Loading

images

Harapan. Ia ada di setiap relung hati manusia yang terdalam. Mengalun dalam segenap gerak, berhembus dalam setiap helai napas. Begitu ia padam, maka sebenarnya, di sanalah akhir dari semua cerita.

Dari sekian banyak harapan, marilah kita kumpulkan terlebih dahulu beberapa harapan yang mungkin terpendam dalam hati manusia; ingin sekolah, lulus ujian, mampu mencari nafkah, menikah, punya anak soleh dan solehah, masa tua yang terjamin, mendapat ridho Allah, masuk surga, dan masih banyak lagi.

Karena harapanlah, manusia bisa melampaui situasi yang sulit dan menyebalkan. Juga karena harapanlah, manusia bisa bertahan tinggal di sebuah tempat dengan kondisi yang jauh dari layak dan membuat tertekan. Berapa banyak kita jumpai orang-orang miskin, kekurangan pangan, papan, atau bahkan sandang. Mereka hidup serba kekurangan, bukan? Tapi mereka tetap bisa bertahan di tengah keterbatasan itu. Semua itu terjadi karena sebenarnya masih ada secercah harapan di hati mereka. Harapan akan hari esok yang lebih baik.

Juga adakah manusia di dunia ini yang tidak pernah merasakan pahitnnya kegagalan? Jawabannya tentu tidak ada. Setiap orang tentu pernah merasakan kegagalan. Entah kegagalan kecil maupun kegagalan besar. Tak sedikit yang terpuruk, hancur lebur di tengah keputusasaannya. Namun ada juga yang bangkit, mengejar kembali harapan-harapan baru yang kembali dirangkainya.

Kita lihat misalnya dalam sebuah dunia fiksi, dalam novel Laskar Pelangi. Bagi seorang Lintang, kemiskinan ternyata tak mampu menghalangi langkahnya menempuh puluhan kilometer pulang pergi naik sepeda ontel hanya untuk mendapatkan sebuah pendidikan. Tak peduli meski harus berhadapan dengan buaya yang melintang di tengah jalan. Buncah harapan itu ternyata bisa mengalahkan semua rintang.

Juga dalam dunia nyata. Marilah sejenak kita mundur ke masa berabad-abad lamanya. Sebuah jaman di mana belum ada mobil atau motor untuk berpergian. Hanya unta atau kuda yang menjadi pengantar setia perjalanan jauh. Sebuah masa di kala berhala-berhala dipuja. Sebuah masa di kala bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kala itulah muncul seorang manusia mulia, Rasulullah Muhammad saw.

Rasulullah saw dan kebanyakan sahabatnya hidup dalam keterbatasan materi. Tak sedikit di antara sahabat yang bahkan mengganjal perutnya dengan batu, untuk menahan lapar. Rumah mereka, apalagi rumah junjungan kita Rasulullah saw, bukanlah rumah mewah bertaburkan permadani indah dan perabot rumah yang mahal dan enak dipandang. Namun lebih pada rumah sangat sederhana yang jauh sekali dari model rumah para pemimpin saat ini yang serba wah dan tak jarang harganya bisa mencapai milyaran rupiah.

Namun, harapan ternyata mampu mengalahkan semua keterbatasan itu. Harapan besar agar Islam tersebar seluas-luasnya, dikenal oleh sebanyak-banyaknya manusia, menjadi semacam way of life bagi seluruh manusia di muka bumi tanpa terkecuali. Juga harapan besar agar umat manusia terbebas dari penyembahan kepada selain Allah swt.

Hasilnya? Kita bisa lihat sekarang. Berabad-abad lamanya setelah Rasulullah Muhammad saw dan para sahabat meninggal, Islam masih bersinar di muka bumi ini. Hingga rasa-rasanya, tak akan ada satu pun manusia di Bumi ini yang tidak pernah mendengar kata ‘Islam’ itu sendiri.

Tidak bisa dibayangkan seandainya harapan Rasulullah saw dan para sahabat dulu padam. Hilang oleh segala keterbatasan hidup dan tekanan dari orang-orang kafir saat itu, maka musibah besar umat manusia pastilah akan menimpa. Manusia mungkin tidak akan pernah mengenal apa itu Islam. Jangankan mengenal, mengenal kata ‘Islam’ saja mungkin tidak.

Oleh karenanya, ketika harapan telah padam, maka sebenarnya, di sanalah akhir dari semua cerita. Karena sebenarnya, bukan jantung semata yang berperan membuat seseorang tetap gagah menjalani hidupnya. Karena jika harapan telah padam, seseorang bahkan bisa memutuskan menikam jantungnya sendiri.

[Farid Abdurrahman, santri jenjang SMA, Pesantren Media]

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *