Loading

30

Antara Kejujuran dan Kebohongan adalah Hukuman

Terlepas dari rotan Neng yang tak lagi ada di rumah adalah sebuah kenikmatan bagiku. Namun lain lagi kalau sudah di sekolah. Asal kau tahu, sekolahku ini memang tak sewajar seperti tadikaku dulu. Guru-gurunya garang. Tak segan main tangan. Tak pandang umur tak pandang badan. Asal kau tak turut akan ucapannya, habislah badanmu di ujung rotan.

Aku ini, walau sudah berusaha sekeras tekad untuk tidak bermasalah, tetap saja Allah memberiku kesempatan untuk merasakan sebetan rotan ala guru-guru sini. Jadi, asal ceritanya begini.

Suatu hari, di mana aku dan ketiga temanku lainnya menunggu Teacher Karina yang sedang memandikan anak-anak yang akan tidur siang di tadika untuk menghantarkan kami pulang. Itu rutinitas. Aku biasa melihat anak-anak—lebih tepatnya teman-temanku—dimandikan paksa oleh guru-guruku. Nah, tidak beruntungnya, waktu itu aku teringin buang air kecil segera, sedangkan kamar mandi sudah penuh. Aku tak bisa menahannya lagi walau sudah kutahan sekuat mungkin. Alhasil, keluarlah air yang tak diinginkan itu dalam ketidakberdayaanku. Aku mengeluarkannya dengan posisi yang masih duduk.

Aku bingung harus apa? Bagaimana cara menyembunyikannya? Bagaimana membersihkannya? Pikiranku sama sekali tak menemukan jalan keluar.

Teman-teman yang ada di sampingku bertanya,

“Hei, apa ini? Air dari mana? Natasha, apakah kau buang air kecil di sini.”

Aku menelan ludah sebelum akhirnya menjawab,

“Bukan. Sepertinya dia pelakunya.” Bantahku sembari menunjuk temanku yang satu lagi, yang tak tahu menahu tentang air yang tiba-tiba menggenang itu.

Tentu saja dia tak terima.

“Bukan aku.”

“Sepertinya ini adalah ulahmu, Natasha. Lihatlah seragammu! Basah begitu.”

“Aku basah karena aku ada di sebelahnya.”

Tak tahan dengan debatanku, temanku ini langsung memanggil seorang guru untuk menindaki kasus yang cukup rumit bagi anak usia enam tahun ini. Dan gawatnya lagi, yang dipanggilnya adalah guru yang paling aku, dan kami semua takuti, yakni Teacher Karina.

“Teacher, ini ada yang membuang air kecil sembarangan. Tapi kami tak tahu siapa.”

Teacher Karina melihatku yang ketakutan.

“Natasha?”

“Yes, Teacher?”

“Is this yours?”

“No, Teacher. I don’t know.”

“Who?”

“I… I think.. this is his.”

“Oh… OK.”

Teacher Karina pergi. Aku tak tahu apa yang hendak dilakukannya setelah ini. Tapi aku yakin jika aku masih belum aman. Karena aku tahu orang-orang macam Teacher Karina ini. Beliau tak akan tinggal diam sebelum semuanya selesai dengan menguhukum pelakunya. Ya, sebelas dua belas macam Neng Sus-lah.

Dan benar. Dia datang kembali sambil membawa kejutan.

Rotan.

“Come here.”

Aku dipanggilnya. Teman-temanku disuruhnya untuk keluar ruangan. Ya, tinggal aku dan beliau di ruangan yang sekarang tampak amat menakutkan auranya ini.

“Tell me the right story. Is that you?”

“No, Teacher.”

“Can I believe you.”

“Of course, Teacher.”

“Why you can told like that?”

“Because that isn’t mine.”

“So, can you explain it for me about your wet dress?”

“This is because I sat at his close!”

Tiba-tiba, ujung rotan itu menebas betisku.

Sakit!

Ini pertama kalinya aku dirotan oleh seseorang yang bukan Nengku. Entah mengapa, kurasa ini dua kali lebih sakit. Ternyata siapa yang merotan itu juga mempengaruhi rasa, Kawan.

“Be honest! If not, I’ll beat you until you’re honest! Answer me. Yes or no?”

“No, Teacher.”

Dipukulnya lagi. semakin keras.

“Yes or no?”

“No.”

Dipukulnya lagi. semakin keras.

“Yes or no?”

“No.”

Dipukulnya lagi. semakin keras. Sangat keras. mataku berkaca.

“If you say yes, I won’t hit you anymore.”

“Yes.”

Langsung dipukulnya betis dan lenganku secara bergantian dengan kecepatan kilat. Tak diberikannya aku kesempatan untuk meringis. Terus saja dihajarnya.

“Why you lie to me, hah? Why?”

Inginku jawab, ‘karena aku takut’, namun aku tak berdaya. Ini terlalu sakit.

Semakin sakit.

***

Ya, begitulah. Aku menerimanya dengan kesadaran setelah itu. Aku mendapatkan pelajaran, yang pertama, jangan buang air kecil sembarangan, dan yang kedua, jangan berbohong.

Sejujurnya, aku sangat-sangat menyesal sudah berbohong. Kalau tadi aku tahu bahwasannya bohong atau tidak berbohong pun akan dirotan, aku lebih baik memilih tidak berbohong. Setidaknya aku tak juga mendapatkan dosa dari Allah. Hiks. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Terutama pada Teacher Karina.

Sungguh tak ingin!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *