Ahad lalu kami pergi mengunjungi Bendungan Katulampa dan Puncak – Bogor. Banyak peristiwa yang kami alami. Mulai yang mengesankan dan sebaliknya.
Tadinya aku nggak mau ikut, sebab aku kira hanya pergi ke Bendungan katulampa. Aku ingin di asrama aja, mau ngerjain tugas yang belum selesai. Ternyata selain ke sana, mengunjungi Lapangan Sempur – melihat sungai ciliwung dan mengunjungi puncak juga. Akhirnya aku ikut. Heheh..
Selain aku mau ngerjain tugas. Aku mempunyai alasan lain, yaitu karena aku udah pernah mengunjungi Bendungan Katulampa.
Lapangan Sempur memang sering dilewati ketika akan siaran di radio Mars fm. Buatku nggak ada yang menarik di sana, soalnya banyak yang pacaran. Nggak suka. Ditambah aku sebal, karena sekarang pedagang-pedagang sudah tidak diperbolehkan berjualan di situ. Tapi pedagang-pedagang kecil itu pandai, tidak ada rotan akarpun jadi, mereka berjualan di trotoar jalan. Heheh… hebat!
Tapi ada masalah lain, selain berbahaya, juga membuat macet. Ini sih sudah tentu salah pemerintah.
MELIHAT SUNGAI CILIWUNG
Kata Ustadz Umar, sebenarnya Lapangan Sempur dibuat untuk menampung air dari sungai ciliwung, supaya air yang datang ke Jakarta tidak terlalu banyak.
Oh ya, kami diajak ke sana untuk diperlihatkan Sungai Ciliwung. Subhanallah… Banyak sampah, sudah tentu bau dan kotor. Pastinya nggak seperti Sungai Ciliwung di Jakarta yang airnya kayak kuah cumi-cumi. Lumayanlah! Heheh…
Huft! Di sini nih mulai ada bumbu-bumbu kekesalan. Yang namanya kekompakan seharusnya memang menonjol dalam sebuah kelompok. Tapi nyatanya nggak dengan kelompokku. Saling memegang ego masing-masing.
Aku berada pada pendapatku, yang lain juga seperti itu. Nggak tahulah aku juga bingung salah siapa. Mungkin salah dua-duanya.
Kelompokku seperti terbagi dua. Ada yang ikut ke aku dan ada yang ikut ke ketua.
Soalnya yang aku tahu, yang namanya ketua harus bijaksana dan nggak boleh egois. Dia menginginkan kami semua mengikuti dia ke manapun dia pergi. Tapi orang lain juga menginginkan memotret objek yang lain. Menurutku Cuma dengan izin boleh kok anggotanya memotret objek-objek yang lain. Kalau sudah izin kan berarti ketua sudah mengetahui anggota-anggotanya ada di mana. Di-stop dulu ya cerita yang ini. Aku beristighfar dulu. Heheh…
SINGKAT CERITA
Setelah mengunjungi Lapangan Sempur, akhirnya kami melaju ke Bendungan Katulampa. Mungkin oleh sebagian santri sangat dinanti-nantikan.
Bendungan Katulampa sangat berperan penting untuk kota Jakarta. Selalu disebut-sebut setiap kali Jakarta dilanda banjir seperti sekarang. Banyak warga Ibu Kota mengira Katulampa sebagai tempat pengaturan volume air Sungai Ciliwung yang dialirkan ke Jakarta. Banyak orang menduga, di sanalah “disetel” apakah air Ciliwung bakal mengalir tenang atau meluap- luap dan menimbulkan banjir.
Bendung Katulampa adalah bangunan yang terdapat di kecamatan Katulampa, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini di bangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendung. Saluran irigasi dari bendung ini mempunyai kapasitas maksimum sekitar 6.000 liter perdetik. Fungsi lain dari bendung katulampa adalah sebagai sistem informasi dini terhadap bahaya banjir Sungai Ciliwung yang akan memasuki Jakarta. Data mengenai ketinggian air di Bendung Katulampa ini memperkirakan bahwa sekitar 3 – 4 jam kemudian air akan sampai di daerah Depok. Selanjutnya di Bendung Depok ketinggian air dipantau dan dilaporkan ke Jakarta sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar aliran sungai ciliwung sudah dapat mengantisipasi sedini mungkin datangnya air banjir yang akan melewati daerah mereka.
Katulampa itu bendung, dan bukan bendungan yang bisa menahan air dalam volume yang besar, seperti di Bendungan Cirata, Saguling, atau Jatiluhur. Di Katulampa hanya ada mercu bendung, konstruksi beton rendah yang dibangun di dasar dan melintang di sepanjang lebar Ciliwung 82,5 meter. Mercu bendung berfungsi sebagai landasan untuk menetapkan titik nol dalam pengukuran tinggi air.
Tinggi normal air Ciliwung di bendung Katulampa antara 80 hingga 100 sentimeter (cm). Kalau lebih dari itu, artinya debit air mulai besar akibat hujan di daerah Puncak Di Bendung Katulampa juga ada satu pintu air yang dapat dibuka-tutup dan mengalirkan air lebih banyak ke hilir Ciliwung. Pintu air hanya digunakan dalam pengurasan sedimen di sekitar bendung. Pintu hanya dibuka sekali-sekali untuk menghanyutkan sedimen lumpur di dasar sungai agar tak terjadi pendangkalan. Jadi, bukan untuk mengatur besar-kecilnya volume air Ciliwung yang akan dialirkan ke Jakarta.
Jika tinggi air Ciliwung sudah mencapai 80 cm, penjaga Bendung Katulampa langsung menetapkan status siaga IV dan wajib melaporkannya ke Jakarta. Ketinggian 80 cm menandakan debit air Ciliwung sudah cukup besar dan bisa mengakibatkan banjir di Jakarta. (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/sejarah-bendungan-katulampa-bogor/)
20 RIBU DAN 200 RIBU
Setelah puas motret-motret Bendungan Katulampa. Kami lanjut ke Puncak. Ini yang aku nanti-nantikan. Asyik! Asyik!
Di perjalanan terjadi peristiwa kecil. Ada polisi di depan. Kami semua cemas, gelisah dan takut.
Ustadz Umar disuruh keluar dari mobil oleh polisi. Entah apa yang dibicarakan, tapi akhirnya keluarlah uang 200 ribu. Katanya karena di depan dua orang. Harusnya seorang aja.
Kami semakin khawatir setelah melihat mobil yang dikendarai Musa juga diberhentikan. Masalahnya dia nggak punya KTP apalagi SIM.
Kemudian kami suruh Kholifah untuk menghubungi Via, soalnya dia ikut mobil itu. Ternyata mereka tidak apa-apa. Hanya keluar uang 20 ribu katanya. Kami kaget. Kok bisa ya?! Antara 200 ribu dan 20 ribu. Nol nya menggelinding.
Padahal kesalahan Musa lebih banyak dari pada Ustadz Umar. Musa kesalahannya ada tiga, pertama tidak punya KTP, kedua tidak punya SIM, ketiga pajak mobil sudah mati dan keempat di depan duduk dua orang dan tidak memakai sabuk pengaman. Sedangkan Ustadz Umar hanya satu kesalahan yaitu dua orang duduk di depan dan tidak memakai sabuk pengaman.
Mungkin karena Musa sudah berpengalaman. Maklum dia sering mengendarai mobil terutama truk.
SAMPAI PUNCAK
Subhanallah, cantik banget pemandangannya, sejuk lagi udaranya, plus dingin. Brrr…
Hamparan tanaman teh dan kabut yang membuat jalan-jalan terasa manis dan mengesankan. Ingin rasanya menyentuhnya tapi sayang, dalam mobil.
Masjid At-Ta’awun adalah tempat yang kami kunjungi di sana. Masjidnya luas dan bagus banget. Atapnya kayak jamur. Desainnya cantik, ketika akan masuk, kita harus melewati sungai kecil buatan. Mungkin dibuat supaya kaki nggak kotor waktu memasukinya. Dinginnya itu lho membuat merinding. Dinginnya kayak air es. Dingiiiiiiin!
Yang lain sholat aku sibuk jalan-jalan sebentar melihat-lihat luarnya dan tentunya motret juga. Kebetulan aku sedang tidak sholat. Senangnya…
Selesai mereka sholat, kami makan. Setelah makan, Ustadz Umar bertanya yang mau beli jagung bakar. Aku nggak mengacungkan tangan. Aku mau motret-motret aja.
Yang mengacungkan tangan ikut Ustadz Umar, yang tidak, boleh keliling-keliling masjid. Jam 13.30 berkumpul semua.
Sudah puas motret aku turun dan segera menemui Ustadz Umar. Sekitar jam 14.00 kami pulang.
[Ilham Raudhatul Jannah, santriwati angkatan ke-1, jenjang SMA, Pesantren Media]
Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis feature, di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media