INI ceritaku bersama teman se-kamar di Boarding School of Center Champion alias BSCC. Tentu kami masih satu gender. Perempuan. Sepuluh, seratus, seribu, bahkan sejuta cerita dan pengalaman telah kami lewati bersama. Kadang berdua, kadang juga masing-masing.
Dua tahun, bukan waktu yang sebentar. Menjajal seragam putih abu-abu yang penuh track terjal dan tajam. Menjebak di sela-sela perjalanan mencari jati diri, lalu mengejutkan dengan kecelakaan-kecelakaan yang tak terduga. Kecelakaan itu bukan mobil menabrak motor, atau bukan juga pesawat yang jatuh karena gerombolan burung gagak beterbangan di angkasa. Tapi kecelakaan yang membuat mereka malah bergairah, karena kejadian itulah cerita cinta yang terlarang bisa berujung dengan sahnya surat nikah dari KUA.
Erna orang Riau. Logatnya mirip-mirip ‘Upin-Ipin’. Sedang aku yang ‘pernah’ lahir di Pontianak, tapi kedua orang tuaku asli Magelang dan Semarang. Bahasaku bahasa nasional. Bahasa Indonesia. Bukan karena nasionalis atau maniak dengan Indonesia. Sejak dulu aku memang tak berminat dengan bahasa daerah. Bagiku cukuplah mengerti bahasa Indonesia, toh kan semua orang yang kulihat di negara ini pasti bisa berbahasa Indonesia.
Satu tahun berlalu. Dari yang awalnya tak saling sapa, mulailah saling senyum. Awalnya hanya curi-curi pandang, sekarang malah satu kamar. Berangkat bareng, pulang pun berdua. Kami sering dijuluki sepasang merpati.
Kamar kami terpisah dari asrama perempuan yang lain. Denger dari salah satu senior, kami dinilai mandiri dan lebih bertanggung jawab dari siswi se-angkatan. Tapi, entahlah. Apa benar kami layak mendapat predikat ini? Atau hanya sebagai alasan untuk mengucilkan kami dari siswi yang lain?
***
Seperti biasa, di jam-jam akhir pelajaran semua mata tertuju pada jarum-jarum jam yang berputar pada porosnya. Jam yang terpajang di dinding balakang, mengharuskan kami memutar badan untuk sekedar melirik jam berapa sekarang. Kalimat penutup dari master of sains, terdengar merdu di telinga. Setiap kali kalimat itu terdengar, setiap kali itu juga aku lip sing. Dengan bumbu-bumbu khas, menyesuaikan mimik wajah Pak Tani sambil memonyong-monyongkan bibir.
“Sampai di sini dulu pelajaran hari ini. Lima hari kedepan, bapak akan cek tugas kalian di e-mail. Siapa yang tidak mengerjakan, akan ada hadiah special dari bapak. Mengerti?” Kalimat itu terdengar sangat nyaring di kuping para siswi kelas IPA XI-2. Rentetan huruf yang tersusun menjadi kesatuan kalimat rapi sudah melekat erat di memori mereka. Tak berbeda denganku.
“Iiyyaa, Paaaak.” Salah satu teman di bangku paling pojok kiri belakang kelas menghabiskan suaranya yang masih tersisa. Jam terakhir, terik matahari, kantuk, berjuang untuk maju ke depan dan mempresentasikan makalah tentang morfologi, menjadi beban yang begitu berat dipikul bagi para remaja ‘ababil’ di kelasku.
“Ya sudah, saya undur diri. Kita tutup dengan mengucap hamdallah. Alhamdulillah… Dan do’a kafaratul majelis,” semua serempak mengucap do’a.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Lanjut Pak Martani sembari merapikan makalah yang tertumpuk acak di meja guru di sudut depan kelas, yang tadi di tempatinya.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab kami serempak lagi.
Semua berhamburan keluar. Hanya ada aku dan Erna yang sibuk merapikan copy-anfile tugasnya.
“Eh, nanti malam kan ada nobar. Berangkat bareng yuk.” Ajakku mencoba mengalihkan topik.
“Ok, abis sholat Isya ya, SAAPIII”
“Ish, enak aja,” tanganku refleks menjitak kepalanya “Dasar kebo.”
***
Malam ini dingin menemani langit gelap setelah diguyur hujan dan adzan Isya selesai dikumandangkan Zumar. Ketua OSIS merangkap ketua Rohis. Sikapnya tegas dan tidak suka bertele-tele dalam berbicara. Tak heran semua guru menyukainya, juga menunjuknya sebagai ketua Rohis BSCC. Pembalap. Julukan yang cocok untuknya. Pemuda-berbadan-gelap.
“Ihh, sebel banget tadi. Padahal tuh lagi klimaksnya. Eh… malah to be continue” Erna mengeluh sambil menyingkirkan sandal-sandal yang berserakan─bermaksud mencari miliknya─ di depan lobi.
Aku hanya mengangguk. “Subhanallah, yah. Abdullah─Si Gembala Kecil─berani membacakan Surah ar-Rahman di depan Darun Nadwah. Berusaha menyadarkan kaum quraisy akan nikmat Allah yang Maha Luas. Meliputi segala sesuatu. Walaupun sampai babak belur sama para pembesar Quraisy, tapi dia tetapmembacakannya sampai tidak ada daya lagi untuk bertahan. ” Jelasku coba mengulang tayangan di detik-detik terakhir film Omar.
“He-eh” Erna setuju.
“Coba kita liat di zaman sekarang. Mana ada orang yang seberani itu. Berdakwah terang-terangan tanpa rasa takut sedikitpun di hatinya, ditolak atau bahkan dipukuli habis-habisan oleh mereka yang tidak suka dengan apa yang dibawanya. Jikalau ada, paling hanya segelintir.” Lanjutnya yakin.
“Banyak dari mereka yang malah enggan menyebarkan apa yang mereka ketahui hanya karena takut dimusuhi, takut dijauhi sama masyarakat, bahkan kerabat sendiri.” Tambahku.
Kami berdua masih di jalan menuju kamar kami di rumah Pak Jafar dan Bu Iseu. Keduanya guru yang membina subject sains dan math. Mereka juga sepasang suami-istri.
“Bener, Ra.” Erna berhenti sejenak dan melanjutkan lagi “Ra,” kali ini ekspresinya berbeda. Erna terlihat panik dan matanya melototiku.
Aku menoleh ke arahnya, karena aku berada beberapa senti di depannya. “Apa? Ada salah apa aku denganmu?” ekspresiku tak kalah aneh. Antara marah dan heran. Kenapa dia tiba-tiba melototiku begitu.
“Aku ngerasa ada yang nggak beres, nih”
Dahiku menyerenyit. “Kamu kenapa? Kamu abis ngeliat setan? Apa, apa? Kuntilanak? Pocong? Genderuwo? Tuyul?” lanjutku panik “Apa?”
“Sssttt… bukan itu. Yang lain,” jawabannya membuatku bergidik. Berusaha sekuat otakku berfikir mencari apa sesuatu ‘yang lain’ itu.
“Kuncai,” spontan suara Erna keluar lagi.
“Hah?”
“Kuncai… kuncai” tegasnya.
“Lah, kunci tadi di kamu, bukan?”
“Maka dari itu.” Suaranya melemas. Matanya menatapku memelas sembari menggigiti kuku jempolnya yang merah.
“Tadi yang keluar belakangan kan kamu. Kenapa tanya ke aku?” kami tak menghiraukan Pak satpam yang dari tadi memerhatikan dari pos jaga.
Perdebatan tiba-tiba berhenti. Kami saling diam. Masing-masing berusaha mengingat-ingat di mana benda mungil nan berharga itu. Tanpanya kami akan mati kedinginan di luar. Sangat tidak mungkin sekalipun kami punya ide untuk mengetuk pintu rumah Pak Jafar. Jam di ponsel Erna yang kupegang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh. Pasti semuanya sudah terlelap dalam dunia mimpi masing-masing.
“Coba kamu ingat-ingat. Terakhir kamu pegang kunci itu di mana.” Aku berusaha membantu Erna mengingat-ingat. Namun sepertinya bukan malah membantu. Erna malah semakin panik. Mukanya pucat. Keringat mengucur deras. Padahal malam ini sangat dingin.
“Ah,” kesal Erna mengibaskan tangannya dan berjalan mendahuluiku, “Biarin aja. Paling suruh dengerin ceramah Pak Jafar semalaman. Baru nanti besoknya molor pas pelajaran Pak Tani.”
“Heum… bagus banget tuh.” lanjutnya pasrah dan menambah yakin akanada musibah besar melanda. Malam ini. Juga besok.
Kretek
“Pagernya belum digembok.” Ucapku mengarahkan wajah serius pada Erna.
Erna hanya diam dan menyunggingkan senyum tipis. Terlihat tak ikhlas.
“So, what must we do?” sambil selonjoran di teras depan. Pantatnya bak diestrum es hingga bergidik tak berhenti. DINGIN!!!
Cepat, Erna memilih berdiri. Kemudian menepuk-nepuk pantatnya yang membeku.
Lama, kami berdua diam memikirkan jalan keluar. “Bisa aja kalau kita mau nginep di asrama sana.” menunjuk asrama perempuan yang agak jauh─dari tempatnya berdiri─dengan dagunya.
“Nggak ah. Aku malas berurusan dengan Kak Rima yang super kaku itu. Yang ada nanti kita kena SP(Surat Peringatan) karena nggak amanah ngilangin kunci rumah.” Sergahku menolak keras.
“So, what must we do?” geram, Erna mengulangi kata-kata itu lagi.
“Hh-mm,” aku memutar otak “Balik lagi ke lobi yuk,”
“HAH?” Erna tak percaya “Ihh, capek Safira…” mukanya tambah kusut mendengar saranku.
“Barangkali kamu taruh itu kunci di lantai, di meja tamu, atau jatuh pas kamu ambil hp dari kantong jaketmu.” Penjelasanku membuat Erna memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan.
“Tapi─” Tak sabar, kuseret tangannya keluar dan kembali ke gedung utama BSCC. Kami berdo’a semoga panitia belum membersihkan tempat itu agar kami tak perlu mengorek-ngorek tempat sampah. Iuh banget…
***
Aku dan Erna datang terengah-engah saat Zumar dan Pak Ramzi masih berbincang di lobi. Kami berusaha mengontrol nafas yang naik-turun. Dan berjalan mendekati mereka. Tak sengaja aku sempat mendengar samar-samar pembicaraan ketos─Ketua OSIS─super jutek itu dengan Pak Ramzi.
“Mar,” panggil Pak Ramzi dari pagar.
“Oh, iya. Ada apa, Pak?” Zumar berlari mendekati Pak Ramzi─Pembina Rohis BSCC─yang masih mencengkeram setang MoGenya.
“Nanti tolong bereskan LCD, meja, dan karpet-karpet yang di pake. Masukan lagi semuanya ke tempat asalnya. Bapak mohon maaf harus pulang dulu. Tiba-tiba si kecil demam tinggi.” Zumar mendengarkan dengan seksama perintah Pak Ramzi dan berusaha bersikap pasrah karena bapak itu terus menepuk-nepuk bahunya.
“Siap, Pak!” Zumar mengangguk dan berlari ke lobi meninggalkan Pak Ramzi yang mulai berlalu dari sana.
“Assalamu’alaikum…” ucapan salam kami tak kompak. Kemudian kami menertawakan satu sama lain.
Untuk beberapa detik, tak ada yang muncul atau menjawab salam. Padahal pagar juga belum ditutup. Pasti masih ada orang di sini.
Lalu sosok bayangan hitam terlihat berjalan ke arah lobi dari arah koridor kelas. Semakin lama, semakin utuh bentuk tubuh yang tercetak dari bayangan yang melangkah mendekati lobi itu. Belum sempurna. Namun perlahan pemilik bayangan itu telah nampak wujud aslinya.
ZUMAR!!! Teriakku dalam hati.
“A…e..ahh─”
“Zumar!” cepat Erna memanggilnya sebelum aku berhasil menutup mulutku yang menganga. Walhasil, aku harus menahan malu karena terlihat oleh Zumar.
“Ya,” seperti biasa. Dia hanya menjawab seperlunya saja. Tetapi tidak padaku saat kejadian di masjid tadi.
“Ehmm, gimana ngomongnya yah,” Erna ragu dan menggaruk-garuk kepalanyanya yang dibalut kerudung corak bunga menyala.
“Kenapa? Ada yang bisa dibantu?” Wajah herannya membuatku geli. Gaya bahanya sudah seperti resepsionis rumah sakit saja.
“Lihat kunci nggak?” tanyaku to the point.
Zumar terlihat beberapa kali menyapu pandangannya ke segala penjuru lobi, “Kalau aku sih nggak,”
─Issshhh, sangat menyebalkan─Batinku.
Semua diam. Lalu,
“Gar, ke sini sebentar.” Orang itu memanggil wakilnya, Tegar.
“Kenapa, sob.” Tegar mendekat dan merangkulnya.
Dia terdiam sejenak dan curi-curi pandang pada kami. Mengetahuinya, aku langsung menunduk dan menyenggol Erna agar bertindak sama denganku.
“Kau lihat kunci?”
“Ehm, nggak tuh,” jawabnya santai.
“Jadi, bukan cuma aku yang tidak melihatnya.” Tegas orang itu menaikkan alisnya sebelah.
Bingung. Lagi-lagi kutarik Erna dan kupaksa dia untuk mengikutiku. Kali ini, kubawa dia ke pojok lobi tempat tong sampah non-organik.
“SAAAPIIIII”
“Ssssttt… ayolah. Kamu mau kita mati kedinginan?”
“Tapi,─”
“Gar, ayolah bantu. Kau kan laki.” Zumar mengorek saku celananya mencari ponsel dan menyalakan senter lewat ponselnya.
DEG! Tiba-tiba ada yang menyumpal paru-paruku. Aku sesak nafas. Tak disangka tak dinyana, dia punya jiwa penolong juga. Seorang Zumar yang sangat dingin dengan perempuan, ternyata mau menolong kami yang kewalahan mengorek-ngorek tong sampah.
“IYALAH. Ini juga aku lagi nyari.” Tegar menjawabnya dengan emosi.
Mereka berdua mondar-mandir keluar-masuk lobiseperti anak ayam yang digiring masuk kandang.
“Eh-Hmm, jadi gak bisa masuk?” Zumar mencoba menanyakannya dengan ragu-ragu.
Aku menoleh,”Iy-iya.” Aku juga.
“Waduh, gimana dong. Udah tengah malem juga,” mendengarnya, aku spontan meraih tangan Erna dan melirik jamnya. 22.30!!!
Wajahku pucat. Kata Erna menyadarkanku dan menepuk-nepuk pipiku,”Kamu nggak apa-apa, Ra?”
Aku hanya manggut-manggut.
Kupikir sudah lama kami berempat mencarinya. Mungkin lebih baik jika aku memutuskan untuk pulang.
“Yaudah, kami pulang aja.” Kataku menjurus pada Zumar dan Tegar.
“Tapi, tadi katanya nggak bisa masuk,” Zumar bingung.
“Yah, memang. Biar aja. Nanti kami tanggung sendiri,” lanjutku “terima kasih bantuannya.” Aku melangkah keluar lobi dan mendekat pagar BSCC. Erna masih terpaku di depan tong sampah. Menyadarinya, aku spontan melototinya mengisyaratkan agar segera mendekatiku.
Iring-iringan sorot mata Zumar dan Tegar mengantar kepulangan kami. Dengan langkah gontai dan bahu merosot, kami berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan hawa dingin yang menusuk dengan penuh harap dan cemas.
Hanya bisa berharap, tak ada omelan yang memecahkan gendang telingaku dan Erna ketika sampai di depan pintu rumah. Tak ada pukulan dari rotan yang menghujam lengan kami. Tidak juga untuk berjaga di depan sampai matahari muncul dari ufuk timur.
***
“Er,” suaraku terdengar semakin lemas di telinga Erna. Mengharuskanku mengulangnya.
“Erna, Er-Na, ERNA!!!” Erna tersentak,”HAH?” Ternyata dia sudah pergi ke alam lain.
“Aduh, Ra. Aku udah ngantuk nih. HOOAAMM…”
“Aku masih khawatir nih, kalau─”
“ERNA, SAFIRA” ada yang memanggil dari dalam rumah. Seperti suara Bu Iseu.
“Iya, Bu,” jawab kami bergetar. Jantungku berderap kencang. Habislah kami.
Kulirik Erna. Wajahnya tak kalah pias. Putih seperti kertas.
Mata kami tertuju pada pintu. Kami menoleh.
“KALIAN DI MANA?” Bu Iseu masih dengan suara lantang.
“Di luar, Bu,”
“Oh,” langkahnya mendekati pintu terdengar jelas olehku.
Cekrek, cekrek. Kunci pintu berputar. Gagang pintu juga bergerak. Pintu terbuka.
Segera saja mulut kami termonyong-monyong mengucapkan do’a. Hati kebat-kebit melihat Bu Iseu berdiri tegak di depan pintu.
“Tadi, pas bapak mau ngecek kalian sudah datang atau belum, bapak melihat kunci masih nyangkut di luar. Terus beliau ambil kuncinya dan dikuncilah pintu dari dalam. Mungkin beliau takut nanti ada yang masuk tanpa izin.” Bu Iseu mencoba menceritakan sepenggal kisah kronologi Si Kuncai, kenapa bisa tertinggal.
“OOOOAALLAAHHH…” Erna dan aku lagi-lagi kompak.
Hati kami juga ikut lega melihat keajaiban ini. Do’a kami terkabul. Tidak ada omelan, tidak pukulan, dan tidak ada perintah jaga malam. YYYEEEEE!!!
“Maaf ya, Bu. Mungkin tadi saya lupa mengambil kuncinya. Tadi saya buru-buru mengejar Safira sewaktu berangkat sholat Isya.”
“Iya, Bu. Maafkan keteledoran teman saya ini, Bu,” kataku sambil menepuk bahu Erna,”Mohon maklumi dia. Memang dia sudah menginjak usia menopause.” Tambahku mencoba mencairkan suasana.
DEG! “Iiiaaauuuwww!!!” jeritku mengagetkan Bu Iseu. “Huh-huh-huh, ERNA!!!”kakiku diinjaknya dengan kaki yang masih beralaskan sandal.
“Hush, kalian ini. Sudah, sudah. Bercandanya jangan kelewatan, ah.” Bu Iseu mengelus-elus bahuku dan merangkulku perlahan. Aku masih sibuk meniup jempol kaki yang terasa lebih besar dari sebelumnya. Setelah kubuka kaos kaki yang masih membungkusnya tadi. Benar saja, jempolku merah dan membesar. ERRRRNNNAAAAAA!!!![].
[Zahrotun Nissa, santriwati kelas 2 SMA angkatan ke-3| @nissaniza98]