Ditimpa cahaya matahari sore seorang gadis menatap jauh ke pelabuhan dari jembatan. Dia bergeming saat angin berhembus kencang, matanya tidak bisa lepas menatap ke arah pelabuhan seakan-akan dia sedang menunggu. Seseorang. Beberapa orang yang duduk tak jauh dari tempat gadis itu menatapnya aneh. Sudah berjam-jam gadis itu berdiri disana. Ditempat yang sama. Setiap hari.
Tidak ada yang mengenal gadis itu, mereka hanya tahu jika gadis itu akan pergi ke arah bukit El Romeral ketika jam besar ditengah kota menunjukkan pukul setengah 6. Tidak ada yang berani mengajaknya bicara atau hanya sekadar menyapanya. Dengan cepat berita tentang gadis yang selama menatap pelabuhan itu mulai meluas ke seluruh kota, dari mulut ke mulut hingga terpampang jelas didepan koran kota yang terbit 5 hari sekali. Menjadi topik utama.
Siapapun bisa mendengar berbagai dugaan orang-orang yang terkadang tidak masuk akal, seperti gadis itu sebenarnya roh suci yang diutus untuk mengawasi umat manusia yang mulai membangkang Tuhan, gadis itu adalah orang gila yang bisa saja mengamuk dan menghancurkan kota. Meskipun berita tentang gadis itu masih hangat dibicarakan orang-orang, gadis itu tetap datang ke tempat yang sama. Setiap hari. Tidak pernah terlambat walau sedetik pun.
Hingga suatu hari, sekumpulan pemuda yang biasanya terlihat sibuk menghabiskan waktu bermain kartu di teras penginapan, duduk memperhatikan gadis itu. “Bagaimana jika kita taruhan?” ujar laki-laki berambut ikal sebahu. Model rambut yang tidak lazim. Pemuda lain menatapnya bingung.
“Siapapun yang bisa menemukan rumah gadis itu, dia akan mendapatkan uang,”
Laki-laki berambut ikal tadi langsung menumpahkan 20 pound dari kantong kulitnya ke atas meja. Segera para pemuda lain bersorak dan ikut mengeluarkan uang mereka ke atas meja, seorang pemuda langsung menghitung uang yang terkumpul dan tertawa, “43 pound!”
Pemuda berambut ikal berdiri dan berkacak pinggang, “Siapa yang berani?!” serunya.
Matanya yang besar menatap ke sekelilingnya. Menantang. Seorang pemuda yang matanya terlihat sipit beringsut dikursinya. Memilih mengasingkan diri dari jangkauan pandangan pemuda berambut ikal.
“Kamu saja Adrian,” seorang pemuda bertubuh kekar menepuk bahu pemuda bermata sipit tadi.
“Apa? Kenapa aku? Jacob saja,” seru Adrian, dia balik menunjuk pemuda yang berambut ikal sebahu.
“Hahaha..bilang saja kamu takut, kamu tidak punya jiwa ksatria Adrian,” ujar Jacob, nadanya terdengar melecehkan.
Muka Adrian memerah, dia mengebrak meja dan mengacungkan telunjuknya tepat didepan wajah Jacob, “Lihat saja! Aku akan mengambil semua uang ini dan akan kupatahkan lehermu!” umpatnya. Adrian langsung mengambil jubah hitamnya yang terselampir diatas kursi dan pergi, nafasnya menderu cepat. Marah. Teman-temannya tertawa keras dibelakangnya, bahkan beberapa orang memberikan penghormatan terakhir yang biasanya dilakukan untuk melepas para pahlawan yang gugur akibat peperangan.
“Yeah, pergilah dan jangan pernah kembali,” ujar Jacob sinis. Matanya berkilat penuh kebencian.
Para pemuda yang duduk disekitarnya bersorak, mereka berebut menuangkan sebuah minuman berwarna ungu kemerah-merahan untuk Jacob yang tersenyum lebar. Penuh kemenangan. Dengan satu gerakan, Jacob menyuruh pemuda disebelahnya memasukkan semua uang di meja kedalam kantong kulit yang tergantung di kursinya.
-ZDLC-
“Rin! Ayo buruan!” seru Kak Tara, matanya menatapku kesal.
Aku terkekeh dan buru-buru berlari. Kubiarkan tali sepatuku yang lepas. ‘Bodo amat lah, daripada kena hukuman,’ batinku. Kak Tara langsung menjitakku begitu aku berdiri disampingnya. Aku langsung menginjak kaki Kak Tara dan kabur. Masih bisa kudengar teriakannya saat aku berbelok keluar perumahan.
“Mau kemana Rin, kok buru-buru?” tanya Bu Elsie. Pemilik toko barang antik.
“Mau les Bu, saya pergi dulu ya?” aku mengecup ringan tangan Bu Elsie dan mengedipkan mata.
“Iya, hati-hati,” Bu Elsie tersenyum, beberapa garis di dekat matanya terlihat.
Aku menoleh kebelakang, jarakku dan Kak Tara tinggal beberapa meter. Dengan kecepatan penuh aku kembali berlari sambil tertawa, sejujurnya aku takut kalau Kak Tara berhasil mengejarku, karena kalau urusan lari Kak Tara yang paling jago. Mataku tertuju ke gerbang bangunan berwarna putih cokelat. “Tunggu Pak!” seruku panik, pak satpam yang sedang menutup gerbang menatapku jengkel. Dengan senyum sumringah aku menambah kecepatanku.
BRUAAAKK!!!!
Aku meringis, tangan dan kakiku terasa nyeri. Kulihat lengan jilbabku yang sobek, memperlihatkan kulitku yang mengelupas dan mengeluarkan darah. “Auww..ini pasti gara-gara tali sepatu,” gumamku lirih. Saat aku berusaha bangkit, seseorang yang bertubuh tegap buru-buru menggendongku seperti tuan putri.
“Makannya, jangan kelamaan di kamar!” ujarnya ketus. Matanya menatapku khawatir.
“Maaf,” lirihku pelan, aku menundukkan kepalaku. Kak Tara segera berlari ke arah gerbang.
“Makasih ya pak,” ujar Kak Tara sambil berlalu.
“Eh? I..iya mas,” sahut pak satpam gelagapan, masih kaget dengan kejadian sebelumnya.
Kak Tara menyusuri lorong-lorong bangunan dan masuk ke sebuah ruangan yang terpasang papan kayu bertuliskan UKS.
“Assalamu’alaikum,” sahut Kak Tara sambil elingak-celinguk.
“Wa’alaikum salam, oh Tara kena- loh Rintik? Kamu kenapa?”
Bu Nia buru-buru mendekatiku yang dibaringkan di atas sofa, “Jatuh gara-gara saya injak tali sepatunya,” jawab Kak Tara asal saat aku mau membuka mulut. Aku manatapnya bingung dan heran. Kak Tara menatapku tajam, menyuruhku untuk diam lalu mengalihkan pandangannya. Aku tersenyum kecil, ‘Dasar Kak Tara,’.
“Waah..jilbabmu kotor Rin, malah ada yang sobek-sobek. Kamu juga Tara, kamu enggak boleh kayak gitu sama Rintik kalo tulangnya patah gimana?,” ujar Bu Nia menusuk.
Bu Nia mengusap lukaku dengan air hangat lalu menatap Kak Tara garang. Kak Tara menggaruk kepala belakangnya dan mengangguk malas-malasan. Bu Nia berdehem dan pergi mengambil perban.
“Makasih ya kak,” ujarku girang, Kak Tara hanya tersenyum sinis.
“Apaan? Aku cuma enggak mau uang sakuku dipotong gara-gara ngebiarin adiknya jatuh konyol,”
Aku tertawa pelan, takut ketahuan Bu Nia. “Terserah deh,” godaku, muka Kak Tara langsung bersemu merah, “Baka!” balasnya cepat. Aku semakin geli melihat tingkah Kak Tara.
“Ya udahlah, aku mau ke kelasku.” Kak Tara segera berbalik.
“Kak, izinin aku ya?” seruku, Kak Tara menoleh sekilas, “Engga!” dan menutup pintu.
Aku menghembuskan nafasku lega, aku tahu Kak Tara tidak mungkin sejahat itu padaku. Sikapnya yang sulit mengungkapkan sisi baiknya, berpura-pura jahat tapi punya hati sebening kaca, menyilaukan tapi rapuh. Itulah Kak Tara.
-ZDLC-
Adrian melirik arloji tua yang melingkar ditangan kanannya. 2 menit lagi jam setengah 6. Agak gelisah, Adrian berdiri di samping bangunan tua, menatap gadis yang tidak peduli dengan sekitarnya. Bolak balik Adrian melirik arlojinya dan gadis itu, keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Tepat pukul setengah 6, gadis itu berbalik dan melangkah pergi. Melihat itu Adrian buru-buru menarik topi kulitnya. Menutupi sebagian wajahnya. Perlahan-lahan Adrian melangkah dibelakang gadis itu, keringat dinginnya semakin mengalir deras. Gugup dan takut.
“Sial, akan kupastikan mereka menyesal,”gumam Adrian. Tangannya terkepal.
Tidak lama, gadis itu melewati perbatasan kota. Adrian tertegun sesaat, dihadapannya terbentang bukit El Romeral yang terkenal dengan kisah misterinya. Adrian menutup matanya dan menghembuskan nafasnya, lalu dengan langkah mantap Adrian kembali mengikuti gadis itu.
Rerimbunan pepohonan yang belum terjamah manusia, memberikan kesan tersendiri untuk setiap orang yang melewatinya. Sesekali terdengar suara-suara aneh yang sering membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Adrian hanya bisa mengandalkan sedikit cahaya dari ufuk senja yang menembus hutan. Walaupun cahaya yang masuk hanya sedikit, Adrian masih bisa melihat sosok di depannya.
Agak terseok-seok, Adrian berusaha melewati akar pohon-pohon yang muncul dari tanah. Sudah berkali-kali dia terjerembab, bahkan mukanya penuh lebam dan sudut bibirnya berdarah. Tapi Adrian masih terus melangkah, mungkin dia ingin membalas perlakuan teman-temannya. Adrian memegang kedua lututnya, nafasnya mulai terengah-engah. Entah sudah berapa lama ia berjalan menyusuri hutan ini, hanya untuk mengikuti gadis misterius yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat di kota.
“Aku tidak boleh berhenti,” ujar Adrian pelan. Dia berusaha mengatur nafasnya yang panjang-pendek.
Saat Adrian mengangkat wajahnya ke depan, tiba-tiba wajah gadis yang ia ikuti muncul dihadapannya dengan tatapan tajam. Sedetik kemudian Adrian terjatuh kebelakang dan berguling-guling diantara akar pohon. Tak lama, Adrian tidak sadarkan diri. Kepalanya terbentur akar pohon yang cukup keras.
Malam semakin larut, bunyi-bunyi hewan malam saling bersahutan meninggalkan suasana yang semakin mencekam. Sinar bulan dan bintang yang biasanya bersinar dengan anggunnya, kini menghilang ditelan awan. Jauh didalam hutan, diantara gelapnya malam seorang gadis duduk dengan tenang didepan sebuah api unggun, sebuah panci dari tembaga mengeluarkan uap yang mengepul. Tidak jauh dari gadis itu, seorang pemuda tengah tertidur pulas dibalik selimut tipis, terlihat luka didekat pelipisnya mulai mengering. Adrian.
Gadis itu mengangkat panci lalu menuangkannya kedalam mangkok, ia berjalan mendekati Adrian dan mengambil sapu tangan yang sudah terendam air hangat. Dengan perlahan tangan gadis itu menyentuh luka Adrian dan membersihkannya, tidak ada pergerakan dari Adrian. Gadis itu hanya menghela nafasnya dan menatap Adrian iba.
“Orang bodoh,” cetusnya tiba-tiba. Suaranya lirih tapi terdengar lembut.
Gadis itu segera beranjak, dan berjalan mendekati api unggun. Dengan cekatan, gadis itu menambah beberapa ranting pohon yang sudah ia cari ke dalam api. Gadis itu memeluk lututnya dan menoleh ke arah Adrian. Dia masih belum bangun. Mata gadis itu kembali tertuju ke api, matanya mulai terlihat kosong tapi bibirnya seperti mengatakan sesuatu.
“Driel..”
Chbioka (Zulfa AR 1 SMA Pesantren Media)