Wajah gadis di balik kerudung hijau itu menegang. Bibirnya mengatup rapat. Matanya yang indah, membelalak, menatap tajam pria separuh baya yang melenggang satu meter di hadapannya. Jari jempol dan telunjuknya mengapit erat sebuah puntung rokok yang baru saja mati.
Setengah berlari ia menyusul pria itu. Jilbabnya yang terulur hingga mata kaki tak menghalangi langkahnya yang lebar.
“Pak, tunggu!” teriaknya ketika sudah tinggal beberapa langkah lagi. Sontak pria itu berbalik. Keningnya berkerut dan matanya menatap heran gadis di hadapannya dari kepala hingga ujung kaki.
“Maaf, saya tadi melihat Bapak buang puntung rokok sembarangan, dalam keadaan masih menyala lagi. Itu berbahaya, Pak.” Tegurnya tanpa tedeng aling-aling. Tangan kanannya mengangkat puntung yang dimaksud.
Pria itu melongo, sedetik kemudian ia mengedikkan bahunya acuh.
“Bukannya itu sudah mati?” ia menunjuk puntung itu dengan dagunya.
“Ini saya yang matikan, Pak. Tadi benar-benar masih menyala.” Geram gadis itu.
“Ya terus si Neng mau apa?” Pria itu bertolak pinggang.
Darah gadis itu berdesir. Seketika adrenalin di tubuhnya berpacu. Jantungnya memompa lebih keras.
“Tolong jangan Bapak ulangi lagi! Itu bisa berakibat fatal.” Tandasnya.
Pria itu kini menyeringai. Matanya liar menelusuri wajah di hadapannya.
Si gadis wajahnya memerah. Tubuhnya bergetar menahan gejolak emosi. Meski demikian, benaknya masih mencoba memilih kata yang tepat untuk mengingatkan pria pongah di hadapannya.
“Shelda, Yuk, kita hampir telat!” tiba-tiba sebuah tangan menyambar lengan si gadis. Gadis itu, Shelda, terperangah kaget dan reflek menarik kembali tangannya. Namun ketika ia menyadari bahwa yang menarik tangannya adalah Wafa, sahabatnya satu kampus, ia bergeming dan tersaruk mengikuti langkah sahabatnya itu.
“Astaghfirullah Shelda, hati-hati kalau menegur orang lain. Laki-laki pula.” Wafa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kampus bercat biru sudah tampak di hadapan mereka.
Shelda menghela napas. Perlahan urat-urat di tubuhnya mulai mengendur.
“Wafa, tindakannya itu berbahaya lho. Coba kau dengar berita-berita kebakaran. Tidak jarang penyebabnya hal-hal yang sepele seperti itu. Tindakan itu berbahaya bagi orang lain, juga bagi lingkungan.” Sergahnya.
“Iya, aku tahu. Aku juga tahu kau begitu peduli terhadap lingkungan. Tapi ingat Shel, kau juga harus pikirkan dirimu. Keselamatanmu.” Wafa menatap mata sahabatnya dalam-dalam.
“Pria tadi bisa melakukan apa pun terhadapmu. Bahkan kau tak sadar keadaan di sekitarmu tadi begitu sepi.” Lanjutnya ketika melihat Shelda ingin membuka mulutnya.
Shelda menelan ludah. Ia mengalah.
ooOoo
Pagi hari ini tanpa kabut. Tak banyak embun yang tertinggal di pucuk rumput. Bahkan matahari bersinar demikian lembut.
Wafa pasti masih sibuk bersyukur bisa mengisi paru-parunya dengan udara bersih, andai keindahan pagi itu tidak dirusak dengan makian Doni. Pemuda yang orangtuanya pengusaha kaya itu ditemukan Wafa berdiri bertolak pinggang di hadapan Shelda.
“Dasar, gadis katrok! Jelas-jelas AC itu pendingin ruangan. Eh, AC-nya malah dimatiin. Biar kau buka semua jendela itu, tidak akan menyaingi sejuknya AC.” Doni menunjuk ke arah jendela-jendela kelas yang terpentang lebar.
Shelda mendengus. Ia yang semula duduk kini berdiri tegak. Jarak antara ia dan Doni sekitar 1 meter. Namun itu tak membuat Shelda urung membuka mulutnya.
“Don, kamu tahu kan AC itu menghasilkan freon yang dapat menyebabkan efek rumah kaca. Akibatnya, atmosfer akan semakin menipis.” Jelas Shelda.
Dia bicara dengan sikap wajar, biasa saja. Sementara Doni menunjukkan reaksi sebaliknya. Ia bangkit, berjalan ke arah jendela, menutup jendela-jendela itu. Lalu meraih remote AC dan mengatur pada suhu 18o C. Dengan mengangkat dagu dan langkah lebar, ia melangkah dan duduk di deretan kursi paling belakang. Matanya tajam mengawasi Shelda dari sana.
Beberapa temannya yang memperhatikan mendengus, sebagian kecil terbahak dan sebagian besar bersikap acuh. Shelda sendiri menoleh ke arah Wafa. Menimbang memilih sikap. Namun gadis itu menggelengkan kepala, memberi isyarat agar ia tetap di tempatnya.
Shelda menghela napas. Menunduk, menahan gejolak emosi yang memerahkan wajahnya.
Wafa menatap Shelda dengan iba. Diam-diam ia memuji akan besarnya kepedulian sahabatnya itu terhadap lingkungan.
ooOoo
Sudah seminggu, sejak insiden AC itu, Shelda tidak masuk kuliah. Wafa sudah mencarinya ke kostan, tapi gadis itu tak ada. Handphone-nya juga tidak aktif. Ingin rasanya Wafa terbang ke Jogja. Siapa tahu sahabatnya itu pulang diam-diam.
Tiba-tiba Wafa merasa kehilangan yang sangat. Selama ini ia sering berharap, Shelda tak menegur seluruh aktifitasnya. Saat Wafa mem-print laporan, misalnya. Sheldalah orang yang selalu memintanya membaca dengan teliti sebelum hasil tugas itu diprint. Alasannya, agar tidak boros kertas.
Jika ternyata tugas yang di berikan ke dosen itu harus direvisi, Sheldalah orang yang menganjurkan agar kertas-kertas itu tidak langsung dibuang, melainkan memanfaatkan terlebih dahulu bagian belakangnya, untuk mencatat pelajaran.
Jika Wafa flu dan pilek, Sheldalah yang selalu menyediakannya sapu tangan agar Wafa mengurangi penggunaan tissue.
“Tissue terbuat dari serat kayu, dan itu mempercepat penebangan pohon.” Begitu sergahnya selalu.
Bahkan Wafa pernah membuka tas Shelda saat pulang dari kampus. Masya Allah, tas itu penuh sampah. Karena Shelda selalu memunguti sampah yang ia temui saat pulang atau pergi ke kampus.
Sungguh, kini kata-kata Shelda begitu berdenting di hatinya. Semua ulah Shelda yang selama ini dianggapnya mengesalkan itu, begitu dinantinya. Ia rindu. Demikian pula beberapa temannya. Mereka kehilangan miss environment tersebut.
Yang mengherankan adalah sikap Doni. Pemuda pongah itulah yang kini rajin mematikan AC dan membuka semua jendela. Ia juga jadi telaten memungut sampah di depan kelas. Bahkan sering kali Wafa memergoki pemuda itu keluar dari masjid kampus, beberapa saat setelah adzan berkumandang.
Suatu kali, ia juga pernah menanyakan keberadaan Shelda pada Wafa dengan tersipu, dan pergi dengan kecewa, saat Wafa mengatakan ia juga tidak tahu. Wafa berharap perubahan itu bukan semata-mata karena Shelda. Namun lebih kepada kesadaran yang mutlak berasal dari dalam diri Rido sendiri.
ooOoo
Wafa berdiri di depan pintu ruangan serba putih itu dengan tubuh bergetar. Dadanya bergemuruh melihat tubuh penuh perban di hadapannya. Setetes air mata keluar dari sudut mata Wafa, lalu mengalir menuruni bagian samping wajahnya.
Wafa mendekat dan mencium tangan seorang wanita separuh baya yang tadi menelponnya, mengabari keadaan Shelda. Wanita itu, mama Shelda, mengangguk, lalu bangkit untuk menyingkir. Keluar, dan menutup pintu dengan perlahan.
Wafa merasakan gumpalan emosi menyesak di dadanya, kemudian ia mengulurkan tangan untuk menggengam tangan Shelda. tangan itu terasa hangat dan kering dalam genggamannya.
Perlahan Shelda membuka matanya, dan mencoba menarik sudut bibirnya saat Wafa mengucapkan salam.
“Kami kehilanganmu, Shel.” Ujar Wafa, dan tercekat saat melihat pipi gadis yang terbaring di hadapannya terdapat lebam.
Seperti dapat membaca pikiran Wafa, Shelda berujar lirih. “Pria itu menamparku dengan sangat keras Fa, dan tubuhku tidak siap akan hal itu. Aku terjengkang dan jatuh terpelanting ke luar dari pintu angkot yang melaju. ” Jelasnya tanpa diminta.
Wafa terbelalak. “Siapa pria gila itu, Shel?”
“Pria itu tidak gila, Fa. Ia hanya mabuk. Hanya aku yang sedang sial, menegur pria mabuk yang telah membuang botol minuman keluar jendela, dari dalam angkot. Benar katamu, aku ini gadis ceroboh. Kurang hati-hati.” Shelda tersenyum getir. Menertawai kebodohannya.
“Aku tahu kau tidak selalu begitu, Shel.”
“Fa, aku tahu aku sering begitu. Mungkin yang aku lakukan tampak tak berarti. Dakwah yang sesungguhnya adalah memberi tahu kepada umat, siapa sebenarnya pengrusak bumi yang sebenarnya. Para pemilik modal. Mereka pengrusak lingkungan sejati. Menjarah emas, batu bara, hutan dan semua kekayaan kita. Lalu meninggalkan bekasnya begitu saja.” Ada api menyala di mata yang semula redup itu.
Wafa bergeming. Membenarkan kata-kata sahabatnya.
“Namun Fa, tidak bijak jika aku juga tidak mendakwahkan hal-hal kecil seperti sekedar hati-hati membuang sampah, memanfaatkan kertas bekas, atau menghemat energi. Apa pun yang bisa aku lakukan di masa hidupku, akan kulakukan. Agar aku bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku kelak di hadapan Allah.” Shelda berbicara terengah.
Wafa mengangguk. Sungguh, kali ini ia sepakat dengan semua ucapan sahabatnya itu. Ia mengerti. Sangat mengerti.
Lalu hening tercipta.
“Shel, siang ini teman-teman akan besuk. Kami semua sudah lama kehilanganmu.” Wafa mencoba mencairkan keheningan yang ada.
“Oh ya, tunggulah. Semoga seminggu atau dua minggu lagi aku bisa kembali menceramahi mereka lagi.” Canda Shelda.
“Dan kau tahu, siapa yang paling kehilanganmu?” goda Wafa sambil tersenyum nakal.
Shelda menaikkan alisnya. “Kau?”
“Bukan. Tapi…Doni.” bisiknya.
Shelda mengerjapkan matanya. Tak percaya. Namun sedetik kemudian wajahnya bersemu.
“Seharusnya aku tahu.” Desisnya lirih.
Dan untuk pertama kalinya Wafa melihat, mata miss environment yang biasanya bersinar tegas itu, kini berbinar.
Olala…
Bogor, 25 Maret 2013
[Wita Dahlia, santriwati kalong, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media
Ide ceritanya kerreen!