Loading

Slice of The Life (5)

Sejujurnya aku sangat bingung untuk menanggapi pertanyaan Haz. Pada faktanya, seluruh penghuni kampus yang pernah dibawahi dia ketika menjadi Ketua BEM pasti mengingat Haz. Si Ketua BEM yang dikenal karena keuletannya dalam memimpin. Tapi entah kenapa aku merasa Haz memiliki arti lain tentang ‘remember me’ yang dia maksud.

Aku tidak tahu ‘remember me’ kami memiliki arti yang sama atau tidak. Jadi, aku memilih jalan aman.

Haikal Zuhri the ex-pres BEM. Why should I don’t remember you?”

You’re not remember me,

Nadanya begitu putus asa dan entah kenapa membuatku menyayangkannya. Tapi, jawaban di ujung telepon menguatkan soal ‘remember me’ yang Haz maksud benar-benar berbeda dari yang aku maksud.

Agaknya, aku merasa bersalah, sedikit. “I’m not sure, it was me who you invited for. Don’t you think you sent to the wrong number?”

Hening yang cukup lama. Dan aku merasa keheningan itu cukup mencekam. Aku berencana mematikan sambungan telepon kalau dia masih akan diam dalam sepuluh detik. Yang sayangnya tidak terealisasi.

“It was you right, Fathimah?”

Aku mengkategorikan diri sendiri sebagai perempuan berhati dingin, cuek, tidak peduli dan introvert. Aku tidak pernah suka hal remeh-temeh yang mendramatisir atau tergoda untuk menonton drama atau sinetron karena banyak dari teman-temanku yang melakukannya. Aku hanya penikmat semua jenis dan genre lagu dengan bahasa apapun.

Jadi, tentunya, aku sangat kaget saat aku merasa sedih, kecewa, pasrah, dan—entah kenapa—sedikit marah, saat Haz mengatakan kalimat itu. Dengan nada yang—aku tidak bisa menggambarkannya dengan baik—putus asa? Aku merasa menjadi Ratu Drama se-Jagad sekarang.

“Yeah—” aku menarik napas dalam-dalam saat menyadari suaraku serak seolah ingin menangis. Aku berusaha menstabilkan suaraku, “ehem—It was me,”

Lagi-lagi hening. Tidak ada dari kami berdua yang berbicara. Aku tidak lagi punya keinginan untuk menutup sambungan telepon dalam sepuluh detik. Aku hanya…ingin diam.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu dalam keheningan saat tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Aku menoleh ke arah pintu dan melihat Reza yang langsung memasangan wajah aneh. Seolah kaget, kebingungan, heran dan khawatir.

What’s the matter?” tanyanya. Dalam kurun waktu yang hampir sama, sambungan telepon terputus.

Pikiranku kosong. Tidak bisa mencerna kenapa Reza bertanya demikian ataupun kenapa sambungan telepon diputus. Aku langsung menurunkan telepon dari telinga begitu sadar sambungannya terputus. Tapi selanjutnya aku tidak melakukan apapun. Hanya diam.

You were…crying,”

Aku merasa dadaku sangat sesak. Tenggorokanku tersedak hingga membuat sakit. Aku kekurangan asupan oksigen dan menarik udara dengan susah payah. Mataku sangat perih. Aku tidak tahu apa yang benar-benar terjadi sampai akhirnya Reza memelukku dan aku menangis tersengal-sengal hingga membasahi baju oranye konyolnya.

 

Ketika aku membuka mataku, aku sadar hari sudah berganti. Aku bisa merasakan sengatan sinar matahari. Tapi aku merasa tubuhku panas juga dingin di saat yang bersamaan. Kepalaku berat. Aku merasa sangat lemah. Aku bersyukur terbaring di kasur sekarang.

Pintu kamar dibuka. Kepalaku terlalu berat dan pening untuk sekedar melihat siapa yang masuk.

“Kau demam,”

Andai aku punya kekuatan untuk terkejut saat tahu suara itu milik Elle, aku sudah menjauh beberapa langkah darinya. Nadanya jauh dari sarkasme dan congkak—sejujurnya aku cukup terkejut saat menyadari suaranya terdengar khawatir. Elle terlalu aneh untuk disandingkan dengan ‘lembut’.

“Jangan bertindak bodoh. Sebaiknya kau minum ini dan istirahat,”

Dengan kekuatan dan bantuan dari Elle, aku berhasil menelan dua pil obat super pahit. Aku sangat kepayahan saat kembali merebahkan kepala di atas bantal. Kepalaku semakin berat, dan mataku sulit untuk terus terbuka. Aku yakin aku sudah tertidur saat itu juga.

 

Langit sudah gelap saat aku terbangun dengan badan lengket oleh keringat, kepala seringan bulu angsa, dan tatapan mata sejernih singa. Plus, badanku sangat ringan ketika digerakkan. Aku bersyukur karena berhasil pulih dari posisi ‘lemah’ dengan cepat. Aku sangat benci menjadi lemah dan rapuh, ngomong-ngomong.

Yah, walau pada dasarnya manusia ‘lemah dan rapuh’. Alasan yang sangat klasik yang banyak digunakan orang-orang untuk menunjukkan kelemahannya.

Aku buru-buru masuk ke kamar mandi. Membersihkan badanku dan keluar penuh kesegaran. Tepat saat itu, pintu kamarku dibuka. Elle menatapku dengan wajah congkaknya. Men-scan kilat keadaanku dari atas ke bawah lalu keluar dan menutup pintu dengan satu sentakan keras setelah mendengus. Dan aku merasa dengusannya itu adalah sebuah olokan. Telingaku seolah mendengar suaranya yang berkata: “Kau harus bayar!”. Menjengkelkan.

Aku duduk di kasur dan melihat notif yang masuk ke hp. Seharian ini aku tidak ke luar rumah, juga masuk kelas. Aku harap teman-temanku tidak cukup gila untuk menerorku dengan pesan mereka. Aku sedikit bersyukur tidak ada yang menampakkan batang hidung mereka selama aku ‘lemah’.

Vera Larasati: wer r u Thim?

Sarah Inge.R: sejak kemarin kami belum melihatmu

Lena Zahra: kau menghindar, didn’t you

Sarah Inge.R: is she? Why?

.

.

.

Vera Larasati: kuharap kau melihat ini, tapi mister Zid mencarimu

Vera Larasati: dia bertanya kenapa kau tidak masuk kelasnya padaku

Sarah Inge.R: padahal dia tidak bertanya alasan aku tidak masuk kelasnya selama dua hari

Vera Larasati: dan kau baru tidak masuk satu hari!

Vera Larasati: siapa yang menyangka zid akan seagresif ini

Lena Zahra: tunggu

Lena Zahra: sejak kapan zid bertindak agresif

Lena Zahra: dia selalu dalam kendali

.

.

.

Lena Zahra: thim! Your ex-bfriend asked me ‘bout u!

Lena Zahra: well, dalam satu olokan panjang

Lena Zahra: HHAHAHAHAHAHAHA

Lena Zahra: maaf aku bersikap jahat, tapi olokan itu lucu

Sarah Inge.R: yah, itu lucu

Sarah Inge.R: dia tidak berpikir kalau dirinyalah yang induk bebek

Vera Larasati: Thim, please on!

Lena Zahra: wer r u?

Aku memutar bola mata begitu membaca asal deretan chat di grup yang hanya terdiri dari kami berempat. Dalam satu hari, ada lebih dari lima ratus chat yang masuk. Padahal hanya karena aku tidak masuk satu hari saja. Well, plus aku tidak bertemu mereka seharian kemarin. Tapi itu baru dua hari. Bagaimana kalau aku dalam seminggu dan tanpa kabar tidak bertemu mereka.

Aku tidak mau membayangkan kegilaan apa yang akan mereka lakukan jika itu benar terjadi. Mungkin mereka akan melaporkan kasus orang hilang ke kantor polisi. Dimana orang hilang itu adalah, aku.

Fathimah A.Z: I got sick ☹

Aku tidak berusaha untuk menunggu balasan dari siapapun dan mematikannya. Percayalah, mereka adalah tipe-tipe teman yang terlalu-peduli dan sangat berisik ditambah sangat suka chattingan-an.

Meski boleh diakui, mereka adalah jenis-jenis manusia yang berbeda. Len dengan kehebohan, kepopuleran dan interaksi komunikasi yang membuatnya bersinar. Ver dengan selera fashionnya, hunting cowoknya,—lagi-lagi—kepopulerannya yang membuatnya seperti bintang.

Dan Sir si kutu buku—yang entah bagaimana—sangat menanti gossip terkini yang dibawa Len dan Ver. Sir bahkan mendapat award ‘Nerd in Wrong Way’ di antara makasiswa yang berpikir nerd seharusnya terbully tapi Sir jauh dari kata bully—mengabaikan fakta kalau Sir berteman dengan si popular Len dan si cantik Ver. Awesome.

Aku mulai penasaran bagaimana bisa bergabung dengan kelompok ini.

Aku keluar dari kamar. Berniat pergi ke dapur karena perutku sangat kosong. Aku hanya makan makanan yang diberikan Elle seharian ini. Itu memberikan alasan kenapa cacing di perutku kelabakan meminta asupan.

Untunglah ibuku adalah orang tua idaman. Semangkuk sup ayam dan bubur berjejer meminta aku cepat-cepat memilih yang mana yang akan kumakan. Sayangnya aku benci bubur hambar. Dan sayangnya, Reza sangat menyukai daging.

You touch my chick, I share your pict,”

What the—”

Words young lady,”

Aku memelototi Reza yang dengan gilanya melambaikan hp dengan fotoku sedang menangis dengan ingus yang, ewh.

You and your chick are chick,”

“So, why you cried for?”

I hate while Reza starting to be big-bro-needed-by-sister’s mode. It make me just like naughty-lil sister and Reza is good-big-bro.

What a lady, I’m sure I rolling my eyes so badly now.

 

bersambung….

NB: baca juga part-part sebelumnya, yah. Biar ngerti alurnya. Hehe… terimakasih yang sudah membaca. Saya sangat terhura…

ig: @willyaaziza

willyaaziza [ZMardha] santri kelas 2 SMA Pesantren Media

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *