Loading

Waktu itu seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Sekali dilepaskan, waktu itu akan melesat menembus setiap fragmen kehidupan kita hingga nantinya akan berhenti di sebuah titik. Aku tidak membicarakan berhentinya anak panah itu, tapi yang kumaksud di sini adalah, betapa cepatnya anak panah itu melesat. Ya, tanpa kita sadari, waktu mendadak sudah melompat beberapa paragraf.

Kalau di Facebook, kita sering menikmati tampilan barunya, yakni timeline. Tampilan profil yang secara detil mengatur setiap update status kita secara urut sesuai dengan tanggal dan bulan beserta detail lainnya. Nah, karena selama ini, terlalu banyak pengalamanku yang jika harus dituliskan sendiri-sendiri akan merepotkan dan tidak ringkas, maka aku membuatnya seperti timeline, meskipun hanya dua peristiwa yang akan aku ceritakan di sini. Aku harap, kalian menikmatinya!

Selasa, 7 Agustus 2012

Bagian dalam Pondok Darul Arqom

Aku sangat tidak menyangka hal ini. Saat aku sampai di rumah pada pukul 4 pagi setelah melalui perjalanan panjang dari Bogor, mendadak aku harus memenuhi undangan dari teman-temanku di pondok pada pukul 9. Aduh, padahal, rasa rindu dan lelah yang aku rasakan selama ini belum menguap, tapi aku harus segera memenuhi panggilan teman-teman. Teman-teman semasa SMP-ku di pondok yang melanjutkan sekolah SMA mereka di pondok yang sama, mengundangku dan beberapa alumni lainnya .

Oke, aku punya alasan untuk menolak ajakan mereka. Ya, ijin orang tua! Jika orang tua tidak mengijinkan, aku akan dengan senang hati menelpon temanku dan berkata bahwa aku tidak bisa menghadiri acara mereka. Tapi ternyata, orang tuaku adalah orang tua yang sangat mengerti. Aku dibolehkan!

Akhirnya, dengan setengah hati, aku segera melompat naik bus yang hendak melaju menuju Kabupaten Kendal, kota dimana pondokku terletak. Aku berusaha menghibur diriku dengan membayangkan teman-teman lamaku yang hendak kukunjungi, dan itu ternyata cukup membantu. Aku menjadi lebih tenang dan kembali bersemangat.

Perjalanan Temanggung-Kendal tidak memakan waktu yang lama. Pada pukul 11, aku sudah sampai di pondok yang cukup kurindukan, Pondok Modern Darul Arqom. Pondok ini, meskipun dari dalam suasana bangunannya biasa saja, namun jika dilihat dari depan, pondok ini terlihat sangat indah. Perpaduan warna cat beserta arsitektur yang elegan, dihiasi dengan sebuah taman mini yang elok, pondokku terlihat seperti bangunan termahal saja. Padahal, dalamnya ya biasa-biasa saja.

Aku segera disambut teman-teman lamaku, ustad-ustadku yang baik hati, bahkan ibu koperasi pun tak lupa dengan wajahku. Wah, rasanya kembali seperti masa kami dulu saat SMP.

Malamnya, kami ikut menonton pertunjukan adik-adik kelas kami yang berkompetisi dengan tarik suara indah, yang akan menghasilkan nada nasyid yang padu. Tidak disangka, sebagai pembuka, aku disuruh untuk membawakan lagu Maher Zain, The Number One For Me. Aduh, apa aku masih ingat liriknya, ya? Tapi saat aku memberanikan diri untuk maju,  ternyata apresiasi dari para ustad, teman-teman, dan adik kelas cukup bagus. Hal itu terlihat dari wajah-wajah kagum mereka dan beberapa teriakan-teriakan penyemangat. Alhamdulillah, senangnya…

Aku terkejut menyadari bahwa kami adalah alumni pertama kali yang berkunjung ke pondok secara beramai-ramai. Belum pernah ada alumni yang berkunjung mendatangi pondok secara bersamaan dan serempak seperti ini sebelumnya.

Malamnya, kami ditraktir Ustad Hamzah, pemandu alumni kami dulu saat kami kelas tiga. Kami diajak makan-makan di koperasi yang hingga malam hari masih buka. Wah, kenyangnya.

Esoknya, aku tidak bisa berlama-lama. Setelah berpamitan dengan teman-teman, aku segera kembali ke Temanggung. Di bus, aku merenungi kembali kejadian-kejadian di pondokku dulu. Aduh, nostalgia memang selalu bikin dada ini sesak. Rasanya, baru saja kemarin kami melalui kenangan-kenangan indah saat SMP, tapi kini, kami sudah berpisah menuju impian dan cita-cita masing-masing.

11-12 Agustus 2012

Langit selalu tampak lebih dekat di desa ini

Pesantren kilat? Biasa! Menjadi pembimbing pesantren kilat? Hm, sepertinya bagus sih, tapi terdengar masih biasa. Bagaimana dengan ini, menjadi pembimbing pesantren kilat di daerah pelosok? Nah!

Tidak mudah menjadi pembimbing pesantren kilat, apalagi di lokasi yang susah akan sinyal, internet jadi barang langka, dan bahkan yang sempat membuatku tertegun adalah, salah seorang pemuka desa di sana, menyebut proyektor yang kami bawa sebagai predator. Ih, ngeri banget tuh! Bahaya dong, kalau ‘predator’ itu dihidupkan?

Itu sih yang terlintas di pikiranku saat pertama kali diajak orang tuaku untuk ikut mengisi acara pesantren kilat di sebuah desa teratas Gunung Sumbing bagian kecamatan Parakan, Temanggung, yakni sebuah desa yang bernama Kwadungan. Desa yang berukuran sedang, jalanannya terjal, suasananya gersang, namun memiliki pemandangan yang mengagumkan. Aku sudah beberapa kali diajak orang tuaku yang latar belakangnya adalah da’i dan da’iyah untuk ikut mengisi pengajian di desa itu, dan setiap kali aku menginjakkan kaki di sana, aku selalu merasa langit lebih dekat di desa itu. Langit seperti kehampaan indah yang bisa diraih, meski semu. Langit seolah sudah bersatu dengan desa itu, karena posisi desa itu bisa dibilang sangat tinggi dari permukaan laut. Dan lagi, sawah-sawah yang berjejer mengelilingi desa itu tidak seperti hamparan datar sawah yang ada di desaku. Di sana, sawah jika dilihat dari jauh seperti selimut-selimut yang melingkupi bukit-bukit yang bergelombang meninggi. Indah sekali, mengingatkan aku dengan negeri Teletubbies yang menawan itu.

Well, tidak buruk-buruk amat, pikirku.

Aku, adikku yang bernama Rifai, bersama ketiga temannya dari Pondok Darul Fitrah, adalah keempat orang yang akan mengajari materi-materi keagamaan di pesantren kilat ini. Awalnya, aku sempat gugup karena hanya kami yang akan mengisi materi-materi itu, dan tidak ada ustad yang lebih profesional yang memandu kami. Namun, mengingat ilmu-ilmu yang pernah kami pelajari di pondok, akhirnya aku lebih percaya diri.

Pesantren kilat berlangsung lancar pada hari pertama, dan anak-anak didik mudah akrab dengan kami. Mereka lebih polos, lebih lugu, dan tentunya pembicaraan mereka lebih lucu dan menyenangkan. Aku mulai membandingkan mereka dengan anak-anak kota yang sudah mulai kehilangan kepolosan mereka di usia dini. Hm, memang benar, mengajar di desa itu lebih mengasyikkan.

Namun, tentu saja, kendala terbesar kami adalah bahasa. Ya, mereka lebih senang dan lebih mengerti bahasa Jawa, sementara meski ayahku orang Jawa, aku bisa dibilang sangat sedikit menguasai bahasa Jawa. Aduh, aku iki pancen wong jowo sing wagu![1] Alhamdulillah, ada adikku yang banyak menguasai bahasa Jawa. Ohoho, ini kesempatan! Yah, karena dia lebih banyak menguasai bahasa Jawa daripada aku, maka aku lebih sering membebankan tugasku padanya. Hehehe…asyik…

Pada malam hari, kami melaksanakan shalat tarawih. Shalat tarawih di sini sangat cepat, bahkan sebelum pukul delapan, shalat tarawih sudah berakhir. Aku sempat mendongkol pada awalnya. Jelas, jika shalatnya secepat itu, mana bisa khusyu’? Tapi akhirnya, aku bisa memaklumi, bahwa mereka pasti masih banyak yang belum begitu paham dengan agama. Kata orang tuaku, itu tugas penting yang harus diemban kami saat mereka telah tiada, yakni memahamkan mereka. Ih, jadi merinding.

Setelah shalat tarawih, anak-anak tidak disuruh menginap di masjid yang dijadikan sebagai tempat pembelajaran, tapi mereka disuruh pulang ke rumah masing-masing. Mungkin karena mereka masih terlalu kecil untuk berpikir dewasa, sehingga pulang saat pesantren kilat merupakan solusi.

Tuan rumah kami sungguh sangat baik. Saat kami pulang dari masjid, kami langsung disuguhi berbagai makanan yang lezat, ditemani dengan teh hangat yang kepulan asapnya saja sudah menggelitik indra penciuman.

Kami makan-makan banyak malam itu. Saat kenyang, mendadak aku teringat bahwa aku, Bu Wita, dan Kak Farid harus online malam itu di Yahoo! Messenger untuk membahas kerangka novel kami. Aku panik. Gimana nggak? Volume data modemku sudah habis, sedangkan di desa itu, nggak ada yang jual pulsa modem seperti yang punyaku. Aku segera menghubungi rumah agar dikirim pulsa dari sana, dan setelah menunggu beberapa waktu, akhirya aku bisa terhubung ke dunia maya, meski dengan sinyal yang putus nyambung. Maklumlah, di desa pelosok.

Ternyata, yang bisa online hanya Bu Wita, karena Kak Farid sepertinya sedang sakit. Aku mengobrol lama dengan Bu Wita, dan setelah waktu telah mencapai pukul sebelas, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dan pergi tidur.

Saat bangun, kami dikejutkan dengan jatuhnya derajat celcius yang tajam. Dingin menusuk-nusuk kami hingga ke tulang sumsum, membuat kami menggigil kedinginan dan malas bangkit untuk mengambil jatah sahur. Tapi, jika tidak sahur, kami pasti akan lemas dan tuan rumah juga tidak akan membiarkannya. Maka, kami pun berusaha menikmati sahur dengan tidak begitu nikmat dan setelah itu segera bersiap-siap pergi ke masjid.

Hari kedua pesantren kilat berlangsung lancar. Namun, di hari kedua ini terdapat permainan dan acara menonton film dengan layar besar dari proyeksi ‘predator’.

Keceriaan anak-anak Desa Kwadungan saat menjalani Pesantren Kilat Ramadhan 2012

Lucu sekali memang, mendengar anak-anak desa yang bersorak-sorak senang saat cahaya ‘predator’ ditembakkan di dinding dan menghasilkan gambar orang bergerak yang sangat besar. Memang sih, mereka tidak menyebutnya ‘predator’, tapi aku sedikit tergelitik juga dengan sebutan mereka untuk keajaiban ‘predator’ ini: Layar tancep!

Banyak anak yang khusyuk mengikuti alur sebuah film Iran yang bercerita tentang sekelompok anak yang berusaha mengumpulkan uang dengan tangan mereka sendiri untuk dapat membeli bibit ikan. The Song of Sparrow. Aku jadi teringat masa SMP dulu, dimana kami menerjemahkan subtitle untuk film ini saat pelajaran bahasa Inggris.

Sehabis menonton, kami mengadakan permainan kecil. Permainan apa sih yang paling cocok buat anak lelaki? Karena kami adalah anak-anak yang malas berpikir ‘terlalu jauh’, akhirnya kami mengadakan permainan sepak bola. Sederhana sekali, ya kan?

Tapi ternyata, sedikit sekali santri peskil yang berminat mengikuti permainan ini. Sebenarnya mereka suka sepakbola, tapi nampaknya mereka sudah tersihir keajaiban ‘predator’ alias ‘layar tancep’. Aku hanya senyum-senyum geli saja setiap mengingatnya.

Acara berakhir pada pukul 12. Kami melaksanakan shalat Dzuhur, kemudian mendengarkan tausiyah singkat dari Ustad Taufiqur-Rahman. Setelah itu, Ustad Taufiq membagi-bagikan sertifikat pesantren kilat beserta hadiah-hadiah. Saat itu juga, aku menyadari sesuatu yang lucu sekaligus janggal.

Bayangkan saja, di desa tertinggi ini, dimana akses ke dunia luar sangatlah susah, dan untuk mencapai pusat kota saja harus menempuh 15 KM perjalanan, para penduduk di sini memiliki nama-nama yang sangat Barat! Aku sampai tidak menyangkanya. Nama-nama itu seperti: Kevin, Diega, ada juga yang namanya Avatar, bahkan ada juga yang namanya Cinta Laura! Awalnya, aku hanya menganggap hal ini sebagai kebetulan saja. Tapi ternyata, nama Kevin ini dimiliki oleh tiga anak anggota santri peskil. Aku juga segera tahu bahwa nama-nama sejenis ini pasti sudah dipakai secara turun temurun, karena ada seorang nenek tua di sana yang ternyata namanya adalah Mbah Clara. Unik, ya?

Dua hari rasanya cepat sekali. Kami dan rombongan pun pulang pada pukul 13.30. Mobil sesak sekali, karena pemandu peskil akhwat dan ikhwat numplek semua. Tentu saja yang akhwat di tengah, dan ikhwan di belakang. Tapi tetap saja sesak sekali. Aku bahkan mendapat posisi duduk setengah pantat yang tentunya sangat tidak nyaman, ditambah lagi dengan kondisi jalan yang batunya mencuat-cuat seperti gerigi.

Tapi, inilah perjuangan. Meski susah, harus dijalani dengan sabar dan ikhlas, demi tegaknya dien yang tercinta ini, Islam.

Aku menghela nafas. [Hawari, Santri Pesantren Media, Kelas 1 SMA]


[1] Aduh, aku ini memang orang Jawa yang aneh!

Catatan: tulisan ini adalah tugas menulis catatan perjalanan/diary di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media

By Administrator

Pesantren MEDIA [Menyongsong Masa Depan Peradaban Islam Terdepan Melalui Media] Kp Tajur RT 05/04, Desa Pamegarsari, Kec. Parung, Kab. Bogor 16330 | Email: info@pesantrenmedia.com | Twitter @PesantrenMEDIA | IG @PesantrenMedia | Channel Youtube https://youtube.com/user/pesantrenmedia

5 thoughts on “Timeline-ku”
    1. berarti bersiap-siaplah jauh dari peradaban! (hahaha.. nggak segitunya juga)
      memang desa terpencil, tapi desa yang indah. dan yang terpenting, masih perlu disentuh lagi oleh tangan dakwah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *