Loading

The Twinnie—Rik: Idul Adha

Rik menahan diri untuk tidak mengeluh begitu melihat hasil catatannya mengenai hasil rapat DKM saat itu. Waktu bergulir cepat dan kini sudah memasuki Hari Raya Idul Adha. Sekolahnya mengadakan pemotongan hewan kurban. Dan yang menjadi panitia adalah seluruh anggota DKM yang tidak seberapa jumlahnya.

Sekitar satu jam yang lalu ketika ia sedang menikmati mengisi berlembar-lembar soal Bahasa Inggris, ada panggilan agar seluruh anggota DKM untuk berkumpul. Karena Rik sudah menjadi anggota organisasi itu, ia mau tidak mau meninggalkan soal Bahasa Inggrisnya dan pergi ke aula.

Ketua DKM, Adhan, langsung mengambil alih suasana begitu banyak anggota sudah berkumpul. Laki-laki itu berdiri di atas panggung, mengucap salam lalu mengatakan maksud dipanggilnya semua anggota. Rik yang tidak siap hanya mendengar lalu mencatat apa yang ia dengar.

Karena itulah sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa saat meniliik kembali catatannya. Namanya ditulis sebagai seksi distribusi dan dokumentasi. Kesempatannya untuk menolak sudah hilang karena ketidaksiapannya. Rik menekankan pada dirinya sendiri agar selalu tenang dan siap pada keadaan apapun.

Idul Adha jatuh pada Hari Jumat dilanjut hari tasyrik sampai Hari Senin. Pemotongan kurban dilakukan pada Hari Sabtu. Hari yang dijadwalkan sebagai waktu belajarnya karena jam pulang sekolah tidak sampai jam dua belas siang. Ia bisa bersantai di perpusatakaan sambil mengerjakan tiga sampai lima paket soal latihan UN.

Mau tidak mau Rik menggeser waktu belajarnya. Ditunjuk sebagai panitia berarti dia sudah diberi amanah dan kepercayaan. Dia harus bertanggung jawab atas amanah itu siap atau tidak siap, mau atau tidak mau. Jadi Rik menggeser waktu belajarnya ke Hari Minggu pagi, sementara Minggu sore untuk mendalami materi pelajarannya.

Rik kembali ke kelas. Dari kejauhan dilihatnya adik kembarnya, Nia, sedang duduk di kursi di depan kelas 9-a. Rik mendesah melihat Nia sedang sibuk memainkan hapenya bersama teman-temannya. Tidak lama mereka tertawa kencang bersama padahal tidak ada percakapan sama sekali.

Merasa tidak penting memperhatikan Nia, Rik buru-buru masuk ke kelasnya. Tapi dia merasa lepas dari kandang singa masuk ke mulut buaya. Lihat saja sekarang, Az, tiba-tiba menghadangnya dengan cengiran jail yang membuat Rik menahan umpatan ‘minggir’ dalam hati.

“Lu jadi panitia kurban?”

Pertanyaan Az jelas tidak penting, jadi Rik melanjutkan langkahnya melewati Az. Lalu duduk di kursinya. Dia baru saja meletakkan lembar soal Bahasa Inggris di atas meja saat menyadari tidak ada guru di kelas. Padahal seharusnya sekarang Pak Norto menjelaskan di depan kelas.

“Rapat guru, kalo lu penasaran kenapa Pak Norto gak masuk kelas,” Az menjawab pertanyaan Rik yang tidak pernah tersampaikan.

Mengabaikan Az yang kini berdiri di depan mejanya, Rik melanjutkan menjawab soal Bahasa Inggris.

Hari Sabtu cepat datangnya ketika Rik tidak mengharapkannya. Ada enam kambing yang kini terikat di pohon-pohon di taman sekolahnya yang dikelilingi gedung sekolah. Jadi dimanapun dia berada, kambing-kambing itu memasuki pandangan matanya. Tidak lama seekor sapi ditarik masuk dan diikat ke pohon.

Rik memotret satu persatu hewan kurban, juga pisau yang akan digunakan untuk memotong. Dan semuanya berlangsung begitu cepat saat satu-satnya sapi di sana ditarik oleh enam orang, dipaksa dijatuhkan ke tanah. Ada yang memegangi kaki depan dan belakang, bahkan menduduki badannya. Pak Tono, guru agama di sekolahnya mengasah pisau untuk kemudian mengarahkan mata pisaunya ke tiga saluran napas sapi itu.

Rik bukan tipe orang yang takut pada darah. Tapi dia memandang ngeri saat pisau mengiris kulit sapi, dan terus memotong hingga darah mengalir deras seperti air terjun dari luka yang ditimbulkan. Tidak lupa dia memotret momen itu dengan hapenya,

Begitu sapi tidak bergerak sama sekali, Pak Tono memotong kepala sapi dan beberapa orang menarik tubuh sapi itu ke arah terpal berwarna biru yang sudah digelar tidak jauh. Sementara itu Rik melihat Pak Tono sudah bersiap dengan pisaunya untuk memotong seekor kambing yang entah bagaimana sudah dibaringkan dengan leher berada di atas sebatang pelepah pisang yang sudah terlumuri darah sapi.

Semuanya sangat di luar dugaan Rik. Karena sesi pemotongan berlangsung begitu cepat tanpa ada amukan dari hewan kurban. Proses pengulitan dan pembagian daging yang memakan waktu cukup lama. Belum lagi bau dari daging kambing menguar memenuhi seisi sekolah. Baik Rik dan banyak murid mengeluhkannya. Dalam hati ia berdoa, semoga Senin depan tidak ada bau kambing yang tersisa.

Sekitar pukul satu siang, Rik berganti dari mendokumentasikan jadi mendistribusikan. Ia bersama beberapa anggota DKM membawa banyak plastik berisi hewan kurban dan membagikannya ke rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar.

Ketika dia kembali dari mendistribusikan daging kurban, bau harum sate tercium indranya. Meski merasa capek setelah berkeliling untuk mendistribusikan, tapi semua terbayar. Sate ketiga ada di tangannya dan sedang ia nikmati sekarang.

 

willyaaziza [ZMardha]

santri Pesantren Media kelas 2 SMA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *