Oleh: Farid Ab (Santri Pesantren Media)
Di jalan setapak menuju rumahku ini, aku melangkah pelan dan gontai. Tatapanku kosong. Tak ada aura kehidupan di sana. Begitu redup dan sayu. Bunga-bunga bahagia yang seminggu lalu sempat bermekaran di hatiku, kini layu dan berguguran dengan begitu cepatnya. Sekering rerumputan yang kuinjak. Semerana pepohonan jati tak berdaun di kiri kanan jalan ini. Kemarau panjang yang melanda desaku seolah-olah juga mendera hatiku.
Suasana hatiku memang berbeda dengan minggu lalu. Kala itu, di perjalanan kembali ke rumah, berdua bersama istri tercinta melewati jalan setapak ini, hatiku memang diliputi suka cita tiada tara. Kami baru saja pulang dari puskesmas dengan membawa kabar gembira. Istriku hamil. Dan dalam sembilan bulan ke depan, kami akan segera menimang seorang bayi. Ya, bayi pertama dalam biduk rumah tangga kami. Kehadirannya sudah belasan tahun dinanti.
Namun, harapan untuk melihat rupa bayiku mungkin harus kukubur dalam-dalam. Tak ada gunanya aku memelihara keinginan itu lagi. Baru saja, seorang lelaki setengah baya berpakaian serba putih, dengan stetoskop menggantung di lehernya, menjatuhkan vonis mati atas hidupku.
“Maaf Pak Daus, hidup Anda tinggal 7 bulan lagi.” Jelasnya dengan suara berat dan datar.
“Kanker hati Anda sudah stadium 4. Sel-sel kankernya sudah menyebar dan menggerogoti beberapa organ lainnya.” Lanjutnya dengan senyum yang dipaksakan.
Aku benci senyum itu. Entah mengapa, aku merasa senyum itu bukanlah senyum yang dikeluarkan guna menghibur diriku yang kalut. Senyuman itu seakan menjelma menjadi rupa paling menyebalkan di seantero dunia. Seolah-olah senyuman itu hadir sebagai hinaan untuk orang miskin sepertiku. Aku pun beranjak setelah terlebih dahulu menggebrak meja.
Bukannya aku tak tahu dengan penyakitku. Dulu, ketika ulu hatiku sering ngilu dan berat badanku mulai berkurang drastis, aku langsung memeriksakannya ke puskesmas. Hasilnya, kanker hati stadium 3A. Ada dua cara mengobatinya, operasi dan kemoterapi. Namun, dua langkah pengobatan itu membutuhkan biaya selangit. Tak akan pernah terjangkau oleh diriku yang hidup dari hasil mencari kayu bakar dan menggembalakan domba milik Pak Karun, seorang tuan tanah di desa ini. Aku sudah berusaha mencari pinjaman baik itu ke tetangga maupun ke tuan tanah atasanku itu. Namun, para tetanggaku nasibnya juga hampir sama denganku. Mereka juga hidup dalam kesusahan. Lalu bagaimana dengan Si Tuan Tanah? Disamping tersohor sebagai orang kaya, dia juga terkenal paling pelit.
Kini, aku harus meninggalkan dua jiwa dalam keadaan lemah. Aku khawatir dengan masa depan mereka. Siapa yang akan mendampingi istriku di detik-detik persalinannya? Siapa yang akan menghidupi mereka? Saat ini, di saat aku masih hidup saja, kebutuhan dapur masih sering megap-megap. Apalagi jika istriku bekerja sendirian. Dan tak mungkin Pak Karun legowo mempergantikan pekerjaanku mengembalakan domba kepada istriku. Seorang pengembala kambing haruslah seorang laki-laki, yang tentunya berani bergulat dengan pencuri kambing dan serigala hutan. Ah, tempurung kepalaku seakan mau pecah.
***
“Aduh, tolonggg!!!”
Aku tersentak dari tidurku. Jam dinding menunjukkan jam 01.00 WIB. Aku kaget mendapati istriku tergeletak di lantai, mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Selimut kumal yang dikenakannya nampak memerah oleh bercak darah. Aku panik luar biasa.
“A.. ada apa, Bune? Apa yang te.. terjadi?” Tanyaku tergagap.
“ Aku terjatuh dari tempat tidur, Pak’e.” Jelasnya sambil megap-megap menahan sakit.
Aku langsung menghambur ke halaman rumah, menabuh kentongan dan berteriak minta tolong. Sesaat kemudian beberapa hansip datang disusul para tetangga. Mereka kaget mendapatiku panik dan berteriak-teriak di tengah malam begini.
“Ada apa, Pak Daus?” Tanya mereka keheranan.
“Istriku, tolong, dia pendarahan.” Jawabku sekenanya.
Mereka pun mengerti. Seketika mereka menyebar dan berbagi tugas. Ibu-ibu berhamburan masuk ke dalam rumah guna memberikan bantuan terbaiknya. Para pemuda dan bapak-bapak sibuk berembuk, memikirkan cara terbaik untuk menolong istriku. Akhirnya, seorang tetanggaku, dengan menunggangi kuda, di utus ke puskesmas. Beberapa saat kemudian, sirine ambulan terdengar meraung-raung, memecah keheningan malam.
Awalnya istriku di bawa ke puskesmas. Namun, pihak puskesmas menyerah. Pendarahan istriku sudah begitu parah. Istriku pun dirujuk ke sebuah rumah sakit di kota.
Di perjalanan menuju rumah sakit, air mataku meleleh. Aku tak kuasa melihat istriku terbaring lemah. Kulihat darah yang keluar semakin banyak. Kadang ia tersengal, berjuang antara hidup dan mati. Aku terus menggenggam tangannya. Aku tak ingin kehilangan dirinya.
Namun, semakin lama matanya semakin menyipit. Kurasakan detak nadi di pergelangan tangannya semakin melemah. Nafasnya pun semakin jarang.
“Hei Pak, apa tak bisa lebih cepat mobilnya?” Gerutuku gusar.
Di sela-sela kepanikan itu, sekilas aku melihat bibir istriku bergerak-gerak. Seolah-olah dia ingin menyampaikan sesuatu. Aku pun mendekatkan telingaku ke bibirnya.
“Pak’e, ma… maafkan a…ku.” Ujarnya lemah. Suaranya hampir tak terdengar oleh deru mobil ambulan yang kunaiki.
“Ashadu alla ilaha illallah. Wa ashadu anna muhammadurrasulullah.” Kudengar lirih syahadat dari bibirnya. Kini, matanya terpejam. Nafasnya berhenti.
Air mataku tumpah ruah di pipinya. Aku tak mempercayai semua ini. Allah telah mengambilnya. Aku yang sudah divonis mati oleh seorang manusia, kini masih bisa bernafas. Aku baru sadar, bahwa hidup dan mati itu bukanlah kewenangan manusia.
Selamat jalan istriku.[]
Catatan: Tugas menulis cerpen di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media