Loading

Aku menatap lurus ke arah jendela ruang tamu, hujan turun dengan deras di luar. Dengan gerakan lambat, aku angkat kakiku dan memeluknya. Diantara deru hujan, telingaku menangkap dengan jelas bunyi jam dinding. Sepi. Hanya ada aku di rumah. Kak Tara yang berjanji akan langsung pulang setelah sekolah usai belum datang. Aku engga terlalu berharap Mom akan datang, karena aku yakin Mom sibuk di toko. Mom juga belum tau tentang tadi malam.

Pikiranku kembali mengingat kejadian tadi malam, ketika aku melihat sosoknya dari jendela dapur. Aku yang berjalan mendekatinya. Senyumnya yang merekah secara tiba-tiba. Dengan tangannya yang pucat dia menyentuh pipiku dan mengusapnya. Lalu, lalu, ya benda itu –yang mengkilat diantara kegelapan- menusuknya. Darahnya yang mengalir. Air mataku tiba-tiba jatuh. Kak Tara tiba-tiba memelukku. Tiba-tiba gelap.

Kepalaku mendadak terasa berat, kugigit bibir bawahku. Suara pintu yang terbuka mengejutkanku. Kak Tara menatapku cemas, nafasnya terengah-engah. Dia bahkan masih mengenakan jas hujan berwarna abu-abu kesukaannya. Aku hanya tersenyum.

“Rin, kamu gak apa-apa kan? Engga sakit kan? Engga berniat naik gunung kan?”

Aku tertawa, “Ahaha…apaan sih kak, aku baik-baik aja kok, makasih udah nanya,” Kak Tara tersenyum lebar lalu terkekeh.

“Ah, tapi kak Tara lupa sesuatu,”

“Eh, apa?”

“Sebelum masuk rumah..”

Kak Tara menepuk jidatnya, “Aah…assalamu’alaikum Rin,”

“Wa’alaikum salam kakakku tersayaang,” Kak Tara tertawa.

Kak Tara segera membuka jas hujan, melipatnya dan ditaruh di atas rak sepatu. Aku mengamatinya. Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu, tapi entah kenapa tidak perlu. Kak Tara menoleh lalu meringis yang hanya kubalas seulas senyum.

“Oh iya, tadi banyak yang nanyain kamu,”

“Oh ya?”

“Iya, rasanya kayak jadi artis dadakan,”

“Jiii…pede banget,”

“Hahaha…”

Aku menatap kak Tara, “Kakak aneh,”

Secara mendadak kak Tara menghentikan tawanya, agak gugup kak Tara menatapku. Aku memiringkan kepalaku sedikit, membuat kode ‘Kakak kenapa?’ kak Tara berdehem-dehem sebentar kemudian menatap lantai, menatap kakinya, lalu melihat sekilas ke arahku sebelum mengalihkannya lagi. Aku mendesah pelan, kemudian bangkit dari kursi.

“Aku engga masalah sih, kakak mau bilang apa engga, tapi jangan terlalu maksain diri kakak,”

Aku berjalan ke arah kamarku dan tidak menatap kak Tara. Bisa kudengar kak Tara mencoba memanggiku tapi kak Tara tahan. Aku menutup pintu kamarku dan menyender ke pintu, mataku menatap lantai kamar, banyak sekali hal yang berkecamuk di pikiranku. Kupenjamkan mataku dan aku bergumam, “Kenapa aku?”

-ZDLC-

                Beberapa perempuan bergaun hitam menatapnya sedih, atau lebih tepatnya menatap gadis itu dengan pandangan menyedihkan. Tapi gadis kecil itu tidak mengerti. Dia hanya menangis dalam diam. Seorang laki-laki muda bersetelan rapi mengahmpiri gadis itu. Menepuk-nepuk pundaknya.

“Clay, besok kamu ikut paman Riandes,” ujarnya enteng.

“Um..” gadis itu mengangguk.

Laki-laki muda itu tersenyum kecil lalu menepuk pundak gadis kecil itu lagi, sebelum dia pergi. Tak lama seorang laki-laki yang usianya sekitar 40 tahun datang, wajahnya khas laki-laki Italia. Tapi wajah tampan itu tertutup duka yang dalam. Gadis kecil yang di panggil Clay itu mendongak ketika laki-laki itu mengusap kepalanya, tanpa diduga laki-laki itu menangis dan memeluk Clay erat. Clay kecil  yang tidak terlalu mengerti, membalas pelukannya, Clay kecil hanya merasa perasaannya dan laki-laki itu menyatu. Mereka merasakan luka yang sama.

“Maaf Clay, maaf…” ujar laki-laki itu diantara tangisnya.

“Paman..” Clay memeluk laki-laki lebih erat.

Orang-orang yang memakai baju hitam menatap mereka, ada yang menunjukkan simpatinya, ada yang yang acuh tak acuh, pura-pura tidak melihat, atau malah berdecak kesal karena waktu mereka habis untuk menghadiri upacara pemakaman.

Laki-laki Italia itu melepas pelukannya dan mengusap air matanya dengan tangan kanan. Clay masih menatapnya. Air matanya menumpuk di pinggir matanya, siap untuk jatuh. Laki-laki Italia itu berusaha tersenyum dan mengusap pipi Clay dengan kedua tangannya.

“Kita pulang ke rumah paman ya?”

Tangan Clay yang kecil mengenggam tangan laki-laki Italia itu erat, kemudian Clay mengangguk. Laki-laki Italia itu yang rupanya paman Riandes berdiri, menggendong Clay kecil dan masuk ke dalam rumah. Paman Riandes berbicara dengan seorang pelayan, kemudian pergi keluar lagi. Dia berjalan mendekati sebuah mobil dan mendudukkan Clay di kursi depan.

“Paman ambil barang-barang dulu ya?”

“….iya”

Paman Riandes mengusap kepala Clay singkat sebelum menutup pintu dan dengan langkah lebar masuk kembali ke rumah. Beberapa menit kemudian Paman Riandes keluar dengan 2 tas jinjing yang lumayan besar berwarna cokelat dan menaruhnya di kursi belakang. Tak lama mobil itu pergi membelah jalan kota. Seorang perempuan cantik menatap kepergian mobil itu dengan senyuman licik.

 

 

Chbioka (Zulfa Aulia Rosyadiah, santri kelas 2 SMA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *