Jarwo dan Naomi memulai awal yang baru sebagai sepasang suami istri. Kehidupan rumah tangga mereka yang baru terbangun itu tentu saja masih ranum. Keadaan ekonominya juga tidak terlalu baik dan juga tidak stabil. Wajar saja, Jarwo adalah seorang pawang hujan dan naomi bekerja sebagai penjahit di rumah.
Hari-hari yang Naomi bersama Jarwo dihiasi oleh keserhanaan dan penuh dengan senyuman. Juga intimnya bahasa-bahasa non verbal yang indah di kehidupan mereka. Mereka bernaung sebuah rumah yang sangat sederhana di pinggir desa. Pemandangan hijau terhampar luas di sana.
Pagi ini terlihat cerah, awan mendung tak menampakkan diri. Angin sejuk semilir menerpa. Naomi memutuskan untuk menyiram bunganya, sedangkan jarwo akan memandikan hewan peliharaannya matahari hangat pagi itu. Burung perkutut. Naomi membawa seember air, lalu menyiramkannya sedikit demi sedikit. Asik menyiram bunga, tiba-tiba saja Naomi merasa perutnya melilit. Ia pun kembali ke dalam rumah. Jarwo hanya memandang Naomi yang masuk ke dalam rumah. Tak lama setelah Naomi masuk Jarwopun memutuskan untuk masuk kedalam rumah. Meninggalkan burung peliharaan di teras rumah.
Di dalam rumah, Jarwo memutuskan menekuni hobinya yang lain. Jarwo tertarik untuk menghitung volume batu dengan rumus matematikanya. Seperti hobi filateli lainnya. Baginya filsuf tentang hidup tak lepas dari ilmu matematika dan ajaran kejawen.
Jarwo masih menekuni menghitung volum batu di mejanya, terdengar suara ember terbanting dengan keras di belakang. Naomi datang dari arah belakang wajah sebal terlihat jelas di wajah cantik Naomi. Setelah memandang Jarwo sebentar Naomi beranjak meninggalkannya dan menuju mesin jahitnya.
Pada umumnya aib wanita jepang adalah menikahi pria asing, apalagi dengan kondisi Jarwo yang seperti sekarang. Bukan sebuah masalah, beban ataupun sebuah aib bagi Naomi menikahi Jarwo. Naomi tidak pernah, tidak akan pernah mengeluh. Bagi Naomi tatapan hangat suaminya dapat melunturkan segala bentuk masalah yang ada di dunia.
Jarwo mendekati Naomi.
“Ada apa?” Jarwo mengucapkan kalimat itu dengan bahasa jawa yang kental.
“Masalah itu lagi?” tanya Jarwo melihat ke belakang.
Dengan sebal Naomi menjawab Jarwo mengguna bahasa jepang yang masih fasih.
“Aku tidak pernah menganggap ini sebuah masalah, dan aku juga tidak pernah menuntut.”
Jarwo menghembuskan nafas danmenjawab “ Bukannnya aku tidak mau mengalah. Tapi, Kamu kan mengerti..”.
“Aku tau kamu tidak pernah merasa puas.” Ucapnya lagi.
Naomi menyangkal ucapan Jarwo dengan cepat.
“ Ini bukanlah soal rasa puas atau tidak, tapi ini soal kenyamanan!”
“Kulo nuon (permisi)” terdengar seseorang dari arah depan.
“monggo (silahkan)” jarwo mempersilahkan masuk.
Tamu itu memperkenalkan dirinya sebagai Broto. Yah, seperti tamu kebayakan Broto datang untuk memberikan pekerjaan pada Jarwo. Ia menjelaskan akan mengadakan sebuah acara. Jarwo mengerti, ia menyangggupinya. Sebelum pamit pulang Broto memberikan uang muka dan sebungkus rokok pada Jarwo. Jarwo menolak menerima uangnya tapi ia menerima rokoknya. Melihat hal itu, Naomi tersenyum sambil membuat burung bangau kertas. Kembali Broto mengingatkan hari yang telah mereka sepakati, selasa pahing.
Broto sudah tak terjangkau lagi oleh pandangan mata, Jarwo memutuskan untuk beranjak dari tempat ia duduk. Ia menuju mejanya, di sana ia memberi makan ikan peliharaannya.
Maryuti dan kekasihnya Ningrum datang berkunjung.
Mendengar suara dari arah depan rumah, jarwo berhenti sejenak dari kegiatannya memberi makan ikan. Ia menuju teras rumah, di mana suara itu berasal. Belum sampai ia di ambang pintu, Naomi telah menyambut kedatangan tamu itu terlebih dahulu. Tamu itu tak lain adalah Maryuti, mbaknya Jarwo dan Ningrum. Ningrum di ajak masuk oleh Naomi menuju ruang kerja Naomi.
Jarwo menyambut mbaknya dan duduk bersama di kursi yang berada di teras rumah. Maryuti memulai pembicaraan dengan berbasa-basi menanyakan kabar adiknya Jarwo. Maryuti juga mengatakan bahwa ia sudah lama tak berkunjung menemui Jarwo. Jarwo menjawabnya dengan malas. Seperti biasa Maryuti selalu membicarakan pekerjaan Jarwo dan keadaan rumah tangga Jarwo dan Naomi.
Di ruang kerja Naomi, terlihat Naomi yang sedang sibuk mengukur badan Ningrum untuk membuat baju. Naomi melihat Jarwo dari jendelanya yang menghadap ke teras. Jarwo sedang dinasehati oleh Maryuti, Naomi pun membatin Aku selalu mengerti tatapan kosong itu. Apalagi saat Maryuti komat-kamit membicarakan rumah tanggaku dan Jarwo, jelas ia sangat tidak suka. Aku tau ia pasti berkata dalam hati “Hei! Lihat dirimu gendut, doktrinmu murahan”.
Hari berganti hari, hari kemarin telah berlalu. Pagi ini Jarwo termenung saat sedang mencari kayu bakar. Ia sedang memikirkan sesuatu, Jarwo menghela nafas dan beranjak dari tempatnya kala itu. Jarwo menuju sebuah sungai. Di sana ia mengambil sebuah batu, lalu ia melihat keadaan sekitar. Batu pilihannya itu ia simpan di balik kain yang melekat di pinggangnya. Setelah itu ia beranjak pulang.
Di rumah, Naomi tampak sedang menggeluti pekerjaannya menjahit. Datanglah sebuah mobil melintas di depan jalanan rumah Jarwo dan naomi. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah mereka. Sopir mobil itu turun dan segera membuka pintu untuk seseorang di dalam mobil itu. Keluarlah dari mobil itu seorang pria berkebangsaan asing. Ia adalah Hatashi Takeda, teman sekaligus saudara Naomi salah satunya yang berada di Indonesia. 5 tahun lalu Green peace jepang mendelegasikan Naomi dan Takeda ke Indonesia. Mereka menjadi sukarelawan bencana alam, dan akhirnya menetap di Indonesia.
Takeda telah sampai di ambang pintu rumah Naomi dan Jarwo. Ia memanggil Naomi. Naomi melihat siapa yang memanggilnya melalui jendela yang berada di ruang kerjanya. Jendela itu mengarah ke teras rumah. Jadi ia bisa melihat siapa saja dari sana. Melihat takeda yang berkunjung betapa senang hati Naomi. Naomi segera beranjak dari pekerjaannya dan menyambut takeda. Ia mempersilahkan Takeda masuk menuju ruang tamu. Jarwo baru pulang dari mencari kayu bakar. Saat Takeda datang berkunjung.
Walau sudah cukup lama berada di Indonesia, tetapi Naomi tidak melupakan tradisinya dalam menyajikan teh kepada tamunya. Naomi cukup mahir melakukannya. Setelah selesai membuat teh, Naomi memberikannya kepada Takeda. Teh itu di sambut Takeda dengan senang hati. Jarwo yang mendengar suara, mengintip dari celah rumahnya melihat keadaan di sana. Terlihat Naomi dan Takeda sedang bercengkrama dengan tradisi minum teh di negara asal mereka, negeri sakura yaitu Jepang.
Tanpa membuang-buang waktu Takeda menyampaikan maksud kedatangannya. Takeda mengatakan ingin pulang ke Jepang dan ia hendak mengajak Maomi ikut pergi bersamanya. Naomi yang sedang asik dengan teh nya tidak menggubris ajakan Takeda. Takeda belum menyerah ia lalu membandingkan kehidupan mereka di Jepang dengan kehidupan Naomi sekarang yang bersama Jarwo di Indonesia.
Naomi terdiam lalu tersenyum getir, lalu berkata dengan tegasnya “Untuk apa kamu kesini jika kamu sudah tau jawabanku, Takeda?”.
Takeda belum juga menyerah, lalu ia menjawab perkataan Naomi “ kamu tidak rindu kampung halamanmu?”, Naomi menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Takeda tetap bersikeras mengajak Naomi, lalu terdengar suara sesuatu terbanting dari arah belakang. Naomi dengan cepat melihat ke belakang sana. Melihat hal itu takeda mengerti, Naomipun tersenyum. Takeda mengatakan ia tak akan memaksakan Naomi lagi, ia memang selalu memiliki prinsip yang kuat. Takeda mengatakan jika Naomi berubah pikiran jangan segan-segan menghubunginya sebelum ia berangkat. Setelah mengatakan itu Takeda pamit pulang.
Di belakang sana Jarwo sedang mengekspresikan kecemburuannya. Naomi tersenyum melihat Jarwo dan memanggil suaminya. Suaminya, Jarwo tidak mengindaahkan panggilan istrinya, ia malah melanjutkan mengeksperikan kecemburuannya. Hal itu membuat dada Naomi terasa sesak, tak terasa bulir air mata telah menghias pipi Naomi. Naomi marah, ia meninggalkan suaminya di belakang dan masuk ke dalam rumah.
Cuaca di luar rumah tidak bersahabat, awan mendung telah memenuhi langit dan menyembunyikan senyum hangat sang mentari. Suara gemuruh petir terdengar keras dan bersatu padu dengan suara air hujan yang mulai turun membasahi bumi. Angin kencang juga menghiasi hujan yang turun.
Jarwo masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya, Naomi. Naomi dikelilingi burung kertas bangau. Jarwo mwngambil salah satu burung kertas itu dan beranjak menuju tempat Naomi berada. Naomi juga mengekspresikan kemarahannya, kekesalannya pada Jarwo. Jarwo yang melihat itu melakukan hal yang sama bersama Naomi. Mereka mengekspresikan kemarahannya dalam tarian-tarian.
Setelah puas menggambarkan kekesalan, dan telah sama-sam tenang mereka berbaikan kembali. Cuaca di luar rumah juga telah kembali tenang dan hujan telah berhenti. Malam datang, Naomi segera menutup semua pintu rumah. Jarwo berkutat dengan pekerjaannya sebagai pawang hujan, terdengar suara gebrakan pintu. Jarwo berhenti sebentar lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Keesokan paginya matahari sedang tersenyum hangat, berbagai aktifitas kembali berjalan tanpa kendala lagi. Naomi mengantarkan suaminya ke depan rumah, suaminya akan berangkat untuk memenuhi pekerjaannya.
Naomi tidak pernah menyesal bertemu dan hidup bersama jarwo. Bagi Naomi, Jarwo adalah teru-teru bozunya yang mampu melindungi dan mencerahkan setiap hatinya yang mendung.
Jarwo pamit bekerja kepada Naomi, ia mengecup kening naomi dengan mesra sebelum berangkat. Jarwo membawa boneka teru-teru bozu buatan Naomi bersamanya. Sebelum meninggalkan rumahnya, ia melihat suasana sekitar rumahnya. Ia melihat ke sebuah pohon di depan rumahya, di sana ia melihat sepasang boneka teru-teru bozu buatan istrinya terpajang, melihat itu Jarwo tersenyum.
Naomi sedang sibuk dengan cuciannya siang itu, tiba-tiba saja ada sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Tukang itu lalu menghampiri naomi, dan memanggilnya. Mendengar namanya di panggil ia menghampiri sang tukang. Tukang itu lalu memberika sebuah titipan kepada naomi.
Sebuah surat dan batu yang terikat dengan pita. Segera naomi membuka surat itu dan membacanya. Ternyata surat itu dari suaminya, ajarwo begitu pula dengan batu yang terikat oleh pita itu. Naomi tersenyum lalu memandang ke sesuatu yang di bawa oleh sang tukang di motornya. Keinginan naomi akhirnya terwujud, Jarwo mengabulkannya. Sebuah wc untuk di rumah mereka.
-selesai-
[Ela Fajarwati Putri, santriwati kelas 2SMA angkatan ke-3]