah mereka pulang dari syukuran di aula pesantren. Biasanya mereka tidak seperti ini. Sebagai yang tertua di kamar ini tentu akulah yang paling tahu siapa mereka. Mereka bertiga adalah para santri yang tekun. Terutama jika belajar. Setiap malam, sehabis shalat Isya’, jika tidak ada kegiatan lain, mereka pasti menghabiskan waktu berkutat dengan dunia ilmu. Entah itu membaca, menulis, saling tanya jawab, atau mengerjakan sisa tugas yang ada. Biasanya mereka baru beranjak tidur jika jam dinding menunjukkan pukul 22.00 WIB. Itu jika keadaan normal. Jika keadaan tidak normal, misalnya jika ada ujian atau mengejar deadline, mereka bisa tidur lebih larut lagi.
***
“Wah, Kak Syaif rugi pulang duluan.” Ujar Bisri usai mengucap salam dan membuka pintu kamar. Sejurus kemudian Mustofa dan Samsi menyusul masuk kamar.
“Memangnya kenapa, Bis?” Timpalku pelan tiada bersemangat.
“Itu lho Kak, opor ayamnya, ga nahan…” Lidah santri tingkat dua ini menyapu bibir atasnya. Mencoba menggambarkan begitu lezatnya opor ayam yang tadi dinikmatinya.
“Ya ga, Samsi?” Lanjut Bisri menggoda Samsi, santri gemuk berkacamata minus dari daerah Toba yang baru menginjak tingkat satu.
“Kalau aku sih penyuka segala, Kak Bisri. Tak hanya opor ayam yang aku ambil. Mulai dari sate, rendang, udang, ikan, semuanya aku coba tadi. Sekarang perutku sudah kepenuhan nih.” Ujar Samsi sambil menguap. Ia pun merebahkan tubuhnya di kasur.
Sementara itu, Mustofa keluar kamar menuju kamar mandi. Sepertinya ia mencuci muka. Sehabis dari kamar mandi ia mengambil sebuah buku dan mulai membaca. Baru lima menit membaca, matanya mulai menyempit. Beberapa kali ia terlihat menguap. Pasti dia juga kekenyangan.
“Kak Mustofa awalnya malu-malu. Tapi akhirnya mau. Ternyata Samsi pintar juga ya merayu. Kulihat Kak Mustofa tadi nambah dua piring setelah dirayu Samsi.” Ujar Bisri sambil melirik Mustofa dan Samsi bergantian.
“Habisnya kapan lagi kita makan enak, Kak? Jarang-jarang, lho. Tadi juga tidak seperti biasanya. Tidak dilarang nambah.” Samsi mencoba membela diri.
Mustofa hanya diam. Wajahnya merengut bercampur ngantuk. Ia pun menyerah. Buku yang tadi dibaca dia tutup dan ditaruh di tempatnya semula. Dia pun merebahkan diri sambil menari selimut putih bergaris miliknya.
Aku tahu bahwa Pesantren an-Najah selalu membiasakan para santri hidup sederhana. Tidak bermewah-mewah. Termasuk dalam soal makanan. Asal sudah mencukupi kriteria empat sehat lima sempurna, itu sudah cukup. Nasi, sayur bayam, ikan tawar yang diasinkan, dan pisang. Dua kali dalam seminggu juga ada susu. Semuanya tidak beli. Cukup mengambil dari hasil sawah, kebun, kolam ikan, dan peternakan sapi perah milik pesantren sendiri. Selain dapat mencukupi kebutuhan sekitar 400 orang santri, sisanya juga dapat dijual sehingga bisa menjadi mesin ekonomi yang dapat diandalkan pesantren.
“Bukan seperti itu adik-adikku. Kalian tahu, keinginan untuk terus nambah dan nambah itu sebenarnya nafsu. Tak baik dituruti. Dan malam ini sepertinya diri kalian telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Ingatlah bahwa junjungan kita Rasulullah saw telah mengajarkan bagaimana cara seorang muslim makan. Sepertiga dari perutmu isilah dengan makanan. Sepertiganya lagi untuk minuman. Dan sepertiganya lagi disisakan untuk pernafasan. Lawanlah keinginan nambah terus itu. Jadi secukupnya saja. Jangan biarkan diri kalian terbelenggu nafsu setan.” Sebagai yang tertua di kamar dan juga di asrama ini, aku tergelitik untuk berkomentar juga.
“Jangan lupa pakai tangan kanan dan juga berdo’a. Jangan karena makanannya enak, lalu lupa segalanya.” Lanjutku.
“Iya Kak, aku mengerti.” Bisri mengangguk. Ia menarik selimutnya.
“Kak Syaif…”
“Ada apa, Bis?”
“Bagaimana pendapat Kak Syaif tentang Kak Naila? Sepertinya dalam minggu ini Kak Naila akan menjadi top topik pembicaraan di pesantren ini.”
Aku terdiam. Pertanyaan santri yang kukenal cerewet ini membuat dadaku semakin bergemuruh. Kubalikkan mukaku perlahan. Aku tak ingin Bisri melihat air mukaku yang merona merah. Jika dia tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Naila, bisa berbahaya. Bisa menyebar ke mana-mana. Tapi jika aku tidak menjawab pertanyaannya, dia juga bisa curiga.
“Ya seperti seluruh keluarga besar pesantren ini. Se.. senang juga. Mudah-mudahan dengan adanya sarjana lulusan al-Azhar University, Pesantren an-Najah akan menjadi lebih baik lagi. Jawabku dengan mengerahkan segenap kemampuan.
“Lha, kalau pendapatmu sendiri bagaimana, Bis?”
Hening. Tak ada jawaban. Kuposisikan tubuh seperti semula menghadap Bisri.
“Yah! Dia tidur.” Gerutuku sendirian sambil manyun.
***
Aku sudah tak betah lagi di tempat tidur. Percuma saja, mataku tak dapat dipejamkan. Perlahan aku bangkit menuju balkon kamarku yang berada di lantai dua asrama ini. Setiap kamar di asrama mempunyai balkon yang bisa digunakan untuk menjemur cucian. Dari balkon ini aku dapat melihat separuh bagian rupa fisik Pesantren an-Najah. Tempatku menimba ilmu dan memperbaiki diri. Tempat yang bagiku sudah kuanggap sebagai rumah sendiri. Yang dalam hitungan jam akan aku tinggalkan. Mungkin selamanya.
Pesantren an-Najah mempunyai delapan asrama. Empat asrama putra dan empat untuk putri. Asrama putra dan putri dipisahkan oleh empat gedung tempat belajar, masjid, dan aula. Jadi, tiga jenis bangunan non-asrama berada di tengah. Dan dua buah lapangan yang cukup lebar menjadi pemisah antara asrama dan bangunan non-asrama. Kecuali masjid dan aula, semua bangunan dibuat tingkat tiga dan tata letaknya diatur sedemikian rupa sehingga penghuni asrama putra dan putri tidak dapat saling melihat, terhalang oleh bangunan non-asrama.
Setiap asrama mempunyai nama sendiri-sendiri. Asrama tempatku ini bernama al-Kahfi, dan tiga asrama putra lainnya bernama ash-Syabab, al-Amin, dan al-Muhandis. Sedangkan nama-nama asrama putri antara lain al-Khansa, al-Khumaira, an-Nur, dan an-Nisa. Tiap asrama bisa menampung hingga lima puluh santri. Khusus lantai tiga, lebih dari separuhnya dibuat lapang menyerupai aula. Digunakan untuk berbagai kegiatan berkumpul seperti makan bersama, rapat asrama, mabit, dan rupa-rupa kegiatan masal lainnya yang berhubungan dengan asrama.
Pemberian nama yang berbeda ini tidak lantas menjadikan Pesantren an-Najah terkotak-kotak. Tidak ada asrama khusus untuk tingkat tertentu. Semuanya dilebur menjadi satu. Bahkan pesantren mengeluarkan aturan bahwa tiap kamar harus diisi empat santri dari empat tingkatan yang berbeda. Misalnya saja kamarku di lantai dua ini dihuni Samsi dari tingkat satu, Bisri dari tingkat dua, Mustofa dari tingkat tiga, dan aku dari tingkat empat. Penanggung jawab setiap kamar adalah santri tingkat empat. Mereka bertugas memastikan keamanan dan kedisiplinan anggota kamar. Kepala kamar ini bertanggung jawab kepada kepala asrama. Dan kepala asrama bertanggung jawab pada Pusat Kesantrian (PK) Bidang Keamanan dan Kedisiplinan. Lalu bagaimana jika seorang kepala atau penanggung jawab yang melanggar? Hukuman yang lebih berat melebihi santri biasa akan dikenakan pada mereka.
Lama menatap pesantren, pandanganku beralih ke langit. Kulihat ribuan bintang berkelip memancarkan pesonanya. Ramah dan riang. Saat ini masih awal bulan sehingga bintang yang terlihat sangat banyak. Tak ada rembulan yang menghalangi sinar bintang-bintang. Perlahan kubusungkan dadaku. Kutengadahkan kepala ke langit. Kurasakan semilir angin membelai rambut dan wajahku. Mataku terpejam. Kutarik nafas dalam-dalam dan kulepaskan pelan. Dari tempatku berdiri, kurasakan nuansa sepertiga malam terakhir menelusup relung hati. Maha Besar dan Maha Kuasa Allah yang telah menciptakan malam dengan segala keindahannya. Hatiku mulai tenang. Bayangan Naila dan beribu hasutan setan mereda.
Perlahan, bulir demi bulir air bening keluar dari kelopak mata dan membasahi pipiku. Jauh dari dalam hati aku bersyukur. Begitu besar nikmat yang telah diberikan Allah padaku. Merantau begitu jauh ke Aceh hingga akhirnya menjadi santri di sini, adalah jalan hidup yang telah dirancang Allah swt yang sungguh jauh dari perkiraanku dulu.
“Rasanya masih seperti mimpi. Atau aku memang sedang bermimpi?” Ujarku sendirian. Sekulum senyum aneh menghiasi wajahku. Seolah tidak percaya dengan apa yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Sambil tetap tersenyum, kulangkahkan kaki untuk shalat malam. Tak akan kusia-siakan kesempatan yang ada. Akan kuhadapkan wajah dan hatiku padanya. Menghadap dan mengeluhkan segala gemuruh dan risau di dada.
Begitu memegang gagang pintu, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang menerpa tubuhku. Aku pun urung masuk dan kembali ke tempatku tadi berdiri. Nampak di hadapanku, pepohonan yang tadinya diam kini mulai meliuk-liuk menahan hembusan angin. Sementara di atas sana, gumpalan awan tebal nan hitam seolah menggulung pesona langit berbintang. Sedikit-demi sedikit bintang-bintang sirna tergantikan oleh awan Cumolonimbus. Dan semakin lama intensitas halilintar dan gemuruhnya semakin menjadi. Tetes-tetes kecil air hujan mengikuti arah hembusan angin, menerpa wajah dan bagian depan tubuhku. Badai sepertinya singgah di daerah ini.
Wajahku pucat pasi. Tangan dan bibirku bergetar, kedinginan dan takut. Di antara hiruk pikuk badai, seolah kulihat sebuah jalinan peristiwa. Ya, sebuah peristiwa mengiris hati. Ada wajah-wajah panik, orang-orang berlarian, teriakan-teriakan, asap, api, dan.. beberapa orang berlarian dengan berselimutkan api.
“Kebakaran! Kebakaran!” Dalam desau suara angin seolah kudengar teriakan itu. Jelas seperti di saat peristiwa itu terjadi, beberapa tahun silam.
“Tidak! Tidaak!” Aku berteriak, berupaya mengusir siluet masa lalu yang begitu menghentak dan meremukkan jiwa ini. Sebuah ingatan lama tentang tragedi yang ingin kukubur selamanya dari ingatan. Sebuah peristiwa yang menjadi menjadi tonggak awal perubahan besar dalam hidupku.
Aku terduduk. Memeluk lutut sendiri dengan wajah terbenam. Malam ini, aku merasa menjadi orang paling malang se jagad. Tangis ku pun pecah.
“Ada apa, Kak? Malam-malam begini kok ada di balkon? Menangis pula.” Sebuah suara bernada lembut membuyarkan tangis dan lamunanku. Mustofa, dia nampak heran dan bingung dengan keadaanku. Sesaat kemudian, tangannya mengelus pundakku.
“Kak Syaif pasti ada masalah.”
Aku diam seribu bahasa. Menatap kosong ke arah pepohonan yang sudah kembali tenang. Hujan yang tadinya hanya gerimis, kini menjadi lebat. Sesekali masih terdengar suara guntur menggelegar.
“Kak Syaif di setiap kesempatan mengajar selalu menguatkan semangat kami untuk senantiasa tegar menghadapi hidup. Apapun yang terjadi, masih ada Allah tempat kita meminta pertolongan. Berkat semangat yang Kak Syaif tularkan, banyak di antara kami yang tadinya gundah menjadi bersemangat kembali.” Ujarnya berupaya menghibur.
Aku tahu itu. Di setiap kesempatan mengajar adik kelas, aku memang selalu berupaya memberikan nyala bagi tiap semangat yang redup. Tanpa semangat yang selalu terbaharukan, kejenuhan pasti akan menghantui para santri. Walhasil, menjalankan segala sesuatu hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan juga terpaksa. Tapi kali ini, malah aku yang terlihat lemah.
“Aku malu, Bis. Malu karena hanya bisa berucap tapi tak mampu melaksanakan. Kamu kan tahu, selain sebagai penanggung jawab kamar ini, aku juga kepala asrama al-Kahfi.” Lirihku.
“Apa yang Kak Syaif katakan? Di mata kami, Kak Syaif adalah orang yang konsisten dengan apa yang Kakak ucapkan. Tidak hanya omong doang. Karena antum pula kita para penghuni asrama al-Kahfi terlatih menjadi santri-santri paling disiplin di pesantren ini. Tidak dengan perintah, tapi dengan keteladanan yang Kak Syaif berikan.” Timpal Mustofa bersemangat.
“Sudahlah Kak Syaif, yuk sama-sama!” Mustofa mengulurkan tangannya.
“Kemana?”
“Shalat malam, Kak. Kebetulan aku juga ingin mengadukan masalahku pada Allah.” Ujar Mustofa memantapkan ajakannya.
Aku mengangguk dan menyambut uluran tangannya. Berdua kami menelusuri koridor al-Kahfi dan naik tangga ke lantai tiga. Di sana, di pojok belakang aula asrama, ada mushalla kecil. Di sana kami shalat malam dengan sepenuh hati dan mengadukan permasalahan kami masing-masing serta meminta pertolongan pada-Nya. Pada Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Bersambung ke bagian 3: Tragedi di Tengah Badai