Loading

Perempuan paruh baya itu menggenggam sapu tangan dengan erat, sesekali matanya menatap pintu di ruang tamu. Garis wajahnya terlihat begitu cemas. Dia mencium sapu tangan itu dan menyebut sebuah nama dengan suaranya yang lirih. Hujan masih mengguyur di luar sana, berulang kali memunculkan seberkas sinar yang diikuti gemuruh suara petir.

Sepasang mata mungil mengintip perempuan itu dibalik pintu yang penuh coret-coretan, perlahan-lahan gadis kecil itu kembali bersembunyi di balik pintu. Tidak berani menegur perempuan paruh baya itu. Perlahan-lahan dia berjinjit kembali ke ranjangnya, membuka selimut tebalnya dan menyelinap di dalamnya. Gadis kecil itu meraih sebuah boneka kumal yang hampir jatuh di pinggir ranjang, lalu memeluknya.

Matanya menatap lurus ke arah jendela kamarnya yang tertutup, beberapa rintik hujan memukul-mukul berirama. Sesekali kilat menyambar masuk, menciptakan sinar kejutan yang membuat gadis itu menutup mukanya dengan selimut. Malam itu, ketika semua orang sibuk bergumul dengan selimutnya, ada sepasang kaki yang melangkah masuk ke dalam suatu rumah. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi malam itu, karena ketika semua orang menyadarinya, semua sudah terlambat.

Suara jam tua di tengah ruangan terdengar begitu jelas walau bersahut-sahutan dengan gemuruh petir yang menyambar. Jarum jam yang sudah berkarat menunjuk ke angka 2, tapi perempuan patuh baya itu masih setia di kursinya, wajah cantiknya terlihat letih. Entah sudah berapa lama dia duduk di kursi itu. Menunggu.

Beberapa tetes air yang jatuh dari sela-sela atap, membasahi lantai kayu yang terlihat lapuk dimakan usia. Sepasang kaki berjinjit  melewati genangan air di lantai kemudian menaruh sebuah mangkuk plastik kecil di bawah tetesan air. Perlahan, pemilik sepasang kaki itu berjalan tanpa suara menuju perempuan paruh baya yang duduk membelakanginya.

Di bawah kilatan cahaya dan diredam gemuruh hujan, sebuah pisau menancap begitu dalam di punggung perempuan paruh baya. Darah merembes membasahi bajunya dan mengalir turun hingga ke lantai. Tangannya yang menggenggam sapu tangan, jatuh terjuntai tanpa daya ke sisi kursi. Di wajah yang tertutup topi itu seringai penuh kebencian muncul.

Beberapa langkah di belakang sosok bertopi itu, sepasang mata yang sebelumnya bersembunyi di bawah selimut, menatapnya tanpa suara. Tangannya yang bergetar menutup mulutnya rapat-rapat, matanya terbelalak. Agak lunglai gadis kecil itu melangkah mundur, menjauhi pintu yang terbuka sedikit. Dengan badan gemetaran, dia bersembunyi di belakang lemari. Meringkuk dalam gelap, menangis tanpa suara.

Masih terbayang dihadapan gadis kecil itu ketika ibunya dibunuh begitu cepat. Badan kecil gadis itu semakin bergetar hebat, ketakutan semakin merasuk ke dalam hatinya ketika sosok bertopi itu melintas dalam benaknya. Dia mengira sosok itu adalah ayahnya, tapi ia menyadari sosok itu bukan ayahnya saat melihat warna mantelnya yang berwarna hitam pekat dengan ukiran putih berbentuk salib terbalik dan hanya dalam hitungan detik gadis itu kehilangan ibunya.

Detik jarum jam terdengar begitu jelas, sementara gadis kecil tadi masih terjaga sambil meringkuk. Matanya menatap lurus ke depan, takut jika sebuah kepala menyembul dengan seringai yang menakutkan. Tanpa gadis kecil itu sadari, tubuhnya sudah lelah terjaga dengan posisi yang sama, sehingga memaksa otaknya untuk beristirahat, tapi rasa takut memaksanya untuk tetap bangun hingga pagi menjelang. Hingga akhirnya ia menyerah dan tertidur sambil memeluk lututnya. Sebuah air mata mengalir perlahan.

Sementara sosok bertopi tadi sudah menghilang dengan pisaunya. Tanpa meninggalkan jejak dan hanya menyisakan sebuah mangkuk plastik yang sudah terisi sebagian oleh tetesan air dari atap. Namun sebenarnya, sosok itu juga meninggalkan sebuah luka yang kelak akan mempertemukan si gadis kecil dengan seseorang yang akan menguak pembunuhan itu. Seseorang yang akan membuatnya jatuh cinta sekaligus seseorang yang akan mengakhiri hidupnya.

 

-ZDLC-

 

Agak terhuyung, Adrian bangkit dari tidurnya. Matanya menyipit, melihat sekeliling. “Astaga siapa kamu?” serunya panik, saat melihat gadis yang memakai gaun putih selutut sedang menyiram api unggun. Gadis itu menatapnya datar, kemudian berbalik dan berjalan menjauh. Seperti orang yang baru sadar dari amnesia, Adrian langsung berdiri dan mengejar gadis itu. Agak kasar Adrian menarik tangan gadis itu, sebuah tatapan tajam langsung menghujam Adrian.

“Lepas,” seru gadis itu dingin.

“Ow, ow, sorry, aku yeah..maaf, aku enggak bermaksud menyakitimu,” balas Adrian gugup.

“Pulanglah,” ujar gadis itu tiba-tiba. Adrian mengangkat sebelah alisnya. Bingung.

Gadis itu memutar bola matanya, tangannya terlipat di dadanya. “Kau benar-benar bodoh,” cetusnya kasar. Adrian masih bergeming, entah kenapa ia merasa ingatannya tidak terlalu bagus. Gadis itu kemudian mendorong Adrian mundur, “Ikuti aku,” gadis itu berjalan melewati Adrian, langkahnya begitu ringan dan cepat. Sementara di belakangnya Adrian sibuk menyusun beberapa ingatan yang pudar dalam otaknya.

Setelah berjalan cukup jauh, gadis itu berhenti dan berbalik ke arah Adrian sambil menunjuk ke sebuah perbatasan, “Sekarang pergilah,” ujar gadis itu dingin. Adrian terdiam, ingatannya berputar cepat.

“Ah, aku ingat! Aku disuruh mengikutimu sampai..” cengiran Adrian langsung pudar.

“Haha..aku sepertinya berjalan saat tidur dan mengikutimu karena kamu cantik, hahaha..”

Gadis itu menatap Adrian datar, sementara yang ditatap hanya bisa tertawa hambar. Sesaat hanya terdengar tawa Adrian yang semakin mengecil. Karena tidak ada respon apapun dari gadis itu, Adrian mengusap belakang kepalanya pelan, terlihat jelas guratan gugup dan panik di wajahnya. Tidak lama Adrian langsung berlari melewati gadis itu, mukanya bersemu merah. Dengan anggun gadis itu berbalik, menatap punggung Adrian yang semakin menjauh. Dia tersenyum kecil kemudian berbalik, berjalan masuk ke dalam hutan dan menghilang.

 

-ZDLC-

 

Aku menuruni tangga, entah kenapa malam ini udara lebih dingin dari biasanya. Segelas kopi panas mungkin bisa menemaniku mengerjakan tugas. Kulirik pintu berwarna coklat tua yang ada stiker bergambar Oreki Houtarou, salah satu tokoh anime favorit Rin. Pintu itu tertutup rapat. Aku segera berbelok ke dapur dan mencari kopi instan.

Saat aku menutup lemari, sekilas ekor mataku melihat sekelebat bayangan melewati jendela dapur. Perlahan-lahan aku taruh bungkusan kopi instan itu di sebelah kompor, kemudian berjalan ke arah jendela dan menyibak gorden. Walaupun tertutup gelapnya malam, aku tau siapa sosok yang sedang berdiri mengahadap pohon tua di samping rumah. Rin.

Aku menggelengkan kepalaku, lagi-lagi Rin melakukan ritual anehnya. Aku segera mengambil jaket yang tergeletak di atas sofa dan melangkah lebar menuju tempat Rin berdiri.  Seperti biasa, dia sulit menyadari kehadiranku walau aku berdiri tepat dibelakangnya.

“Rin,” seruku sekalem mungkin. Dia masih membelakangiku.

“Rin, ayo masuk,” seruku lagi. Dia tidak bergeming.

“Rin, jangan kayak gini lah,” seruku lagi sambil membalik badannya. Aku terhenyak.

Rin tidak menatapku, dia menunduk, tapi aku yakin tadi aku sempat melihatnya meneteskan air mata. Buru-buru kupeluk dia, dan dalam sekejap tangisnya pecah. Kukencangkan pelukanku. Untuk sementara kubiarkan Rin menangis sepuasnya karena aku tahu, dia sudah tidak kuat menanggung beban yang selama ini dia pendam. Berbeda denganku, Rin sebenarnya adalah gadis yang kuat.

Tapi karena dia selalu terlihat ceria, dia melampiaskan semua luka dan dukanya di bawah pohon tua ini. Sendirian. Setiap hari. Aku sebagai kakaknya, yang seharusnya menjaganya justru baru mengetahui kebiasaannya ini 5 hari yang lalu saat aku mau mengecek sepatu futsalku.

Saat itu Rin cerita, jika selama ini dia selalu melihat beberapa keping ingatan yang membuat Rin pingsan berkali-kali. Bukan karena dia menderita anemia atau apapun, tapi karena beban yang ia tanggung dari kepingan ingatan itu. Itu sebabnya dia selalu melampiaskan perasaannya yang terkunci di bawah pohon ini. Hingga aku sadar, malam ini, tangis Rin terasa berbeda.

Rasanya aku seperti tertarik ke dimensi berbeda. Saat aku mengedarkan pandanganku, aku menyadari sesuatu. Rumah kami menghilang, berganti kabut tipis dan aku menahan nafasku saat melihat sosok dibelakang Rin, sosok yang menggantikan pohon tua di samping rumah. Mungkin aku hanya bermimpi, tapi melihat darah yang masih mengalir, aku akhirnya tahu mengapa tangisan Rin begitu berbeda malam ini.

 

Chbioka (Zulfa AR santri kelas 2 SMA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *