Wush..
Desir angin malam terdengar mengerikan. Hawa dingin mencekam memenuhi ruangan. Angin menerbangkan tirai, menyibak dan menariknya bagaikan rambut panjang yang berayun. Bayangan ranting pohon layaknya sebuah tangan yang hendak mencengkeram, menggapai-gapai dalam kegelapan. Perasaanku tak enak saat berada di ruangan itu. Ada bau anyir yang begitu kuat, menusuk hidungku. Ruangan itu begitu mengerikan dengan cahaya temaramnya yang berwarna merah. Aku menyusuri setiap sudut ruangan. Sepertinya di sini terjadi pembantaian besar-besaran.Bercak-bercak yang kuduga adalah darah menempel di dinding, dan terdapat genangan air berwarna merah yang kental di lantai. Aku bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi. Entah bagaimana aku bisa berada di sana. Saat aku terbangun, aku berada di sudut ruangan menggenggam buku catatan yang bernoda darah.
Krieet..
Bunyi suara pintu di buka, sesosok badan kekar dan tinggi masuk ke dalam ruangan itu, dengan langkah seribu aku bersembunyi. Siapa dia? Batinku bertanya. Aku mengintip dari celah tempatku ebersembunyi. Terlihat dia memegang kapak besar yang berlumur darah. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada beberapa tumpukan… mayat? Teriakku dalam hati. Wajahnya berseringai, mulutnya seperti terbelah dari kuping ke kuping. Ia mulai mengayunkan kapaknya dengan ringan. Memotong jasad-jasad korbannya, bagai mencincang daging ayam.
***
Tok,tok,tok !
“Non Rheva, bangun,Non! Udah jam 7,Non! Nanti terlambat ke sekolah.” teriak Bi Inah membangunkanku dari depan pintu kamar. Tak ada jawaban.
Cekrek
Pintu terbuka, terlihat Bi Inah kaget lalu tersenyum melihatku yang sudah berpakaian rapi.
“Aku udah bangun dari tadi, Bi Inah sayang.” Ujarku sambil tersenyum.
“Bi, sarapannya di bungkus aja ya? Takut telat nih.” Kataku saat turun menuju dapur.
“Yah.. Non makan aja dulu, udah disiapin di piring. Nggak bakalan telat kok, sebentar aja.” Jawab Bi Inah.
Phuft..
“Iya deh Bi.” Jawabku lemah, karena tak bisa membantah orang yang kusayang.
Bi Inah adalah pengasuhku sejak aku masih bayi dan juga yang merawat rumah serta memasak. Mamaku sudah meninggal, aku tak dapat mengingat penyebabnya atau bagaimana mama meninggal. Yang kutahu mama meninggal saat aku berusia 3 tahun. Jadi di rumah ini hanya ada Aku dan Bi Inah, serta satpam namanya Pak Joko dan seorang supir bernama Pak Yono. Papaku jarang pulang, karena urusan bisnis yang mengharuskannya meninggalkan negara tempat ia tinggal. Sebenarnya aku mempunyai seorang kakak laki-laki, entahlah dia di mana sekarang, dia jarang pulang. Dia hanya pulang jika membutuhkan sesuatu. Begitulah suasana di rumahku. Aku tidak bersedih, karena aku masih mempunyai Bi Inah dan beberapa sahabat.
***
Aku mulai bosan dengan kehidupanku, damai dan datar-datar saja. Aku ingin kehidupan penuh drama dan tantangan. Banyak lika-liku dalam kehidupan. Pasti menyenangkan. Aku mulai mengajak teman-temanku untuk hidup dengan penuh tantangan. Mereka menerimanya. Aku, Maria, Jhonathan, Jessica, Sam, dan Alex mulai melakukan penyimpangan-penyimpangan kecil.
Mereka memulai dari tidak datang kerohanian setiap hari minggu ke gereja.Kalau aku sudah dari dulu tidak datang. Selain dulu tidak ada yang menemani, Aku juga tidak percaya dengan adanya Tuhan. Memang sih secara identitas aku dan keluargaku beragama Katolik, tapi kami tidak pernah beribadah. Jadi sama aja kan dengan tidak percaya tuhan. Lagi pulatidak terjadi apa-apa walau kami tidak pernah beribadah. Kami mulai membolos pelajaran,lebih banyak nongkrong di kantin. Ngebully anak-anak lemah alias cupu.
Masa-masa itu begitu menyenangkan. Kembali rasa kebosanan dan muak menghantuiku. Aku tak tau apa yang salah denganku.Padahal ini sudah menyenangkan, pikirku. Hingga suatu hari ada seorang murid baru, dia anak yang pintar. Terbukti dari beasiswa yang di dapatkannya secara penuh selama 3 tahun. Anaknya manis tapi lumayan cupu. Kami mulai mengganggunya. Dia tak bereaksi seperti anak-anak yang lain, ia hanya diam dan memandang sinis kearah kami. Saat mataku dan matanya beradu ia terlihat sendu.
Aku bingung kenapa dia dapat berekspresi seperti itu padaku. Karena penasaran, aku menyelidikinya. Namanya Sarah Ayu Nandita, seorang yang beragama Islam. Dia menjadi seorang guru bagi anak-anak jalanan dan anak-anak panti asuhan. Setiap pulang dari kampus ia menjajakan kue-kue ke warung, dan sorenya menjadi guru yang mengajarkan Islam di sebuah mesjid dekat rumahnya. Anaknya baik, ramah dan sopan. Walau sudah menyelidikinya, tetap saja aku tak dapat mengerti.Maksud ekspresinya kala itu.
Teman-temanku masih senang ngebully, tetapi lain denganku.Aku mulai merasa bosan. Jadi aku hanya melihat mereka dari tempat duduk yang cukup dekat di sekitar sana. Saat aku termenung, dan tidak lagi memperhatikan teman-temanku.Aku mendapati mereka telah menghilang.Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Berharap dapat menemukan teman-temanku. Aku melihat Sarah! Tanpa sadar aku mengejarnya. Saat aku berada di sana, aku melihat Sarah yang tidak berdaya. Dia terbaring di tanah tertindih sesosok pria yang ku tahu adalah Jhonathan. Baju gamis Sarah yang longgar sedikit terkoyak.
“Jhonathan! Hentikan ini!” Teriakku dengan sedikit bergetar menahan amarah. Mendengar hal itu ia berbalik.
“Rheva? Kenapa?! Aku hanya ingin memberinya sedikit pelajaran!” Ucap Jhonathan membalasku. “Pergi dari Sarah sekarang juga!” Ucapku dengan emosi yang tak dapat kutahan lagi. Jhonathan tersentak, lalu menyingkir dari Sarah. Aku membantu Sarah berdiri, saat aku menarik badannya dia berbisik padaku “Terima kasih Rheva. Aku tau kamu baik seperti Mamamu. Semoga kamu tidak terjatuh kelubang kegelapan seperti Ayahmu. Aku mengharapkan yang terbaik untukmu.” Setelah itu dia pergi sambil memperbaiki bajunya. Aku tertegun sejenak mencerna perkataan Sarah. Apa maksudnya? Batinku kembali bertanya.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu Sarah tidak terlihat. Perasaan bersalah menghampiriku bersamaan dengan rasa penasaranku, tapi aku menepisnya jauh. Setelah kepergian Sarah, ada murid pindahan. Namanya Mona,anaknya supel. Kami mulai berteman dengannya. Dia pintar membawa diri, karena itu kami menyukainya. Lama kelamaan aku mulai mengetahui sifat aslinya, dia benar-benar seorang yang menyebalkan. Memberikan satu kebenaran mencolok diantara sejuta kebohongan. Mulutnya sangat berbisa. Awalnya aku biasa saja menanggapinya hingga kejadian itu terjadi.
Saat itu aku pulang sendiri, tidak dijemput supir seperti biasanya. Aku terlambat pulang kerumah karena harus menyelesaikan skripsi. Tiba-tiba saja sebuah mobil melaju dengan kenjang dan menyerempet badan mobil yang kukendarai. Sontak aku kaget, aku membanting setir kearah berlawanan. Hal itu menyebabkan mobilku oleng dan menabrak sebuah pohon. Beruntung, tingkat keamanan mobilku yang tinggi, aku dapat keluar dari mobil dengan selamat. Beberapa detik setelah aku keluar dari mobil, beberapa pria mengepungku. Aku berontak saat mereka semakin mendekatiku, tapi usaha itu terpatahkan. Tenaga mereka lebih kuat dari tenagaku. Mereka menyeret tubuhku masuk kedalam mobilnya yang tak jauh dari tempatku kala itu.
*Bersambung*
[Ela Fajarwati Putri, Santriwati Pesantren Media angkatan ke-3, kelas 2 jenjang SMA]