Loading

Mell berlari menyusuri gang sempit dan kumuh itu dengan napas terengah. Kaki telanjangnya sudah kesakitan menginjak dasar yang tak pernah rata, selalu ada benda yang melukai telapak kakinya tiap kali ia menapak. Tapi ia tidak bisa berhenti berlari. Dia tidak boleh berhenti berlari. Dia harus berlari … lari dari kejaran orang-orang itu … lari … menuju cahaya di depannya. Tangan Mell berusaha meraih cahaya putih di depannya yang semakin lama semakin besar . . .

Mell memaku pandangannya pada lampu jalan yang menyala terang. Itu adalah cahaya yang berusaha diraihnya tadi. Kakinya yang penuh luka menginjak aspal dingin, di depannya jalanan remang yang sepi di kanan kirinya ada trotoar.

“Kejar, di jalanan!”

Mell refleks berlari berlawanan dari suara itu berasal. Dia berlari melewati pintu-pintu bangunan yang gelap dan kumuh. Kakinya yang penuh luka terasa perih, kepalanya pening dengan luka memar di sana-sini. Jantungnya berdegup begitu kencang berpadu antara lelahnya berlari dan ketakutan juga pengharapan. Sementara itu, tanpa dia sadari air mata mengalir di pipinya.

Dia melihatnya, seseorang sedang mengunci pintu sebuah bangunan lalu pergi. Mell berlari semakin kencang, berusaha berteriak memanggil orang itu. Mungkin hanya orang itu satu-satunya harapan dia bisa berhenti berlari.

Hanya beberapa meter lagi … sebentar lagi orang itu akan berada pada jangkauan suara teriakannya. Hanya sebentar lagi …. Hilang. Langkah kaki Mell terhenti, menyadari orang yang dikejarnya menghilang dalam keremangan lampu jalan. Diperhatikannya sekitar, tak ada jejak orang itu.

“Di sana!”

Mell panik, dia harus segera pergi dari sana, dia harus segera pergi. Diliriknya ke samping, sebuah gedung dengan pintu kaca gelap yang tak kalah kumuh dengan gedung lainnya. Di dorongnya pintu itu yang terbuka diikuti suara derik yang mengerikan. Mell menutup pintunya terburu-buru lalu duduk membelakangi jalanan, berusaha bersembunyi hingga beberapa detik kemudian dia melirik ke jalanan. Pergi, para pengejar itu … sudah pergi.

Kaki Mell terasa perih, pening di kepalanya semakin menjadi, dirasakan punggungnya terasa nyeri di bagian bekas dipukuli. Napasnya yang satu-satu begitu menyesakkan, sementara penglihatannya perlahan mulai mengabur. Bersama penglihatannya yang buram, perlahan kesadarannya menghilang.

 

Yang pertama kali di dengarnya adalah suara decitan burung yang perlahan menghilang diiringi kepakan sayapnya. Cahaya yang terasa panas di wajah membuatnya terpaksa membuka mata. Tubuhnya yang penuh dengan luka terasa perih ketika dia berusaha untuk duduk.

Mell mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, memilih melihat keadaan tempat di sekelilingnya. Penuh dengan kayu-kayu yang kotor, meja dan kursi beberapa terbalik, sisanya tertutup kain putih yang penuh debu. Mell berjalan, melewati deretan meja dan kursi lalu berhenti di sebuah meja bar panjang. Di belakang meja bar ada deretan rak gantung dengan toples-toples berbagai ukuran dan warna. Teko-teko, cangkir-cangkir, piring-piring dan perabot lainnya menumpuk di tempat cuci.

“Ada orang?” tanya Mell sedikit berteriak, entah pada siapa. Dia hanya berharap jika memang ada orang di tempat ini, orang itu adalah orang baik. Tapi setelah menunggu beberapa menit, tak ada jawaban.

Mell memutuskan untuk masuk ke dapur kecil di balik meja bar lewat pintu kayu. Diperhatikannya dengan seksama keadaan dapur itu. Kotor dan peralatannya tidak terawat. Mell berhenti di depan kompor yang tertutupi sebuah papan berwarna putih dan berlumut. Di atasnya ada kertas yang anehnya tidak kotor sama sekali. Seperti baru diletakkan di atasnya.

“Chi menunggumu, rawatlah dia sebahagia mungkin.” kata Mell, membaca isi kertas itu keras-keras. “Chi?” Mell melihat ke arah papan putih, menyibak lumut dan kotoran di atasnya. Ada tulisan terukir di papan itu. “Chi Café?”

Seolah tertarik dalam sebuah pusaran yang kencang, Mell merasakan sekelilingnya berputar hingga tak terlihat jelas apa yang ada di sekelilingnya. Kilat-kilat cahaya lembut sesekali menyapa matanya, membuatnya makin sulit melihat, sementara itu kakinya tak bisa bergerak. Kejadian itu sangat cepat terjadi sampai beberapa detik kemudian kumpulan cahaya seperti memasuki tubuhnya dan tidak lama hilang.

Mell perlahan membuka matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat saat dilihatnya kompor yang semula kotor karena debu dan lumut tiba-tiba bersih mengkilap. Dilihat pula ke sekeliling dapur, tumpukan cucian di tempat cuci menghilang, rak-rak gantung penuh oleh deretan piring, cangkir, teko dan sebagainya yang tersusun rapi. Keadaan dapur pun bebas dari debu dan lumut-lumut.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” Mell meremas tangannya, tapi dia baru menyadari sesuatu, tadi dia memegang papan putih di tangannya. Kenapa sekarang papan itu tidak ada?

Mell berlari keluar dari dapur, tubuhnya mematung begitu menyadari meja, kursi dan segala perbotan tersusun rapi dan terlihat bersih. Di depannya pintu dua arah dengan keadaan yang jauh dari kata rusak dan kotor dengan sebuah papan tergantung di atasnya bertuliskan “OPEN”.

Mell berjalan mendekati pintu itu hingga bayangannya terpantul di kaca. Dia tidak bisa menyembunyika ekspresi terkejutnya saat melihat pakaian yang dipakainya jauh lebih layak dari baju terakhir yang dipakainya. Dia semakin terkejut saat menyadari luka-luka di sekujur tubuhnya hilang tak berbekas. Dan sekarang, ia memakai sepasang sepatu berwarna cerah yang nyaman.

Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Mell kembali memperhatikan seisi ruangan. Bersih dan rapi. Perhatian Mell teralihkan saat melihat sesuatu di atas meja di dekatnya. Sebuah apron berwarna putih dengan renda cokelat yang manis. Mell meraba bagian kiri atas apron yang terdapat bordiran namanya, di tengahnya ada bordiran semanggi berdaun empat dan tulisan “Chi” di bawahnya.

“Apa-apaan tempat ini. Bagaimana . . . siapa yang melakukan ini?” kata Mell, lebih meracau pada dirinya sendiri, karena di tempat itu hanya ada dirinya.

Tiba-tiba suara lonceng berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Dilihatnya seorang gadis dengan seragam sekolah memasuki tempat itu. Wajahnya manis dan matanya berkilat ceria, dia tersenyum pada Mell sambil berkata, “Apa cafenya sudah di buka?”

Eh? “Eh?!”

“Chi Café, apa anda pekerja di sini?”

Bingung dengan kondisi, Mell hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi dia tidak pernah merasa menjadi pegawai di tempat yang katanya café ini. Tapi, melihat namanya terukir di apron berlogo café ini . . . sepertinya dia harus menjadi pegawai di sini.

“Ya,” kata Mell pada akhirnya, “silahkan duduk.”

Pelanggan pertama Mell duduk di kursi, sementara dia berjalan cepat ke dapur dan berdiri di balik bar. Lewat tatapan mata dia berusaha mencari petunjuk apapun itu. Dia bahkan tidak tahu apa saja yang dijual café ini, dan apakah bahan-bahan yang ada di sini bisa digunakan? Atau jangan-jangan tidak ada satupun bahan yang tersedia di sini?

“Kakak, aku pesan banana waffle with chocolate ice cream,”

“Eh, i-iya.” Mell memutar tubuhnya, membelakangi pelanggannya. Dia benar-benar bingung dengan apa yang harus di lakukan.

Tepat saat itu, ekor matanya menangkap sebuah buku di rak paling atas. Diambilnya buku itu dengan sampul hijau polos bertuliskan “Chi Café”. Mell membuka buku itu langsung di tengah. Dia sangat bersyukur saat melihat nama-nama makanan terpampang besar dengan resepnya. Terburu-buru ia mencari nama makanan yang dipesan pelanggan pertamanya dan langsung membuatnya begitu dia menemukan apa yang dicari.

“Pesananmu, banana waffle with chocolate ice cream.”

“Wah, terimakasih. Sepertinya enak.” melihat pelanggannya tersenyum, seperti aliran listrik seri, membuat Mell ikut tersenyum. “Manis! Enak.”

“Terimakasih.”

 

Mell duduk di kursi di depan bar, memangku buku yang ditemukannya dengan judul Chi Café. “Chi Cafe, mungkin bisa membantu, jika anda ingin bercerita.” Bacanya di halaman pertama buku itu. Mell membuka lembar selanjutnya yang berisi resep-resep menu yang ada di café ini.

Mell hampir sampai di halaman terakhir ketika membaca judul “Chi Café’s Workers”, di bawahnya nama-nama tersusun rapi hingga ke halaman-halaman selanjutnya.

“Aneh, di sini banyak pekerjanya tapi kenapa tidak ada seorangpun yang datang?”

Mell sedang meletakkan buku yang dipegang ke tempat semula saat lonceng café tiba-tiba berbunyi nyaring lalu tertutup. Dia melihat gadis bersergam yang baru keluar dari café beberapa menit yang lalu berdiri di depan pintu dengan napas terengah. Merasa heran, Mell ingin menanyakan maksud gadis itu datang lagi, tapi tertahan saat tiba-tiba gadis itu menangis tak bersuara.

Pelanggannya itu bernama Luna, seorang siswa menengah pertama tingkat akhir. Mell menariknya duduk di kursi depan bar dan memberikannya teh melati yang aromanya menenangkan. Mell sendiri tidak dapat berbuat banyak apalagi dia tidak berpengalaman dalam menghibur seseorang. Tapi dia ingin membantu sebisa mungkin, kalau gadis itu ingin bercerita.

Seperti tersengat listrik, Mell memutar apa yang dibacanya di buku “Chi Café”. Di halaman pertama buku itu, “Chi Café, mungkin bisa membantu, jika anda ingin bercerita”.

“Chi Café, mungkin bisa membantu, jika anda ingin bercerita.” kata Mell pada akhirnya disertai senyuman.

Tanpa siapapun sadari buku berjudul “Chi Café” yang kini ada di rak paling atas di dapur, di lembar daftar para pekerja Chi Café diam-diam terukir nama Mell. Bersamaan dengan itu buku bersampul hijau polos itu menghilang.

 

willyaaziza, 30 Oktober 2016 1.47 p.m

[ZMardha]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *