Loading

(07)

Riza menunduk begitu Sonya dengan blak-blakannya bilang itu semua. Azela dan Nada juga tidak bersua. Riza tidak peduli, kalo Sonya sudah bilang kayak begitu, Riza jadi takut sama seperti berhadapan dengan Bang Dimas yang lagi marah.

Suara mic terdengar saat Dirga memanggil siswa kelas F satu persatu termasuk Azela dan Nada langsung berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sekitar sepuluh menit kemudian mereka kembali dengan medali melingkar di leher. Gantian Riza yang berdiri ketika namanya dipanggil. Dia hanya menatap Sonya kemudian menunduk lagi saat Sonya balik menatapnya tajam.

Riza berjalan ke arah panggung dengan lesu. Memasang senyum selebar yang dia bisa pada guru wali kelas dan kepala sekolah lalu berdiri bersama teman-teman sekelasnya untuk berfoto. Setelahnya dia berjalan lambat sekali menuju meja semula. Dia berharap menghilang saja dari aula dari pada duduk di kursi di antara teman-temannya. Dia tidak bisa menyalahkan Sonya yang tanpa pandang bulu langsung mengatakan semua itu. Sebenernya dia bersyukur Sonya mengatakannya, kalau tidak, bisa-bisa ia menjadi bukan dirinya sendiri.

Riza duduk di kursi depan Nada, belum berani menatap satupun dari ketiga temannya.

“Gua udah dipanggil. Awas balik-balik masih pada diem aja, beneran gua suntrungin satu-satu, nih!”

Riza kesal karena Sonya begitu jahat bisa mengatakan hal itu. Tapi kalau tidak diancam, mungkin satupun dari mereka bertiga ngga ada yang mau berbicara sampai acara selesai.

“Maaf.”

“Sorry.”

“Afwan.”

Riza menatap Nada dan Azela bergantian. Mereka menahan tawa saat sadar meminta maaf berbarengan tapi dengan bahasa yang berbeda. Ah, bukankah persahabatan itu indah? Hanya dengan hal itu tapi sudah bisa mencairkan suasana.

“Nah, nih, cabe-cabean kelas semut udah pada sadar semua kalo mereka kek orang gila tadi?” kata Sonya yang tiba-tiba, membuat Azela gatal dan menampar tangannya. Cukup keras untuk membuat Riza dan Nada meringis sendiri.

“Heh, lu dendeng ayam, berani banget ngatain gua cabe-cabean kelas semut. Bilang aja iri ngga bisa jadi cabe-cabean.”

“Idih, males gua disamain sama cabe, dipegang sana pegang sini. Mending disamain sama duren. Wanginya haruuum tapi ngga ada yang bisa nyentuh. Mahal lagi!”

“Siapa yang bilang duren harum? Bau kelseu!” Riza menimpali.

“Itu karena lu ngga punya selera rasa yang bagus. Beng-beng dasar. Selera lokal mah pasti pada setuju kalo duren itu harum, enak lagi!”

Riza tertawa, “Ngga salah lu ngomong gitu? Padahal kan elu yang biasanya langsung mual gak jelas setelah makan dua duren. Payah dasar!”

Riza dan ketiga temannya berdebat ringan sampai semua kelas sudah mendapatkan medali. Setelah itu ada penampilan dari tiap klub yang berpartisipasi dalam acara. Bukannya melihat penampilan-penampilan yang ada, Riza dan teman-temannya melanjutkan berburu stand, melupakan masalah mereka tadi.

 

Riza meringkuk di sofa ruang tengah. Tivi yang dibiarkannya menyala tanpa suara dia abaikan. Riza bosan. Sudah mau satu minggu sejak acara perpisahan sekolah. Ayah-bundanya pergi bekerja dan dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Ketiga temannya juga tidak bisa diharapkan, mereka menikmati liburan sebelum masuk ke SMA.

Riza menengok ke arah pintu yang terbuka. Bang Dimas muncul dari baliknya sambil membawa tiga kardus besar yang bertumpuk di tangannya.

“Apaan itu, Bang?”

“Hah? Oh, ini… baju.”

“Abang mau jualan?”

Bang Dimas berjalan ke ruang tengah dan meletakkan kardus di lantai. “Ngga, mau di kasih ke panti asuhan sama rumah singgah.”

“Abang mau sumbangin baju?”

“Iya. Kalau kamu punya baju bekas atau barang ngga kepake boleh kok ikut disumbangin juga.”

Riza menatap abangnya yang menghilang dibalik pintu kamar lalu muncul lagi dengan membawa plastik hitam besar. Bang Dimas mengeluarkan isinya yang ternyata adalah baju. Abangnya itu melipat-lipat baju-baju dan celana lalu dimasukkan ke kardus-kardus.

“Kok abang bisa punya ide buat nyumbang, sih?”

“Yah bisa, lah. Abang kan, punya akal. Kamu kalo ngga mau nyumbangin mending bantu abang lipetin, deh.” Bang Dimas kelihatan kesal Riza tanya-tanya terus. Yah, gimana ngga heran, Bang Dimas ngga pernah keliatan ikut organisasi sosial, jadi kaget aja tiba-tiba punya ide buat nyumbang pas liburan begini.

“Abang dapet hidayah dari mana ikut organisasi sosial?”

Bang Dimas menoleh ke arah Riza kesal, “Harus ikut organisasi dulu buat nyumbang, emang? Kalo ngga mau nyumbang dan bantuin mending diem aja, pusing nih, abang.”

Riza diam, memilih memperhatikan abangnya sebentar lalu bergegas pergi ke kamarnya. Bukannya dia tidak ingin ikut menyumbang atau membantu, tapi rasa herannya mengalahkan itu semua. Riza punya segudang pakaian yang sudah tidak ia pakai. Dia juga punya boneka-boneka yang masih bagus. Itu semua pasti bisa disumbangkan ke panti dan rumah singgah.

Riza meletakkan pakaian dan boneka yang ia bawa di samping Bang Dimas dan tanpa menunggu perintah langsung menyusunnya di kardus-kardus. Bang Dimas memasukkan boneka-bonekanya ke dalam plastik putih berukuran besar.

“Iza ikut ke panti sama rumah singgahnya, yah, Bang?” Bang Dimas sibuk dengan kardus-kardus yang sedang ia tutup dengan lakban, “Iza bosen, dari kemaren di rumah mulu, Bang.”

“Temen-temen kamu ngga pada ngajakin jalan-jalan? Biasanya kan kalian sibuk banget kalo udah liburan gini.”

“Mereka pada liburan sama keluarganya. Iza bosen, Bang. Ikut aja boleh, dong, kan acaranya juga sumbangan. Masa gak boleh?”

Riza memperhatikan abangnya yang setelah menutup semua kardus langsung menelpon seseorang, “Assalamualaikum. Oi, sapa aja anak-anak yang dateng nanti? Si Rio kaga ikut, kan? Eh, cewek-ceweknya berapa orang? Nanya doang, suuzon, lu. Iya, iya, ini udah siap. Nanti ketemu di kampus aja. Iya, rese.”

Bang Dimas memasukkan hapenya ke kantong celana dan mengambil kunci mobil, “Kalo ikut jangan ngerepotin, yah?!”

“Iya!”

“Yaudah cepetan, abang tunggu di luar.”

Riza bergegas berganti pakaian menggunakan gamis, kaos kaki dan kerudung. Tidak lupa dia memakai manset tangan lalu melingkarkan tas slempangnya di bahu. Riza langsung masuk ke dalam mobil saat Bang Dimas masih sibuk memasukkan kardus-kardus ke bagasi. Tidak lama Bang Dimas sudah duduk di balik kemudi.

“Acaranya dari kampus abang?”

“Hm? Iya. Kegiatan tahunan, sih, dari SENAT.”

“Kok taun kemaren abang ngga ikutan, sih?”

“Siapa bilang? Abang ikut, kok, cuman nyumbangin uang kalo tahun kemaren.” Riza beroh ria. Dilihatnya jalanan menuju ke kampus Bang Dimas yang ramai lancar. Ah, iya, ini pertama kalinya Riza datang ke kampus Bang Dimas. Jadi penasaran gimana bentuk aslinya, soalnya Riza biasanya liat di foto-foto dari google aja.

“Nanti kamu jangan ngintilin abang. Gabungnya sama yang cewek-cewek aja. Nanti abang kenalin sama mereka.”

Riza mendengus. Mulai deh sikap over protective Bang Dimas muncul. “Iya, iya.”

Ketika Riza turun dari mobil, bukannya gedung tinggi yang Riza lihat tapi sebuah bangunan seukuran kelas. Memang sih, di belakangnya ada bangunan tinggi, tapi Bang Dimas malah masuk ke bangunan seukuran kelas itu. Kayaknya itu ruang SENAT.

Di dalam ruangan ada banyak orang dan kardus juga karung. Mereka sibuk sama tugas-tugasnya. Riza bahkan melihat ada sekumpulan orang menghitung uang di meja dipojokan yang jumlahnya pasti banyak banget. Riza meletakkan plastik berisi boneka-boneka miliknya di antara plastik lain, sementara Bang Dimas menyimpan kardus dari bagasi mobil ke sudut lain ruangan.

“Dim, data panti yang bakal dikunjungin ada di elu, kan? Bisa di cek lagi jumlah penghuninya, gak?”

“Kan udah gua kasih kemaren daftarnya ke Guntur. Coba tanya ke dia,”

“Guntur, cek jumlah penghuni tiap panti, dong. Buruan, urgent, nih!”

“Eh, mampus. Woi, proposal yang gua taro di sini digacul siapa, neh?”

Riza meringis melihat kesibukan dan keribetan orang-orang di ruangan ini. Sepertinya cuman dia yang nganggur dan ngga tau harus melakukan apa. Bang Dimas juga kayaknya udah melupakan kehadiran dia, buktinya sekarang abangnya itu malah sibuk nempel-nempelin label di kardus sambil nyatet-nyatet.

“Eh, sorry, lu nganggur, kan? Pindahin ini ke mobil si Vika dong.”

Riza mengambil kardus yang disodorkan ke arahnya. Ukh, berat. “Mobilnya yang mana, kak?”

“Oh, itu ikutin si Ghina aja, dia juga mau angkut ke mobil Vika.”

Riza mengikuti seorang cewek berkerudung yang ditunjuk orang tadi. Setelah memasukkan kardus yang dibawanya ke garasi, cewek yang bernama Ghina itu menutup pintu garasi.

“Den! Raden! Gua sama anak-anak pergi ke rumah singgah Cinta Kasih, yah!”

“Lu udah di kasih uangnya kan? Oke, semangat, yah!” Mobil milik Vika keluar dari pelataran kampus. Riza sudah mau kembali ke ruangan tadi saat cowok bernama Raden mencegatnya.

“Sorry, lu panitia juga? Kok gua ngga pernah liat? Anak mana, nih?”

“Iza!” Riza menoleh pada abangnya yang melambai tangan padanya. “Ngapain di situ, sini!” buru-buru Riza berlari ke abangnya, mengabaikan pertanyaan Kak Raden. Di samping abangnya ada seorang perempuan berkerudung sibuk memeriksa sesuatu di kertas yang dipegangnya.

 

[willyaaziza]

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *