Loading

Rihana menepi. Sebuah sepeda motor besar memaksanya untuk berhenti. Gadis tomboy itu belum lagi tahu, wajah siapa yang berada di balik gelapnya kaca helm itu. Namun, aroma tubuh pengendara motor besar tersebut, tak asing bagi indera penciumannya.

“Jack?” Rihana melepaskan tali pengikat maskernya.

“Masih mengingatku?” Pria itu turun dari CBR 250R hitam yang mengkilap. Jari-jarinya mengelus manja dagu Rihana.

“Wanita mana yang mampu melupakanmu dalam waktu dekat?”

Jack tertawa sekenanya. Mencoba menebarkan pesona di hadapan mantan kekasihnya itu.

“Ternyata, kau sama seperti wanita lainnya, Raihana. Tak pandai mengalihkan ingatan dariku. Padahal, hampir setahun sudah kita tak bersama.”

Rihana mendengus.

“Aku tak banyak waktu untuk menepi di sini. Apa yang kau inginkan dariku?”

“Hanya bantuan yang aku perlukan. Setelah itu, kau boleh pergi.”

“Bantuan?”

Jack memicingkan matanya.

“Aku butuh koleksi satwa liar tambahan. Dan aku menemukannya di hutan negara lain. Dia begitu cantik. Tentu kau sudi memburunya untukku, Rihana?”

Rihana hampir tersedak. Sudah hampir satu tahun ia vakum dari kegiatan gilanya itu. Ia sudah tak lagi ingin berdekatan dengan hewan-hewan liar. Jari-jarinya telah menolak untuk bersentuhan dengan senapan, anak panah, atau pelor serta bedilnya. Kakinya tak rela menginjak tanah hutan belantara yang diselimuti tanaman rambat. Rihana ingin hidup seperti sedia kala. Menjaga Um, saudara satu-satunya yang ia miliki.

“Hmm… aku… sepertinya…”

“Hahaha… Rupanya sudah lama sekali kau meninggalkan hutan. Hingga kau gugup ketika mendapatkan tawaran ini lagi.” Jack mengacak rambut Rihana sekenanya. Rihana menelan liur. Mencoba menghujani kerongkongannya yang tiba-tiba kemarau.

“Aku tidak bisa, Jack!” Rihana setengah berteriak. Tubuhnya gemetar. Segera ia membawa tubuhnya melaju dengan Vespa merah metalik milik Wish. Asap-asapnya mengepul sesukanya. Membuat Jack kesal dan terbatuk-batuk.

***

Um sering mengeluh beberapa bulan terakhir ini. Ia sering tidak sekolah, untuk menggambarkan bahwa ia sudah benar-benar tidak kuat dengan ejekan teman-teman sekolahnya.

“Hana! Aku butuh scooter!” Pria kecil dengan mata coklat yang bulat itu meninggikan suaranya. Rihana mengaduk adonan cake strawberry pesanan Nyonya Catherine kuat-kuat. Ia pura-pura tak mendengar suara Um, karena kocokan cake-nya begitu nyaring.

“HANA! AKU BUTUH SCOOTER!” Um berteriak di samping Rihana berdiri. Rihana mencengkram kuat mesin pengaduk cake dalam genggamannya.

“Untuk apa?”

“Semua teman-temanku memilikinya! Mereka terus mengejekku, Hana!”

“Kau terlalu kecil untuk memilikinya. Pergilah sekolah dengan benar. Tidak usah hiraukan perkataan teman-temanmu.” Rihana mengikat kuda rambutnya yang memanjang hingga menutupi tengkuknya.

“Bagaimana cara supaya aku tak menghiraukannya? Mereka berteriak-teriak di telingaku! Itu sangat menggangguku! Apa kau bodoh?” Um menghantam lengan kakak perempuannya itu. Rihana menelan mentah-mentah amarahnya. Wajah Rihana memerah.

“Pergilah, Um. Jangan buat aku marah.” Rihana datar. Um tahu, Rihana sedang menstabilkan emosinya.

“Aku membencimu! Aku tak ingin memiliki kakak sepertimu! Kenapa kau tak mati saja, dan hidup bersama Wish dan July di neraka?! Biarkan aku…”

Sebuah tamparan super kuat mendarat di atas pipi Um.

“Buatlah hidupmu lebih baik dari ini, Um! Jalani sendiri hidupmu sesukamu! Aku akan mati seperti yang kau harapkan! Hidup bersama ayah dan ibu lebih berharga daripada harus hidup untuk menjagamu!” Rihana membanting adonan cake strawberry-nya, hingga berhamburan di atas lantai. Gadis berwajah tirus itu berlari, menerobos salju di luar sana. Celemek yang ia kenakan, belum sempat ia lepas. Um membeku dengan bekas tamparan pada pipi kanannya.

Suhu udara Moskow meliputi minus dua puluh delapan derajat celcius. Syukurlah Rihana tak kalah cepat berkejaran dengan si tuan salju. Ia tak sempat mengenakan baju hangat karena terlalu tersulut murka pada Um. Itu membuat bibirnya sempat membiru beberapa jam. Kalau saja Nyonya Catherine tak berada di rumah, mungkin gadis tomboy itu benar-benar akan menyusul Wish dan July, orang tuanya yang telah lama pergi, meninggalkan Rihana dan Um.

“Ada apa berlarian pada musim salju seperti ini, tanpa mengenakan sviter[1]?”  Nyonya Catherine buru-buru menghangatkan Rihana di dekat perapian. Dipasangkan juga sviter berwarna coklat kelam miliknya, hingga menutupi seluruh badan Rihana yang jauh lebih kecil darinya. Rahang Rihana mengatup-ngatup. Tubuhnya terasa kaku. Hanya bola matanya yang mampu berputar.

Bibi Albina, saudara kandung Nyonya Catherine membuatkan secangkir minuman hangat. Rihana menenggaknya perlahan. Hingga kehangatan tersebar pada seluruh pembulu darahnya. Rihana terisak dalam dekapan Nyonya Catherine.

“Ssshh… Tenanglah, Akilina.” Nyonya Catherine mengusap lembut kepala Rihana. Sesekali ia menghapus air mata Akilina kecilnya itu. Akilina ialah panggilan sayang dari Nyonya Catherine, untuk Rihana. Yang bermakna; elang kecil.Elang kecil menggambarkan seseorang gadis yang kuat. Tegar. Tidak mudah menyerah. Serta, pandai.

Rihana menyeka air matanya. Ia berdiri menjauhi perapian. Pemilik rambut ikal berwarna emas itu, menyapu embun pada jendela ruang tengah. Sebuah rumah besar nan angkuh, dengan coklat yang mencolok, menjadi pemandangan yang memenuhi kaca jendela itu. Hampir seluruh bagian atapnya terselimuti salju Rusia.

“Nyonya, saya minta maaf. Cake strawberry yang anda pesan, tidak bisa saya penuhi dengan segera. Sebagai gantinya, saya akan mengembalikan seratus persen duit modal yang anda berikan.” Rihana merogoh kantung celananya. Hingga ia mendapati beberapa lembar seribu rubel.

“Ambillah, Akilina. Untuk kau dan Um. Saya tahu, kalian sangat membutuhkan.”  Nyonya Catherine memperbaiki letak ochki[2] yang ia kenakan.

Spasibo[3], Nyonya. Tapi, saya tidak diajarkan untuk menerima sesuatu yang tidak saya usahakan untuk mendapatkannya.”

“Tapi kau juga diajarkan untuk tidak menolak pemberian dari orang-orang yang mencintaimu.” Nyonya Catherine tersenyum getir. Rihana tersenyum lalu mengangguk pada Nyonya Catherine.

“Apa yang tengah terjadi padamu, Rihana?” Bibi Albina duduk di atas sofa ruang tengah yang dilapisi beledu coklat kayu.

“Entahlah, Bi. Saya merasa, Um sudah tumbuh dewasa. Hingga ia bisa memilih apa yang ia inginkan, apa yang tidak ia inginkan. Apa yang ia harapkan, apa yang tidak ia harapkan.” Rihana merapatkan kembali sviter milik Nyonya Catherine pada tubuhnya. Matanya menerawang keluar jendela. Persendiannya seolah bertanya, apa yang tengah dilakukan Um di dalam rumah sendirian seperti sekarang ini.

Sebuah mobil dengan empat ban besar, terparkir di depan pekarangan rumah Rihana. Urat-urat pada tubuh Rihana menegang. Ia tahu benar siapa pemilik mobil pendaki itu. Dua orang pria berbadan tegap dan besar keluar dari mobil dengan wajah yang samar-samar. Embun menghalangi pandangan Rihana.

Lalu, seorang pria turun dari jok belakang mobil. Jack. Dia pemimpinnya. Bahasa tubuhnya seolah memerintah dua orang pria besar itu, untuk masuk secara paksa ke dalam rumah Rihana di seberang sana. Rihana terbelalak. Segera ia kembali menerobos salju Moskow, meski Nyonya Catherine dan Bibi Albina telah berupaya menghalangi langkahnya. Mereka tidak paham apa yang tengah terjadi.

Kali ini, Rihana kalah cepat. Mobil kuning senja itu tengah melaju meski pintunya belum sempurna tertutup. Rihana mengejarnya sekuat tenaga. Matanya mendapati tatapan dari kedua bola mata coklat nan bulat itu.

“Hana! Apa yang kau lakukan padaku?!” Sayup-sayup suara itu terdengar. Semakin lama semakin menjauh. Energi otot-otot kakinya seolah melemah. Namun, mobil itu mendecit. Si pengendara menginjak pedal rem. Seorang pria dengan pal’to[4] hijau kusam tebal, menginjak tanah Moskow yang memutih.

Jack! What do you want?!” Suara Rihana parau. Jack tersenyum sinis.

You.

“Give him back to me, now!”

“Yes. If you want to follow my game.”

Sebuah sapu tangan dengan aroma yang menyekat tenggorokan, menyekap hidung dan mulut Rihana. Suara Um memenuhi indera pendengarannya. Dua bola mata bulat itu samar-samar menatapnya.

Stay away from her! Dasar gajah bengkak!” Um meronta-ronta dalam cengkraman dua algojo berbaju hitam itu.

Rihana menahan nafasnya. Berharap ia tak menghirup aroma alkohol di sana. Namun, Jack tahu Rihana bukan pemilik nafas yang panjang. Pandangan Rihana berubah gelap.

***

Pandangan Rihana berbayang-bayang. Tak jelas aroma apa yang tengah mengisi paru-parunya. Sedetik kemudian matanya terbelalak. Um. Kini mereka duduk berhadapan. Keduanya terikat tali tambang yang besar dan kuat.

“Um!” Rihana setengah berbisik. Um menoleh ke kanan dank e kiri mencari sumber suara. Kedua mata Um sengaja ditutup dengan sebuah kain panjang.

“Aku di depanmu!” Rihana mulai prihatin. Um malah menangis.

“Apa yang kau lakukan padaku, Hana? Aku takut sekali. Aku belum mau mati!” Um terisak-isak meski suaranya berbisik-bisik.

“Ssshh… Tenanglah, Um. Aku ada di sini. Kau tak akan mati.”

Um semakin terisak. Penutup matanya basah.

“Tolong jangan tinggalkan aku. Aku minta maaf, sudah tidak sopan padamu.” Siswi sekolah dasar itu menangis hingga tergugu. Rihana tahu, adik semata wayangnya itu merasa sangat tertekan.

“Ssshh… Sudah, jangan menangis…”

“Tolong beri tahu aku, apa saja yang ada di sekitar sini.” Um mencoba mengalihkan rasa takutnya. Rihana tersenyum. Lalu, pandangannya menyapu ke sekelililngnya.

“Kita berada dalam sebuah ruangan. Sepertinya ini sebuah bangunan lama. Ruangan ini grjaznyj[5]. Di sudut ruangan ada sebuah meja berukuran sedang berwarna putih kusam, dengan laci yang sedikit terbuka…”

“Apa isi di dalam laci tersebut?”

“Aku tidak dapat melihatnya.”

“Baik, lanjutkan.”

“Di belakang pintu, ada sportivnaja kurtka[6] yang tergantung. Sepertinya, itu barang lama. Lantai di sini terbuat dari marmer. Sangat indah, meski berdebu. Ada banyak gantungan baju, dan beberapa mesin jahit yang berkarat…”

“Aku tahu, kita berada dimana!”

Rihana terbelalak. Takjub dengan otak brilian milik Um. Matanya berbinar.

“Di sebuah tempat persembunyian yang susah didapati seseorang!”

Rihana mendengus. Mengapa adiknya selalu mengisi ruang udara dengan pendapat-pendapat bodoh.

“Aku juga tahu, Um!”

Um tertawa kecil.

“Kena kau!”

“Kau…”

BRAK! Sebuah pintu dibuka dengan kasar.

“Well, rupanya kalian sudah bangun.” Jack menepuk-nepuk pipi Um. Lalu menyentuh dagu Rihana. Rihana menjauhkan wajahnya dari sentuhan Jack.

“Seorang gadis yang lahir dan tumbuh di Umbridge. Lalu memilih melanjutkan hidupnya di Moskow, untuk merawat adik laki-lakinya yang tengah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Wish, seorang pengusaha sukses asal Umbridge yang mati terbunuh. Dan July, wanita tua yang cantik dan berbakat dalam dunia modeling, mati bunuh diri. Hahaha… betapa malang jalan hidupmu, Rihana.”

Urat-urat pada leher Rihana menonjol. Um menegang.

“Hahaha… Ada apa, Rihana? Kau mulai ketakutan?”

“Lepaskan kami.”

“Kau tidak perlu meminta, Rihana. Aku ini mantan kekasihmu. Aku tahu benar, apa yang kau inginkan.”

Rihana memicingkan mata. Um mulai terisak kembali.

“Oh… Sungguh, Um-ku yang malang. Apa kau tega membiarkannya menangis di sini, Rihana?”

“Lepaskan aku! Lepaskan Hana!” suara Um meninggi.

“Tentu, bayi kecilku. Namun, ada satu permintaan yang harus Hana-mu ini berikan padaku.”

“Apa itu?” Um gemetar. Rihana menatap sinis si mata elang itu.

“Ia harus membantuku memburu seekor primata. Hana-mu ini pemburu paling hebat yang pernah ku miliki. Namun, sayangnya ia menolak ketika aku memintanya kembali untuk berburu.”

“Hana, apa yang kau pikirkan? Itu permintaan yang sangat sederhana. Bukankah, berburu adalah bagian dari hidupmu?” Um tak habis pikir. Rihana menggeleng.

“Kau tak mengerti, Um. Aku sudah tak mau berburu lagi!”

Jack tertawa licik. Ia melepaskan pal’to dari tubuhnya, dan membiarkan kain hijau lusuh itu berbaring di atas lantai.

“Baiklah, Rihana. Kau memang keras kepala. Aku pikir, kau perlu sebuah… ‘push’

Sebilah pisau tajam yang mengkilap, mengiris permukaan kulit lengan Um. Um mengerang kesakitan. Rihana terkesiap.

“Don’t hurt him!”

“So, follow my game. I don’t hurt him again, Baby.”

“Kau tak paham, Jack! Hewan-hewan itu… makhluk yang berhak hidup. Mereka tak pantas menjadi korban atas kesenangan manusia.” Rihana tersendat.

Jack meludah.

“Hahaha… This is life, Rihana. Kau berhak menentukan siapa yang pantas untuk memenuhi kenikmatan hidupmu. Lagi pula, mereka tak berteriak ketika aku memasukkan mereka masuk ke dalam mesin pengering. Kecuali, kalau bayi laki-lakimu ini yang aku sakiti.” Jack kembali menyayatkan pisaunya. Namun, kali ini pungggung Um lah yang menjadi sasaran selanjutnya. Um berteriak. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Ku mohon, Hana. Ini sakit sekali.”

Rihana menahan air matanya dalam-dalam. Ingin sekali ia menonjok wajah Jack. Jack kembali memamerkan pisaunya yang telah dinodai dengan darah segar milik Um.

“Baiklah! Untuk terakhir kalinya! Aku mohon, jangan sakiti Um. He is just a baby.

Mata Jack berbinar.

“Kau bersedia berburu untukku, Rihana?”

Rihana memejamkan matanya, lalu mengangguk.

“But, you must leave from our life after this.”

“Permintaan diterima.”

***

Butuhwaktu setengah hari untuk menempuh perjalanan meuju hutan yang dimaksud Jack. Bukan dengan menapak jalanan, namun Rihana harus diantar dengan helikopter. Um dipaksa ikut, sebagai jaminan bahwa Hana benar-benar akan menjalankan misinya. Jack bak macan putih yang kehausan akan darah segar mangsanya.

Smell it, Rihana. Aroma hutan! Kau pasti sangat mencintainya.”

Bulu kuduk Rihana meremang. Ia benar-benar merasa takut kali ini. Ia mengkhawatirkan hewan yang akan ia buru di dalam sana. Ia terlempar pada bayangan masa lalu. Saat anak panahnya salah sasaran, dan menancap pada pelipis seorang anak laki-laki seumuran dengan Um. Ia benar-benar merahasiakan kejadian itu. Dan sampai saat ini, belum ada yang mengetahui kejadia itu kecuali ia dan anak panahnya.

Tubuh Rihana gemetar.

“Hana, apa kau baik-baik saja?” Um mendekati Rihana yang memucat.

“Hmm… Tak usah memikirkanku, Um. Aku akan baik-baik saja. Jangan pernah lepaskan shljapa[7] itu, Um. Kau sangat tampan mengenakannya.” Rihana mengalihkan rasa takutnya. Mencoba menyibak kelabu yang menghantui batinnya.

“Tentu. Aku memiliki ini untukmu, agar kau tak merasa sendiri di dalam sana.” Um memberikan kol’tso[8] berwarna silver dengan brilian yang memenuhi lingkarannya. Rihana tersentuh, namun ia bukan gadis yang mudah menangis.

“Apa aku pantas menggunakannya?”

“Tentu tidak! Jari-jarimu kekar.”

Keduanya tertawa kecil. Berharap Jack tak mengendus kebahagiaan yang mengepul pada awan-awan di atas kepala mereka. Rihana memilih menjadikan kol’tso itu sebagai mata liontinnya.

“Rihana! This is your time!” Jack melemparkan tali tambang dari atas helikopter. Salah satu algojo berbadan six pack dengan panggilan Sachar, lebih dulu turun ke bawah sana. Disusul oleh Rihana, Jack, lalu algojo terakhir bernama Petya, dengan membawa Um.

Hutan dengan cuaca tropis seperti ini, membuat para pemburu bersimbah keringat. Namun, Rihana bersyukur karena tak mati kedinginan seperti di Moskow. Namun, ia baru teersadar bahwa ia tidak memiliki perbekalan. Ia bisa dehidrasi dalam waktu singkat.

“Jack, hewan macam apa yang ingin kau koleksi?” Tatapan Rihana tak lepas dari tubuh Um yang bulat. Ia takut, Um terluka.

“Ssshh… Itu dia…”

Para pemburu menciptakan keheningan di tengah-tengah hutan. Semuanya serempak menahan nafas. Rihana memutar otak. Ia tak menyangka bahwa seekor gorila yang menyedot minat Jack. Gorila bertubuh besar. Sangat besar.

“Cepat, Rihana! Tembak dia.” Jack mengacungkan pisau ke arah Um. Rihana kembali gemetar. Semua ingatannya beberapa tahun silam seolah kembali menonjok-nonjok ruang-ruang memorinya. Wajah bocah laki-laki yang tak sengaja ia bunuh kali itu, seolah tercetak jelas di hadapannya. Rihana terguncang.

“Rihana! Kau mau aku menyakitinya lagi?!” Jack setengah berbisik. Tangannya masih menodongkan pisau ke arah Um. Um menelan liur. Wajahnya pucat pasi. Rihana menggenggam kuat-kuat kol’tso pemberian Um. Matanya berputar menyusuri wajah Jack, Sachar, Petya dan Um secara bergantian.

Rihana meluruskan fokus senapannya tepat pada dahi gorila itu. Ia meneguk liur. Telunjuknya tengah siap menekan pedal senapan.

Tik tok tik tok tik tok…

Dor! Dor! Dor!

Bruk!!!

Jack, Sachar, dan Petya ambruk. Rihana telah memutar fokus senapannya ke arah kepala ketiga musuhnya itu. Sesuai perkiraannya yang sama sekali tak meleset.

Sayangnya, Rihana melupakan suatu hal. Gorila itu! Gorila itu mengetahui keberadaan Rihana dan Um, karena tengah membuat kegaduhan. Dengan cepat Rihana meletakkan Um di atas pundaknya. Ia berlari sekencang-kencangnya, setelah mengambil remote control penindai signal, agar pilot helikopter di atasnya segera menjemput.

Rihana menekan tombol merah pada remote control dalam genggamannya. Ia masih dalam pengejaran tuan gorila. Nafasnya tersengal-sengal. Sedang Um, masih pucat pasi dan sangat terguncang dengan suara tembakan di dekatnya. Tatapan Um kosong. Rihana mulai kebingungan mencari tempat untuk bersembunyi. Helikopter di atas kepalanya tengah menjatuhkan tali berbentuk tangga. Dengan cepat, Rihana meraihnya.

Gorila itu masih berupaya mendapatkan Rihana ataupun Um. Namun, ia kalah cepat. Dan dapat dipastikan, Rihana dan Um-lah yang memenangkan petualangan ini.

***

Um duduk mematung di atas bangku kayu yang menghadap ke luar jendela. Salju telah meninggalkan Moskow untuk sementara waktu. Liburan musim panas memang selalu dinantikan Rihana dan Um.

Setelah insiden itu, Um tak pernah mau berbicara pada siapa pun. Ia hanya menatap kosong apa pun yang ada di hadapannya. Sebuah gangguan sikologis tengah menimpa sistem saraf pada otaknya. Um, siswa sekolah dasar ini memang terlalu kecil untuk menyaksikan kejadian sadis tepat di depan bola matanya. Rihana hanya bisa menyesali segala kesalahnnya ini.

Rihana mendekorasi rumah mewahnya itu. Berharap Um akan menyukai warna vintage yang ia pilih. Menurut Rihana, warna-warna lembut dapat menenangkan kejiwaan seseorang.

Gadis tomboy itu telah kehilangan rambut keriting yang menutupi tengkuknya. Karena ia telah mencukur pendek rambutnya, hingga kini menjadi kribo. Rihana mengaduk adonan cake strawberry pesanan Nyonya Catherine seperti hari-hari sebelumnya. Ia baru menemukan resep baru, dengan tambahan almond di atas cake-nya.

“Hana, tolong jangan tinggalkan aku. Aku tak ingin kau menyusul ayah dan ibu. Ya lyublyu tebya.[9]” Um tiba-tiba memeluk kakak perempuannya itu dari belakang. Rihana terpaku.

Ya lyublyu tebya[]

[1] Baju hangat

[2] Kacamata

[3] Terima kasih

[4] Mantel

[5] Kotor

[6] Sebuah jaket olahraga

[7] Sebuah topi

[8] Sebuah cincin

[9] Aku cinta kamu

[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, kelas 3 SMA]

By noviani

Noviani Gendaga | Santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, kelas 3 | Asal Samarinda, Kalimantan Timur

One thought on “Ya Lyublyu Tebya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *