Loading

Aku melempar pensilku ke atas meja belajar sambil menggeram kesal dan tak sabar. Sudah lebih dari sepuluh menit aku duduk di kursi belajar dengan kertas-kertas HVS menumpuk di meja sementara sisanya teronggok mengenaskan di lantai setelah kuremas. Mau berapa kalipun kucoba, ide untuk komik yang ingin kutulis tidak kunjung menyapa. Menjengkelkan. Harus mencari ide di mana tengah malam begini?

Aku memang tidak berhak menyalahkan, tapi gara-gara perkataan konyolku tadi pagi kepada Jess, besok siang aku harus menyerahkan komik hasil karyaku sendiri padanya. Ceroboh? Pastinya. Aku bisa mati kutu dan malu kalau tidak memberikan komik hasil karyaku sendiri padanya. Pasalnya banyak yang menjadi saksi atas perkataan cerobohku itu.

Aku berjalan menuju kasur dan merebahkan diri di atasnya. Kuambil hape dan memutar semua album yang dikeluarkan AKMU yang sudah ku-download. Lagu Give Love langsung terdengar keseluruh penjuru kamarku yang didominasi warna putih ini.

Aku menutup mataku dengan punggung tangan sambil merutuki kecerobohanku yang terlalu dan selalu gegabah dalam menyikapi konfrontasi dari siapapun. Garis tebal bawahi bagian siapapunnya. Karena itu berarti memang siapapun.

Entah darimana asal sifat itu, karena setahuku kedua orangtuaku selalu waspada dan bersikap hati-hati. Dan juga tenang dalam menyikapi banyak keadaan. Kedua kakakku juga demikian. Ah, mungkin almarhum eyang dan kakung yang tak pernah kulihat wajahnya itu yang mewariskannya. Kalau benar, setidaknya aku harus bersyukur mewarisi genetik tertentu dari orangtuanya orangtuaku. Orangtuanya orangtuaku? Kau ngomong apa, sih, stupid lady.

Malady, wanna hear something?” aku menggumam asal pada pertanyaan Reza yang tiba-tiba membuka pintu kamarku itu tanpa mau bersusah untuk menatap wajahnya. “Play with us, and you’ll find something.” Katanya dengan nada jahil.

Us?” tanyaku masih tidak mau melirik Reza. Mood-ku sudah terlalu buruk untuk meladeni Reza, kakak entah keberapaku yang selalu menyebalkan. Karena dia selalu bermain-main!

Yappa! Me and our sister,”

Who sister?”

Our?”

Aku terkekeh geli. Reza adalah salah satu kakakku dan dia memiliki kembaran. Elle-kembaran Reza, kakak entah keberapaku, paling tidak suka dipanggil sister walau faktanya dia memang our sister. Reza tidak pernah memanggilnya sister setelah insiden memalukan dan menyakitkan dan membahagiakan(ku) sewaktu mereka kelas enam SD dulu. Saat itu aku masih kelas empat di sekolah yang sama dengan mereka.

Jadi tidak heran aku menertawakan tingkah Reza yang sepertinya mempunyai agenda dan rencana lainnya untuk menjahili sister kami. Sister kami?! Sepertinya aku ikut gila karena Reza. Aku tidak pernah mau mengakui Reza dan Elle sebagai kakakku lewat lisan walau status kami seperti itu. Itulah yang menjadi alasan kenapa aku memanggil mereka tanpa embel-embel ‘kak’ dan sejenisnya. Alasannya terlalu memuakkan dan memalukan untuk diutarakan. Jadi, skip saja bagian itu.

I not join you if she planning to kill you. That’s all yours!” kataku sambil berdiri dan keluar kamar, mengikuti langkah Reza entah menuju mana.

Fine! We’re twin if you forget. Many kind of stories there told twinnie’s brain or heart or kokoro or something were connected. Hope when I was die, her brain too.” Aku menatap tidak suka pada arah pembicaraan Reza yang melantur. Kenapa dia harus memisalkan kematian dirinya dalam hal ini? Walau aku tidak mengakui dia adalah kakakku secara lisan, dia tetap akan menjadi kakakku, kan?

Why we were talking about die?”

You first!”

Hell on fire! I didn’t mean it. Just a sarcasm, you know?”

So mean. Your words young lady!”

Make it fast. I have a lot of to do tonight.”

Make some comics,”

Just one. But there isn’t any idea. Ugh, it’ll take longer.” Desahku kesal di kalimat akhir. Sekaligus menggerutu dan menyesalkan kecerobohanku, lagi!

