Loading

“Fanya!” ia menoleh. Nadin menyodorkan kotak kado berwarna merah jambu. Fanya mengerutkan dahinya.

“Ambil lah. Aku tahu, kamu ulang tahun hari ini kan?” Nadin memamerkan wajahnya yang seolah-olah tulus. Fanya masih curiga.

“Fanya, aku minta maaf karena sering mengganggu dan mempermalukanmu di depan kelas. Aku tahu, sebenarnya kamu teman yang baik.” Gadis berponi miring itu tersenyum. Fanya membalas senyumannya dan mengambil kado itu.

“Aku juga minta maaf ya, jika membuatmu tidak nyaman”. Dia mengulurkan tangannya, sebagai tanda permintaan maaf. Nadin menjabat tangan musuhnya itu.

“Aku mau ke kantin dulu ya. Semoga kamu suka dengan kadonya” Nadin membalik badan dan meninggalkan Fanya di ambang pintu kelas.

***

Gadis bermata bulat itu, merapikan kerudungnya di depan cermin toilet. Fanya menghela nafas. Kapan dia berubah?

“BRAKK!!”. Nadin dan ‘teman-teman seperjuangannya’ menggebrak pintu toilet. Ia memperbaiki kaca matanya,

“Gimana kadonya? Suka?”

Urat-urat di tangan Fanya menonjol. Ia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan musuh bebuyutannya itu.

“Duh… mukanya selow aja mba” tambah salah satu di antara mereka. Nadin mendekat. Dengan cepat, Fanya menerbangkan tonjokkannya ke pipi Nadin. Teman-temannya menganga. Sedang Nadin, tersungkur di lantai toilet.

“Berani juga kamu” Nadin bangun sambil memegangi pipi kirinya. Fanya melotot. Tanpa ia sadari, tangannya telah melukai seorang anak manusia.

“Lepas saja kerudungmu itu. Buat apa pakai begituan tapi akhlaknya kayak bajingan.” Nadin sinis. Fanya menahan amarahnya dalam-dalam. Gerombolan anak-anak genit di belakang Nadin, tertawa sinis.

“Kamu mau apa sih?!” suara Fanya mengeras. Nadin menampar pipi Fanya keras-keras.

“Gara-gara kamu, juara kelas bukan di tanganku lagi! Dasar, cewek sok alim!”

Rahang Fanya mengeras,

“Cuma gara-gara itu?”

Bel sekolah berbunyi.

“Liat aja nanti sore” dengan dipapah salah satu temannya, Nadin dan teman-tenannya meninggalkan toilet. Fanya menghela nafas. Uratnya mengendur.

***

“Tapi Bu, Nadin memasukkan kodok di dalam kotak kado yang dia beri kepada saya” matanya berkaca-kaca. Kepala sekolah menor itu menggelengkan kepalanya.

“Sudah enam kali kamu buat onar! Kamu memang punya banyak prestasi di sini. Tapi kelakuanmu? Bikin malu sekolah!”

“Tapi Bu, saya tidak akan melakukan itu jika Nadin dan teman-temannya itu tidak memulainya duluan” Fanya meneguk liurnya.

“Mulai besok, kamu bukan murid SMP 1 Samarinda lagi!” wanita dengan bedak tebal itu menggebrak meja. Fanya tertunduk.

“Kamu tahu? Kamu telah melukai seorang anak donator terbesar di sekolah ini” ia mengecilkan suaranya. Darah Fanya mendidih. Hanya karena dia anak donator terbesar di sekolah ini? Aku dikeluarkan dari sini? Ini tidak adil!

“Cepat keluar dari ruangan saya!” kepala sekolah gila harta itu, mengusir Fanya dengan kasar. Fanya tak bisa lagi membela dirinya. Keputusan kepala sekolah itu, benar-benar tidak dapat diganggu gugat. Ia membuka pintu ruang kepala sekolah dengan pelan.

“Hai alumni SMP 1 Samarinda…” sindiran Nadin membuat Fanya terpojok. Fanya tidak menjawab. Ia melemparkan senyum pada Nadin,

“Kebenaran selalu menang. Meski terkadang, ia tidak hadir di saat yang kita inginkan. Mungkin nanti, ketika semua orang sudah tidak tergila-gila dengan harta”

Bogor, 27 Maret 2013

[Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen  di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By anam

Ahmad Khoirul Anam, santri angkatan ke-2, jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://anamshare.wordpress.com | Twitter: @anam_tujuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *