Oleh: Ilham Raudhatul Jannah
Trinit…trinit… Bunyi handphone yang menandakan sms itu membangunkan Qori yang sedang tidur siang. Kemudian ia ambil Hpnya itu yang ia simpan di atas meja.
”Asslmlkm..Ukh. Saya Umam. Ayah’y Saskie”
”Ayahnya Saskie? Ada apa ya?” Qori menggumam, lalu ia menutup handphonenya. Dan langsung ke kamar mandi membasuh muka.
”Aduuuh..Balas jangan ya? Kenapa mesti sms sih. Kan bisa di sekolah. Kalau dibalas aku nggak biasa menerima sms dari ikhwan. Tapi kalau nggak dibalas jangan-jangan penting lagi,” Qori bimbang, kemudian ia berjalan menuju taman, ia duduk di bangku pojok dekat air mancur. Untuk melamun.
”Ri! Sini deh sebentar, cepat!” Terlihat Fifi sedang kepayahan membawa keranjang yang sepertinya berat. Tapi Qori diam saja, seolah tidak mendengar.
”Qoriiii! Ke sini sebentar. Aku keberatan nih!” Fifi berteriak memanggil Qori. Tapi Qori tetap saja diam. ”Nih anak, bener-bener. Belum dikorek kali ya kupingnya,” batin Fifi kesal. ”Qoriiii!! Dengar nggak!” Fifi berteriak lagi.
”Iya dengeeeer Fifi! Emangnya aku budek apa?!” Qoripun ikut berteriak, tanpa menoleh ke arah Fifi. ”Kamu aja sih yang ke sini. Males!” Qori melipat tangannya.
”Iya-iya.. Kamu kenapa sih Ri? Lihat dulu nih. Lucu bukan?” Akhirnya Fifi mengalah. Ia menghampiri Qori yang sedang duduk.
”Emang itu apa?” Qori terpancing kemudian ia menoleh ke keranjang yang di bawa Fifi.
”Taraaang! Sureprise!!!” Fifi membuka keranjangnya dan terlihatlah dua kelinci putih yang lucu menggemaskan.
”Kirain apaan?” Qori tidak terkejut, padahal itu binatang favoritnya.
”Hah?? Cuma gitu doang responnya? Kamu sakit Ri?” Fifi memegang kening Qori, sambil mengamati mukanya.
”Nggak! Sakit lagi,” Qori melepaskan tangannya Fifi yang memegang keningnya.
”Tunggu-tunggu kayak ada yang aneh nih. Jadi curiga. Ri…Kelinci kan binatang Favoritmu?” Fifi merasa aneh dengan tingkah sahabatnya itu.
Qori dan Fifi sama-sama dari Tangerang. Sesudah lulus ’Aliyah, sekitar 6 tahun yang lalu mereka hijrah ke Bogor. Tadinya Fifi mau melanjutkan sekolah. Tapi karena Qori tidak mau. Akhirnya mereka sepakat untuk bekerja saja.
Sebenarnya di Tangerang juga lumayan banyak lapangan pekerjaan, Cuma mereka ingin cari pengalaman di daerah lain. Dan kebetulan Fifi punya saudara di bogor yang cukup terpandang. Alias orang punya juga baik, uak Iyah namanya. Terlihat kesempatan di depan mata, akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan saudara Fifi untuk mencarikan lapangan pekerjaan di bogor.
Sebelumnya mereka tinggalnya di rumah uak iyah. Tapi karena sudah bekerja kini mereka mengontrak.
”Yee! Malah ngelamun. Nanti kesurupan baru tahu rasa luh!” Fifi menakut-nakuti Qori.
”Iiiih apaan sih Fi, kesurupan lagi. Naudzubillahi min dzalik. Lagian tega banget mendoakan kayak gitu ke sahabatnya,” Qori cemberut. Lalu iya topang dagunya dengan tangannya.
”Habis kamu sih. Emangnya kenapa sih buuu? Ada apa? Cerita dong sama akyu?” Fifi mulai lebay.
”Nggak tahu,” jawab Qori singkat.
”Ayo dong cerita, ada pa manis??” Fifi mengelus-elus kelinci yang dibawanya tadi.
”Heh! Kamu ngomong sama siapa sih?! Kamu kira kelinci itu aku apa?!” Qori sebal.
”Oops! Heheh.. Maaf Ri, aku lupa. Heheh.. ya sudah, kamu kenapa? Lagi ada masalah? Sampai segitunya,” kemudian Fifi memasukan kelincinya ke dalam keranjang.
”Nih lihat! Baca!” Qori mengambil HP yang ada dalam saku jilbabnya, kemudian ia sodorkan ke Fifi.
” Asslmlkm..Ukh. Saya Umam. Ayah’y Saskie,” Fifi bingung. ”Terus ada apa dengan sms ini Ri?” Fifi garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
”Masya Allah Fi! Masa nggak tahu, coba lihat baik-baik, yang teliti atuh! Nih! Nih!” Telunjuk Qori menunjuk-nunjuk sebuah kata ”Umam”.
”Lha! Terus letak masalahnya di mana Ri? Perasaan nggak ada yang aneh,” Fifi memeriksa lagi sms itu dengan teliti.
”Dia itu ikhwan Fi!” Qori merebut Hpnya dari Fifi, kemudian ia masukan lagi ke dalam sakunya.
”Iya aku tahu dia ikhwan, terus kenapa gitu?” Fifi semakin tidak mengerti.
”Aku nggak biasa menerima sms dari ikhwan,” Qori berdiri.
”Astaghfirullah Ri, kamu nggak lihat apa! Dia bilang, dia ayahnya Saskie.. murid kamu. Emang kamu fikir dia mau ngomongin apa? Heuh?! Pastinya tentang anaknyalah Ri. Kamu kan wali kelasnya,” kemudian Fifi sigap berdiri dan malah masuk ke dalam kos. Qori megikuti dari belakang.
”Bukan gitu Fi? Istrinya meninggal, dan dia pernah menawarkan dirinya ke aku?” Qori mempercepat langkahnya,
”Apa?! Maksud kamu, melamar gitu?” Fifi menghentikan langkahnya dan balik badan.
”Iya. Aku bingung Fi,” Qori jongkok di tengah jalan kecil yang penuh rumput hijau.
”Waduh! Terus kamu jawab apa?” Fifi ikut jongkok dan merangkul Qori.
”Aku tolak,” jawab Riri pendek.
”Lho! Kok ditolak?! Itu kesempatan emas Fi, nggak bakalan datang dua kali, kalau aku jadi kamu pasti aku terima,” Fifi berdiri dan membelakangi Qori, ia nggak tahu kalau Qori sudah masuk ke kamar. ”Kamu tuh aneh tahu nggak sih Ri?” Fifi balik badan, Qori sudah hilang tanpa jejak.
”Ya itu anak, berarti tadi aku ngomong sendirian dong? Kayak orang gila aja,” Fifi kemudian ikut masuk. Sementara di sebelah sana orang-orang yang satu kos sama mereka menertawakan Fifi.
ooOoo
”Tok..tok..assalamu’alaikum?” Fifi mengetuk pintu kamar Qori. ”Aku masuk ya Ri, jangan marah. Awas lho,” Fifi masuk tanpa dipersilakan dulu oleh Qori. Kebetulan pintunya nggak dikunci. Dilihatnya Qori sedang duduk dijendela.
”Ri kamu gila apa ya? Aku tadi ditertawakan tahu nggak?!” Fifi cemberut dan melipat tangannya.
”Maaf, habis kamu sih, sibuk dengan komentarmu,” Qori cekikikan tanpa melihat Fifi yang ada di sampingnya.
”Aku pengen tahu dong Ri,” Fifi duduk di ranjang. Kemudian Qori turun dari jendela dan duduk di ranjangnya.
”Fi bukannya kamu tahu kalau prisipku Cuma satu, cinta pertamaku juga cinta terakhirku,” Qori mulai serius.
”Iya aku tahu, terus?” Fifi mengambil camilan yang ada dihadapannya.
”Kok terus sih? Simpan nggak camilannya,” ancamnya kemudian dia merebut toples dari Fifi. ”Yang serius dong Fi, aku lagi cerita nih, katanya mau tahu,” kata Qori kesal.
”iya deh, iya deh, maaf-maaf, sekarang serius,” Fifi cepat-cepat mengunyah makanan yang terlanjur sudah masuk ke dalam mulutnya. ”Aku tuh anehnya sama kamu Ri, bukannya akhi umam itu baik, sholeh, seorang ustadz lagi, pintar dan mapan, apa yang kurang? Apa yang membuat kamu menolak dia,” tanya Fifi heran.
”Aku bingung Fi, emang sih aku nggak secara langsung menolaknya. Habis aku bingung mau bagaimana cara menolaknya tapi tidak membuat dia tersinggung. Apalagi katanya Saskie yang minta aku untuk jadi bundanya. Sampai nangis-nangis minta aku jadi bundanya. Aku bingungnya gini lho, aku sayang banget sama Saskie, ya nggak apa-apalah kalau misalnya aku dianggap sebagai ibunya. Tapi aku nggak bisa jadi istri ayahnya,” kata Qori panjang lebar menjelaskan.
”yee, aku nanya apa, dijawab apa,” Fifi menghela nafas sejenak. ”Ya aku tahu, kamu sudah senang sama seorang ikhwan,” Fifi menepuk-nepuk pundak Qori.
”Maksud kamu Fi? Kamu udah tahu?” Qori terkejut dengan perkataan Fifi.
”Yaiyalah aku tahu, kamu kan sahabat aku. Ya udah kamu kasih tahu dia, kalau kamu juga senang sama dia. Kamu terima ta’arufannya. Beres kan?” Jawab Fifi dengan entengnya.
”Hah? Kamu tahu Fi? Dari mana? Jangan-jangan..,” selidik Qori.
”Heheh.. maaf Ri nggak sengaja, waktu itu aku mau numpang telepon ke rumah. Pulsaku habis dan aku males beli pulsanya lagi. Jauh sih. Ya udah aku pinjam aja yang punya kamu,” jelas Fifi.
”Lho! Kapan? Kok aku nggak tahu?”
”Yaiyalah kamu nggak tahu, orang waktu aku pinjam kamu lagi tidur pules. Dari pada bangunin.”
”Huh! Kebiasaan,” Qori memukul tangannya Fifi.
”Heheh.” Dia malah ngengir.
”Iya sih emang dia nggak tahu, tapi aku masih merasa aneh aja,” Qori berjalan menuju jendela.
”Aneh gimana Ri?” Tanya Fifi penasaran.
Trinit…Trinit…
”Fi?! Ada sms!” Qori terkejut menerima sms dari seseorang.
”Dari siapa Ri?!” Fifi beranjak dari tempat tidur. Dan cepat-cepat menghampiri Qori yang sedang berdiri di dekat jendela.
”Ukhti, aq tnyakn skli lg apkh ukhti brsedia jd Istriku? Aq mhon ukh, X ni jwb. Insya Allah aq siap brtnggung jwb.” Qori membacakan sms itu. Dan tanpa diberi tahu Fifi sudah tahu kalau itu sms dari Kak Habibi. Ikhwan yang membuat Qori jatuh cinta.
”Subhanallah Ukhti, kamu dilamar tuh! Ayo jawab?! Ya sudah aku keluar dulu deh, supaya kamu mateng menjawabnya,” Fifi keluar dari kamar Qori.
”Ya Allah.. Aku harus bagaimana? Apa aku bicara jujur aja kali ya ke Fifi,” gumam Qori gelisah. Tanpa basa-basi kemudian Qori segera ke kamar Fifi untuk memberi tahu sesuatu.
ooOoo
”ugh! Pantes diketuk-ketuk pintu kamarnya nggak nyahut-nyahut, ternyata lagi makan bakso di sini,” Qori tiba-tiba sudah ada dihadapan Fifi yang sedang asyik makan bakso, di depan rumah kos itu.
”Hehehe.. Eh Ri, mauuuu, enak lho,” sambil masih terus mengunyah dan mengaduk-ngaduk baksonya.
”Aku mau jujur nih! Yuk ke kebun raya bogor!!” Qori menyeret tangannya Fifi ke kamar, bakso Fifi tumpah berserakan di lantai.
”Ya Allah Ri.. itu baksonya sayang Ri, belum habis. Tumpah lagi. Aduh!” Tangan Fifi masih berada digenggaman Qori, tapi matanya masih menengok ke belakang, liatin baksonya yang masih banyak berserakan di lantai.
”Ada apa sih Non?? Kamu tahu nggak, untungnya itu mangkok plastik tahu nggak, kalau beling kan pasti pecah, dan itu artinya harus diganti QORI,” Fifi masih saja ingat bakso yang dibelinya tadi
”Aduh Fi! Ini lebih penting dari bakso atau mangkok itu. nanti deh aku traktir kamu makan bakso seepuasnya. Sekarang aku mau cerita nih!” Qori mulai menunjukkan wajah serius..
”Ri cepetan ganti bajunya ya kita berangkat langsung! Aku tunggu di depan” Qori melepaskan tangan Riri.
”Emangnya kita mau ke mana, udah ah gini aja, nggak perlu ganti baju segala. Kayak mau ketemu siapa aja,” kata Qori kemudian.
”Ke Kebun Raya Bogor,” jawab Qori singkat.
”Hah? Ke kebun Raya Bogor? Mau piknik?” Fifi terkejut.
”Bukan. Mau mengasingkan diri! Udah ah ayo kita pergi. Aku mau cerita nih!” Qori berjalan duluan ke depan nunggu angkot.
”Mau cerita kok jauh amat tempatnya. Qori.. Qori.. ckck,” Fifi membatin.
ooOoo
Tak lama kemudian mereka sampai di kebun Raya bogor. Sesudah membayar karcis, merekapun masuk.
”Ri yang benar aja. Kita keliling-keliling kebun raya dengan jalan kaki nih?” Riri berhenti dan menelan ludah melihat jalan yang begitu luas ditambah dengan pohon-pohonnya yang tinggi-tinggi lagi besar.
”iya!” Jawab Qori pendek.
”Waduh! Bisa gempor nih kaki,” fifi menepuk-nepuk betisnya.
”udah deh tenang aja aku punya tempat yang nggak jauh dari sini kok,” kalimat itu membuat Fifi tenang.
”Ya udah tunggu apa lagi come on!” Fifi berjalan mendahului Qori.
“Yoyoy!” Qoripun mengikuti dari belakang.
“Hey tunggu! Kamu Qori ya?!” Tiba-tiba seorang wanita memakai kerudung baju biru panjang ketat dan celana jeans itu memanggil Qori. Fifi dan Qori saling pandang.
”Iya? Saya Qori, maaf dengan siapa ya?” Tanya Qori keheranan. Fifipun ikut heran.
”Plak!” Wanita itu menampar Qori. Fifi yang melihat terkejut bukan main.
”Plak!” Fifi langsung membalas tamparan wanita itu. ”Maksud kamu apa nampar sahabat saya! Berani banget kamu!” Fifi emosi.
”Sabar Fi, sabar. Istighfar,” Qori cepat-cepat menahan tangan Fifi, yang akan menampar wanita itu lagi.
”Heh! Jangan sok alim deh kamu! Apa maksud kamu membuat Habibi memutuskan saya! Gara-gara kamu tahu nggak!” Qori langsung seketika itu menangis, antara nggak ngerti dan nggak percaya.
”Apa?! Jadi bener Kak Habibi pacaran? Astaghfirullahal ’adzim,” Qori geleng-geleng kepala. Dia kecewa sama Kak Habibi.
”Udah deh jangan akting-akting segala. Kalau mau akting di sana tuh di TV, dasar serigala berbulu domba, perusak hubungan orang. Ngapain loe pakai kerudung segala, mending dibuka aja ” wanita itu menarik kerudung Qori, hampir terlepas. kemudian dia mendorong Qori.
”Ih dasar nggak tahu malu luh, sembarangan aja nuduh orang! Dasar luh bebegig sawah! Pantes aja Kak Habibi mutusin elo. Dari pakaian aja udah nggak pantes disebut muslimah loe. Udah kurus terus baju diketat-ketatin gitu, udah kayak belalang sembah tahu nggak loe! Ditambah dari cara bicara kamu yang nggak sopan, sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang muslimah,” nggak terima Qori diperlakukan seperti itu, Fifi membalas wanita itu dengan mendorongnya sampai jatuh. ”Udah Fi, yuk kita pergi,” lalu Qori menarik Fifi pergi meninggalkan wanita itu.
”Enak aja luh! Elo tuh tutut!” wanita itu masih juga berteriak.
”Heh! Tutut enak dimasak! Dari pada elo bebegig sawah, menyeramkan!” Qori nyengir dengar jawaban Fifi ini.
”Udah Fi! Kayak anak kecil aja ih. Lagian udah jauh. Diketawain tuh sama orang!” Kata Qori cekikikan.
”Kamu itu Ri, coba kita nggak pergi, pasti aku udah hajar dia, aku nggak terima kamu diperlakukan seperti itu, enak aja tuh orang nuduh-nuduh sembarangan” Fifi masih emosi.
”Aku nggak apa-apa Fi. Udah ah. Mending istighfar Fi. Emosi yang nggak bisa ditahan bisa terkuasai syetan,” Qori menenangkan Fifi.
”Astaghfirullahal ’adzim… habis aku kesal Ri,” Fifi melipat tangannya.
ooOoo
”Terus kita mau ke mana nih? Nggak mungkin kan kita kembali lagi ke sana. Ogah! Lagian kok bisa perempuan itu ada di sini sih Ri?” Fifi duduk di atas trotoar jalan.
”Ya udah kita ke taman topi aja yuk? Tapi duduk dulu deh!” Qori ikut duduk di trotoar.
”Kamu merasa ada yang nggak sih Ri? Perempuan itu kok bisa tahu kamu? Terus kenapa dia ada di dsini?” Fifi mrngulang pertanyaannya.
”Dia kuliah di sini Fi, di IPB,” jawaban Qori membuat Fifi tak percaya.
”Jadi kamu udah tahu, kalau dia pacarnya Kak Habibi?” Tanya Fifi.
”Fi aku mohon aku nggak suka dengar kata pacar. Iya aku udah tahu, Kak Habibi yang cerita ke aku. Tapi katanya Kak Habibi udah putus sama dia. Kak Habibi menyesal melakukan itu. Sebenarnya ini yang tadi aku mau ceritakan sama kamu Fi,” Qori kemudian berdiri dan membelakangi Fifi.
”Menyesal melakukan apa?” Fifi penasaran.
”Maksudnya Kak Habibi bertaubat, dia menyesal pacaran. Dia fikir dengan pacaran itu adalah jalan terbaik buat kenal dengan pasangan sebelum menikah,” belum selesai Qori berbicara, Fifi memotongnya.
”Terus dari mana perempuan itu bisa tahu kamu? Dan kok dia bisa ada di sini Ri?” Fifi bertanya kembali tentang ketidak mengertiannya.
”Kalau itu aku nggak tahu Fi. Kalau bertemu di sini, mungkin kebetulan aja kali Fi,” jawab Qori, di dalam hatinya sebenarnya dia juga penasaran. Tapi dia berusaha berhunuzhon saja.
”Aku juga nggak percaya, kok bisa ya Kak Habibi kayak gitu? Ya udah deh jangan dibahas lagi. Sekarang aku mau tanya nih! Kamu pilih siapa? Ayahnya Saskie atau Kak Habibi?” Tiba-tiba Fifi bertanya yang membuat Qori kaget.
”Aku nggak tahu Fi, kalau Mas Umam, aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia. Tapi aku menyayangi Saskie. Emang sih yang namanya cinta itu bisa tumbuh ketika kita sudah terbiasa bersama. Kalau Kak Habibi, jujur ya Fi, walaupun dia nggak tahu perasaan aku kalau aku juga sebenarnya menyenangi dia. Tapi dia udah buat aku kecewa Fi. Kamu tahu kan Fi, bagaimana aku dari dulu mempertahankan diriku dari laki-laki. Karena aku hanya akan mempersembahkan semuanya hanya untuk suamiku kelak. Tapi kenapa laki-laki yang aku senangi malah sudah pernah pacaran?” Qori duduk kembali ditrotoar.
”Oke menurut aku sebenarnya hati kamu itu memilih Kak Habibi. Ri yang namanya cinta itu tidak bisa melihat siapa orang yang kita cintai itu. soalnya hati yang merasakan. Nggak bisa dipaksakan kan kalau kita sudah menyukai seseorang? Menurut aku nggak ada salahnya menerima Kak Habibi, kata kamu kamu kan dia sudah menyesali perbuatannya. Apalagi setelah aku baca sms-sms dia ke kamu itu, kayaknya emang dia tulus melakukannya Ri,” Fifi menepuk-nepuk pundak Qori.
”Gimana nanti aja ya Fi, yuk kita pulang,” Qori beranjak, kemudian segera menyetop angkot 05 yang kebetulan lewat di depan mereka.
BERSAMBUNG…