Malady,”

Yes, maslave,”

Word please,” aku memutar mataku malas dan menggumam tidak jelas, “Have I told you before? Yes, am. But, did you do that. Ah, no, of course.” Reza mengangguk-anggukan kepalanya sambil bertopang dagu. Manis tapi menjengkelkan disaat yang bersamaan. Aku tidak suka pria dewasa yang kekanakan. “I read it from blog. You need to search the idea if you haven’t. So simple, right?

Your ass. It’s already midnight if you forget.”

Word, please!” lagi-lagi aku mengabaikan Reza dan melangkah mendahuluinya. “Oh, lady, please watch your step.”

Aku menengok ke belakang, masih sambil berjalan, “Watch wha-AAAT!”

Secara gamblang aku ingin mendeklarasikan bahwa Reza memang bukan kakakku. Dia bahkan tidak memberitahukan sebelumnya kalau ada jebakan menjengkelkan, memuakkan, dan menyakitkan tepat tiga langkah dari tangga. Walau tadi dia mengingatkan, tapi seharusnya jauh sebelum itu, bukan? Aku bahkan tidak tahu kalau ternyata dia mengingatkan karena suaranya yang terlampau santai seolah kata-katanya tidak penting.

You’re so mean. And rude. And jack-

Words!”

Aku mendecih, “What the-your-bad-brain-that-full-of-pranking-thing thought before you did it! My bottom, it hurts like really-hurts.”

Didn’t mean it.”

You mean!”

No.”

YES YOU ARE!” teriakku kesal.

“Oh, minyak,” suara Elle yang tiba-tiba muncul dari belakang membuatku yang sudah berdiri-tanpa bantuan siapapun karena Reza bahkan tidak mau bersusah untuk mengulurkan tangannya padaku-mundur ke belakang.

“Kau kena? Awesome!” berbeda dari Reza yang jahil tapi garing, Elle sangat sarkasme. Seperti aku, tapi lebih tenang, malah terlihat congkak. Dan itu menjengkelkan. Dia bahkan mengatakan kalimat tadi dengan nada sarkasmenya yang menjengkelkan dan menatapku penuh olokan.

Aku sudah bersiap membalas ucapannya penuh makian tapi malah suara Reza yang terdengar. “How you were there? Didn’t you in your room? Playing with apendix or something?”

“Setelah kau bertanya apa aku akan di kamar semalaman? Kau terlalu jenius sampai tidak ingat kalau aku lebih jenius darimu.” Lihat, wajah congkak Elle kembali diperlihatkan. Membuatku harus mendengus jijik sambil memalingkan muka darinya sebelum ia memperlihatkkan tatapan merendahkannya lagi.

You fooling me. So mean,”

“Kata seseorang yang selalu berbuat jahil,” lagi-lagi nada sarkasme itu keluar. Elle tidak pernah tidak mengeluarkan nada sarkasme setiap berbicara dengan orang lain.

You’re my sista-“ bahkan sebelum Reza menyelesaikan kalimat penuh kekecewaannya, Elle sudah menendang tulang keringnya hingga dia mengerang terlalu panjang karena kesakitan. Dalam hati aku berterimakasih. Setidaknya Elle membayar rasa kesalku karena terjatuh akibat jebakan Reza.

“Berhenti memanggilku seperti itu!” setelahnya Elle berlalu menaiki tangga, masuk ke kamarnya lalu menutup pintunya dengan satu sentakan keras.

Aku memutar mataku bosan pada tingkah Elle yang juga kekanakan. Bertahun-tahun dia bertahan dengan sikap anehnya hanya karena dipanggil sister, kakak, atau sejenisnya? Dia anak-anak atau apa? Oh, mungkin dia tidak ingin dianggap sudah tua karena dipanggil kakak. Mungkin diantara mereka Elle memang yang paling tua, dan dia tidak mau mengakuinya. Reza dan Elle memang tidak mau mengkonfirmasi siapa yang lebih tua.

Poor Elle,” kataku lalu berlalu menuju kamar setelah menendang tulang kering kaki Reza lainnya yang masih duduk mengerang kesakitan. Rasakan!

Di dalam kamar aku kembali merebahkan diri di atas kasur, menyesali keputusanku untuk ikut dalam rencana Reza. Ide tidak kunjung muncul dan aku terlalu malas untuk mencarinya seperti yang Reza sarankan. Ah, padahal tadinya aku berharap ajakan Reza membantuku mendapatkan ide. Pada akhirnya itu memang membuang-buang waktu saja.

Aku melirik ke hapeku yang kini memutar lagu RE-BYE. Ternyata belum aku matikan. Tapi aku terlalu malas untuk mematikannya. Jadi dengarkan saja. Dan aku terus mendengarkan sampai tidak sadar jatuh tertidur. Melupakan komikku. Ceroboh.

To be continued….

[ZMardha] willyaaziza, Bogor

Santri kelas 1 SMA (naik kelas 2) Pesantren Media

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *