Chi
Mell menuangkan susu di kopinya, mengaduknya perlahan sambil menikmati aroma lembut yang tercium manis di hidungnya. Lengking suara lonceng dari pintu masuk di cafenya berbunyi saat Mell menyesap pelan minumannya. Seorang wanita bertubuh tinggi semampai datang dengan raut wajah yang menjemukan.
“Selamat datang di Chi Café.” sapa Mell pada pelanggannya yang duduk anggun di depannya. “Ada yang ingin dipesan?”
“Kopi,”
“Chi Café memiliki banyak,”
“Kopi hitam, tanpa gula.” wanita itu memotong perkataan Mell dengan nada dinginnya.
Menghapus rasa kesal, Mell kemudian membuat kopi yang dipesan wanita itu dan beberapa menit kemudian menghidangkannya. “Pesanan anda.”
Wanita itu, diperhatikannya hanya diam memandang kopi buatannya, tak berniat untuk menyentuhnya. Raut wajahnya perlahan tampak lelah sekali, jika diperhatikan lebih dalam ada lengkung hitam di bawah matanya. Padahal paras cantiknya akan terlihat bersinar jika saja ia tersenyum.
“Anda tampak lelah,” kata Mell kepada satu-satunya pelanggan di cafenya itu. “Chi Café mungkin bisa membantu, jika ingin bercerita.”
Wanita itu masih diam, tidak menanggapi omongan Mell dan mulai memainkan cangkir putih kopi hitam di depannya. Merasa tak dibutuhkan, Mell memilih diam dan mengelap cangkir dan piring-piring yang sudah dicucinya.
Samar-samar terdengar suara dering hape yang tidak lama hilang. Suara pelanggan wanitanya yang awalnya lembut juga lelah perlahan meninggi karena emosi, “Just shut up you bitch, I don’t trust you anymore.”
Mendengar kata-kata kasar terucap di cafenya, Mell memutar tubuhnya, berjalan mendekati wanita itu dan sambil tersenyum ia berkata, “Chi Café tidak mengizinkan tamu-tamunya untuk berbicara kasar. Dan anda, sudah melakukannya.”
“Sejak kapan café punya peraturan seperti itu?” tanya wanita itu kasar, membuat Mell kembali tersenyum.
“This’s Chi Café.”
Wanita itu terdiam, kembali memilih tenang dalam duduknya meski amarah tampak jelas menutupi wajah cantiknya. “Chi Café mungkin bisa membantu, jika anda ingin bercerita.”
“Anda mengatakan hal yang sama dua kali, Sist.”
“Mell, panggil aku, Mell.”
Wanita itu menatap wajah Mell cukup lama, sementara senyuman tak pudar di wajahnya. Membuang napas panjang, dia memulai ceritanya.
Ia adalah seorang wirausaha di bidang kerajinan bersama seorang temannya yang lain. Mereka bekerja sama selama hampir lima tahun lamanya hingga memiliki satu cabang di kota lain yang dikelola oleh saudara dari teman kerjanya ini. Beberapa bulan yang lalu ia mulai menyadari kalau keuangan di tempat usahanya sedang kacau. Bulan demi bulan berlalu tak banyak kemajuan padahal dia yakin banyak sekali pelanggan tetap dari produk-produknya. Mengambil tindakan cepat, ia terpaksa memberhentikan beberapa pegawainya. Tapi solusi itu tidak bertahan lama, keuangan di perusahaannya tidak kunjung membaik, membuat dia terpaksa harus meminjam uang sebagai modal.
“Saya kira itu karena konsumen tidak lagi menyukai produk-produk kami, tapi saya baru sadar kalau jumlah produk yang terjual dengan pemasukan berbeda. Dan dalang dibalik semua ini adalah partner kerja saya dan penanggung jawab di perusahaan cabang. Mereka bekerja sama.” wanita itu terdiam cukup lama, menatap kosong kopi hitamnya yang mulai dingin tanpa pernah dicicip sedikitpun.
“Sekarang saya terlilit hutang. Usaha saya gagal, dan tidak ada yang bisa dilakukan.”
Mell terdiam beberapa saat kemudian mengambil cangkir putih wanita itu dan mengganti kopinya dengan yang baru. “Cicipilah, Chi Café memiliki kopi hitam terbaik.” Katanya sambil menyerahkan secangkir kopi yang masih hangat.
Wanita itu menyesap pelan kopinya, rasa terbakar menjalari lidahnya tapi tidak menahannya untuk berhenti meminum kopi. Setelah melewati tenggorokan barulah terasa betapa pahitnya kopi hitam itu.
“Seperti dirimu. Kopi hitam itu sepahit masalahmu.” kata Mell pelan, tapi nadanya yang lembut membuat pelanggan wanitanya menyerahkan segala atensi padanya. “Kau memiliki masalah, kau membuatnya menjadi beban, kau membuat masalahmu menguasai dirimu. Dan kau, meminum kopi hitam yang semakin membuat pening kepalamu.”
Mell pergi dari hadapan pelanggannya sebentar mengambil teko berwarna hitam dari rak lalu menuangkan isinya ke dalam cangkir pelanggannya. “Lawan pahit kopi dengan manisnya susu,” Mell membuat jeda sebentar, menatap langsung pelanggannya lalu melanjutkan, “maka kau akan tahu betapa manisnya masalah hidupmu itu.” katanya diiringi senyuman lembut.
Mia keluar dari restoran siang itu. Ia lega karena usaha yang mulai ia bangun kembali berjalan lancar. Yah, setelah mendapat masalah yang membuat perusahaannya bangkrut Mia kembali memulai usaha baru. Ia menjual semua investasi yang dia miliki untuk membayar hutang dan sebagai modal untuk usaha baru. Belajar dari masa lalu, ia mencari partner yang bersih dan jujur dan menulis kontrak secara mendetail agar tidak terulang masalah yang lama. Dan lebih mudah menyelesaikannya dengan kontrak jika masalah itu terulang. Jalur hijau, misalnya.
Kehidupannya yang sekarang memang sulit, masalah siap menderanya kapanpun dan dimanapun, tapi itu tidak berarti membuatnya harus berputus asa. Membuat masalah yang ada kian merumit dengan menjadikannya beban pikiran.
Seperti yang dikatakan Mell, lawan pahitnya kopi dengan manisnya susu, maka kau akan tahu betapa manisnya masalah dalam hidupmu itu.
Mia belok kanan di pertigaan dekat alun-alun kota, menyusuri toko-toko yang ada kemudian berhenti di depan pohon yang tumbuh subur di sana. Dia tidak bergerak dari tempatnya, terdiam cukup lama menatap toko di depannya. Kerutan tipis di dahinya semakin terlihat jelas ketika dia membaca lagi nama toko di hadapannya “Flower Shop”.
Mia mundur, menghitung toko-toko dari belokan, membaca tiap nama toko yang dilewatinya. Tapi tidak ada, tidak ada Chi Café di sana.
“Permisi,” katanya pada seorang pejalan kaki di sana. “Apa Chi Café di sini pindah ke tempat lain?”
“Chi Café? Tidak ada café seperti itu di sini, satu-satunya café hanya Lou Eat and Drink.”
Mia semakin heran. Tidak mungkin tidak ada. Dia yakin sekali memasuki Chi Café di kawasan ini.
“Kakak,” suara anak kecil mengalihkan perhatiannya “Senyum kakak cantik waktu bilang Chi.”
Pejalan kaki yang baru ditanyai tadi tersenyum kemudian pergi membawa anak kecil yang memujinya tadi. Sementara itu, Mia terdiam merenung pada dirinya sendiri, mempertanyakan banyak hal tapi hanya menarik satu kesimpulan. Sejak awal dia masuk ke Chi Café dia selalu mempertanyakan satu hal. Kenapa café itu diberi nama “Chi” yang bahkan tidak terdengar seperti nama panggilan seseorang. Tapi sekarang ia baru sadar. Ketika menyebut kata “Chi” kebahagiaan berjalan ke arahnya. Hanya dengan mengucapkan kata “Chi” maka ia akan tersenyum tanpa ia sadari. Jadi karena itu menggunakan chi, “Chi Café” yang membawa senyuman, penggiring kebahagiaan.
willyaaziza 10 Oktober 2016 8.48 p.m
[ZMardha]