ANGIN malam berhembus, menembus celah pintu kamar. Membangunkanku yang terlelap. Nyenyak. Nyenyak… sekali. Kuabaikan segala penat yang bergelantungan di pikiranku. Kucampakkan kertas-kertas yang berserakan di atas lantai coklat dengan bercak oranye yang mulai kusam. Sepertinya lantai-lantai itu merindukan belaian kain pel, lengkap dengan cairan aroma teraphy dengan sentuhan green tea yang kutuang ke dalam ember berisi air.
“Hhmm… hah,” Kutarik nafas panjang. Kemudian kulepas begitu saja. Setelah terpaksa menyelesaikan proposal agar dosen chiller, alias Pak Darmo berhenti mengoceh setelah sekian lama menanti tumpukan artikel yang kubuat lengkap dengan opini-opini yang beliau minta. Padahal, ujung-ujungnya semua itu tak dibaca. Digeletakkan begitu saja di meja yang mematung di sudut kelas. Tiba waktunya, ketika ada ide baru untuk memerintah mahasiswanya, barulah beliau menyentuhnya dan hanya menyoretkan paraf yang tak karuan bentuknya di kolom paraf.
Tik.
Arloji hitam yang masih melekat di tangan berbunyi. Kebiasaanku ini susah untuk dijelaskan. Mungkin banyak temanku bertanya “Rajin banget, tidur aja pake jam. Emang pas tidur bisa liat jam apa?” Entahlah.
Tapi ada satu keuntungan dibalik itu. Aku tak perlu repot-repot bangun dan duduk untuk melihat jam dinding, yang terpasang di dinding atas, belakang dipanku.
Jarum panjang bertengger di angka 12. Sedang jarum pendek di angka 5. Itu artinya…
“Astaghfirullah… aku kesiangan. Belum sholat tahajud,” Kening yang tak bersalah jadi korban tepukan tanganku. Selain kebiasaan. Sholat tahajud sudah menjadi kewajiban bagiku. Rasanya ada saja yang kurang ketika kulewatkan waktu-waktu yang pas untuk berkhalwat dengan-Nya. Di mana aku bisa mencurahkan segala keluh-kesah, gundah-gulana yang menyergap hatiku.
Usia yang tak lagi dibilang ABG, juga belum dibilang ibu-ibu. Menjadi saat-saat hati ini membutuhkan sosok yang tepat untuk dijadikan penjaga hati. Kadang muncul benih-benih bunga cinta. Mereka hanyut ke sebuah kebun dan tertanam di sana. Tak seharusnya kubiarkan bersemi dan terus tumbuh. Namun beribu kali kucoba mencabutnya, seolah beribu kali juga kebun itu menahanya. Aku tak tahu siapa pemilik kebun itu. Kenapa juga kebun hati itu membiarkan benih bunga cintaku bersemayam di sana. “Apa pemiliknya ingin menjaganya? Merawatnya hingga tumbuh besar?”
oo0oo
“Bismillah…” Kuawali hari ini dengan menyebut asmaNya.
Hari Minggu. Hari libur mungkin. Tapi, bagiku tidak. Bahkan hari ini adalah hari paling sibuk. Kenapa? Dari pagi, aku harus mengantarkan pesanan susu kedelai dari pabrik Mba Reni ke warung-warung kelontong. Lanjut mengambil kulakan kain untuk Hijab Syar’I Shop. Lalu sehabis dzuhur, ada kajian bersama Bu Irni. Barulah, ba’da Ashar aku bisa temu-kangen dengan kasur tercinta. Itulah kehidupan yang aku pilih.
Bremm…
Si Hitam, Honda Spacy yang setia menemaniku ke manapun sudah siap berkeliling kota hari ini.
“Kau siap?” Ucapku sambil mengelus lampu depan scooter matic ini.
“Let’s go… Bismillah”
Angin mengantar kami sampai ke pabrik Mba Reni. Jaraknya memang tak jauh. Tapi, setiap kali aku ke sana, ada saja macet di sana-sini. Entah itu ulah bocah-bocah pengamen yang berkeliaran di lampu merah. Menyetop angkot ini dan itu. Belum lagi para pengemis yang wajahnya sok-sok memelas, seperti tanpa dosa menyodorkan tangannya pada pengendara, baik itu roda dua atau roda empat.
“Heum, udah mana panas. Tambah lagi orang-orang kurang kerjaan ini. Huft…” Keluhku lirih melirik sana-sini, orang-orang yang berkeliaran di jalanan.
Terik bola api di langit, memantul ke kaca helmku. Untungnya, kaca helm ini hitam. Walaupun panas, tapi setidaknya mataku terhalangi silaunya.
Setelah melewati berbagai macam cobaan di jalan. Sampailah di depan pabrik Mba Reni.
Tak terlalu besar memang. Hanya seukuran rumah biasa. Dilengkapi sebuah garasi untuk 2 mobil Avanza perak dan Pajero Sport hitam, yang sedang menghilang dari atap garasi “Mungkin dipakai Rendi satu dan satunya Pak Rahmad” Gumamku. Dan halaman yang luasnya 3 kali luas garasi.
“Eh, Dek Rini. Sudah datang?” Sapa Mbak Reni lengkap dengan sebersit senyum merah merona karena gincu.
“Assalamu’alaikum, Mba,” Senyumku mengembang. “Afwan, agak telat. Soalnya tadi di lantas macetnya panjang.” Tambahku.
“Iya, rapopo. Yowes, rene. Hari ini 4 kardus ya. Bolak-balik ndak papa, toh?”
“Nggak, Mbak.”
“Ya sudah, ayo masuk. Masuk.” Tanganku ditariknya pelan.
Aku berjalan masuk melewati ruang tamu dan lorong menuju ruang tengah. Hampir semua ruangan, kecuali kamar tidur dan kamar mandi, berjejer kardus-kardus susu kedelai. Mulai dari yang bubuk, sampai yang siap minum sudah rapi ditata dalam kardus. Aroma wangi kacang kedelai yang kuat, berkali-kali kuhirup dan mengantarku sampai ke ruang tengah.
Tiba-tiba, Plak. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Bahuku seolah hendak melompat karena kaget.
“Eh, baru dateng,” Sepertinya suara itu tak asing bagiku. Tanpa basa-basi, kubalikkan badan.
“Owalah, kamu toh. Iya, tadi macet di deket Pasar Minggu,” Jelasku padanya.
“Heum, itu mah biasa. Makanya, datengnya dipagiin, dong. Biar ngga kejebak macet,” Balasnya seolah menyindirku.
“Itu dia, tadi aku khilaf, haha” Tawaku kecil mengiringi perbincangan kami. “Apasih, maksudnya aku kesiangan. Selesai iqomat baru bangun,” Lanjutku.
“Ya Rabb,” Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia teman sekaligus anak bosku, Mba Reni. Namanya Rianty. Dia anak bungsu dari 2 bersaudara. Ada keunikan ternyata dibalik pertemanan kami. Keluarga Rianty dan keluargaku sama-sama memiliki nama panggilan dengan inisial “R”. Apa mungkin, ada kecocokan di antara keluarga kami?
oo0oo
“Rin, Asik ngobrol, jadi lupa mau nganter susu,” terdengar suara wanita paruh baya menegurku.
“Ehh, astaghfirullah. Maaf, Mba. Iya nih, lama ngga liat Rianty di kampus. Jadi, temu-kangen ceritanya,” Jawabku sambil garuk-garuk kepala.
“Ya sudah, bisa dilanjut nanti. Antarkan ini dulu nanti pelanggan pada ngamuk” Sambil menunjuk tumpukan kardus susu kedelai.
Segera kuangkat kardus itu. Belum sampai tanganku meraihnya, tiba-tiba ada orang yang mengangkatkannya sampai ke motorku. Tanpa kata. Tanpa suara. Kulihat dari belakang, dia seorang laki-laki berperawakan tinggi, kekar. Rambutnya disisir rapi. Setelan ala-ala orang kantoran, lengkap dengan sabuk hitam di pinggang dan sepatu hitam mengkilat terpasang di kakinya. Tak sengaja tercium bau harum parfume. Mungkin, itu parfume yang dipakainya.
“Silahkan,” Gayanya seperti memberi hormat pada Tuan Putri yang akan naik kereta labu. Menunduk. Dan…
“Kak Rendi,” Terkejut. Kupandang wajahnya. Kulihat bola matanya yang bulat dan hitam. Seolah menyemai pupuk ke benih cinta yang kutanam di kebun. Entah apa yang terjadi saat itu. Seolah waktu berhenti. Semilir angin menghanyutkanku.
“Rin, Rini…” Rendi melambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku tersadar, “Astaghfirullah…” Kutampar pipiku pelan. Kukedipkan mataku beberapa kali agar pandanganku biasa lagi.
“Ohh. Ahh, syukron sebelumnya udah dibawain,”
“Iya, santai aja. Lagian ngga enak aja liat perempuan angkut-angkut barang kayak gitu. Afwan,” Suaranya terdengar bijak.
“Eum, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam.”
Pikiranku dipenuhi wajahnya. Tampak berbeda setelah 1 tahun tak melihatnya.
Dulu, dia masih bekerja di pabrik susu kedelai itu. Mengontrol kerja para pegawai, menjadi manager keuangan dan bagian pemasaran via online. Penampilannya berbeda, sejak jadi dokter spesialis jantung di sebuah rumah sakit di Bandung. Tapi, sifat dan sikapnya masih tetap. Sopan dan santun kepada perempuan. Memang tak hanya denganku saja dia bersikap begitu, namun aku merasa ada yang berbeda ketika dia berbuat baik padaku.
oo0oo
Ujian semester kali ini tidak terlalu buruk. Beruntung, aku diberikan kemudahan oleh Yang Maha Pengasih untuk menyelesaikan semua pertanyaan dengan mudah. Walau ada yang mengarang bebas. But, I’m good.
Demi mendapatkan nilai yang memuaskan, aku harus berkorban malu untuk minta izin mengurangi jatah kerjaku pada Mba Reni. Terlihat raut wajahnya kala itu agak masam memandangku, namun dengan berat hati ia mengizinkan.
Berkat kebaikan hati Mba Reni, hari ini aku akan berangkat lebih pagi dengan membawa kabar gembira mengenai nilai ujian semesterku. Ya, mungkin itu terdengar biasa bagi Mba Reni. Maklum, kedua anaknya memang cerdas dan brilliant. Tak heran, keluarga mereka sukses di segala bidang.
“Seperti biasa, Hari Minggu. Not Weekend, but work day,” Nadaku semangat. “Hari ini, harus menjadi hari yang menyenangkan bagi semua orang. Bahkan setiap makhluk hidup kalau perlu.”
Aku beranjak ke kamar mandi. Mandi, lanjut berwudlu lalu sholat malam.
“Kali ini, aku bisa berdua-duaan lagi dengan Allah. Akan kuungkapkan semua kegembiraanku dan rasa syukurku padaMu, Ya Rabb,” Aku terlihat seperti orang gila keluar dari kamar mandi. Bicara sendiri. Tak ada yang mendengar. Salah. Hanya Allah dan aku yang mendengar.
Tanganku merogoh mukena yang terlipat rapi di lemari kayu setinggi badanku. Di rak paling atas. Kututup lagi lemari itu.
Tutut… tututut
Mataku tertuju tepat ke layar ponsel yang menyala. Ada sebuah pesan masuk.
Kuraih dan kutekan tombol kunci di sisi kanan ponsel. Swipe screen to unlock.
Tertulis “Sender : Rianty.”
“Ada apa dia mengirimku pesan sepagi ini?” Mataku memandang ke segala arah. Tak tentu arah. Sekarang alisku naik sebelah. Keningku mengerut, tanda bingung. “Tumben-tumbenan” Singkatku. Rasa penasaran mengerumuniku.
Sesaat. Aku teringat “Tadikan mau sholat kenapa jadi penasaran sama pesan dari Rianty.” Kuletakkan lagi benda petak itu ke tempat asalnya. Lalu beranjak menggelar sajadah dan… “Allahu Akbar”.
“Assalamu’alaikum warahmatullah… Assalamu’alaikum warahmatullah”
Tutut… tututut
Lagi-lagi ponselku berbunyi. Untuk kedua kalinya juga aku mengabaikan pesan masuk itu.
“Ya, Allah. Yang Maha Membolak-balikan hati. Tetapkanlah hatiku dalam kebenaran ajaran agama-Mu. Tenangkanlah hatiku yang sedang gundah. Hamba tak tahu, apa yang membuat perasaan ini segelisah ini. Jika ada kabar buruk, mohon tabahkan hati hamba. Jika ada kabar gembira, janganlah buat hamba menjadi orang yang sombong dan angkuh dihadapan-Mu. Jadikanlah hamba orang yang selalu berpegang teguh pada janji-janji-Mu. Semoga hamba bisa tetap istiqomah dalam Islam sampai maut menjemput. Robbanaa atinaa fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wakinaa ‘adzabannaarr. Amiin…”
Kulipat dan kumasukkan lagi seperangkat alat sholat tadi ke lemari. Karena penasaran yang sudah memuncak. Buru-buru kuambil ponsel tadi dan kubaca pesan dari Rianty. “Assalamu’alaikum. Rin, hari ini kau libur dulu. Kata Mama, ada acara jadi pegawai diliburkan.”
“Ahh, ternyata cuma pemberitahuan libur,” Ucapku biasa.
“Tapi, ada pesan satu lagi. Dari Rianty juga,” Lanjutku heran.
“Ohya, hari ini aku mau main ke rumahmu, ya? Jangan lupa siap-siap plus dandan yang cantik. Kan bestfriend mau main, masa pake kaos oblong. Hehehe…” Spontan aku langsung menjawab kedua sms itu bersamaan, “Wa’alaikumussalam. Oh gitu, ok. Thank’s infonya.” Kutekan tombol ‘enter’ “Heum, cuma kamu ini sih, Yan. Kenapa harus dandan cantik. Kayak mau dilamar aja.” Kali ini, tombol ‘send’ yang kupilih.
Tak lama, Tutut… tututut
“Eits, jangan salah.” Dengan tambahan emoticon smile di belakangannya.
Kali ini, dia membuatku penasaran. Hingga rasanya otakku pusing tujuh keliling memikirkan perkataannya via pesan tadi.
Tak perlu berlama-lama. Segera kuambil jilbab warna oranye, warna kesukaanku. Dengan corak bunga-bunga dengan rampel di bagian pinggangnya. Sehingga terlihat mengembang d ibagian bawah. Dengan padu-padan kerudung rakit warna coklat muda dan bross rose anggun.
Kupandangi sosok yang terlukis di cermin seukuran badanku. Ia terlihat sangat anggun.
“Ingin rasanya aku seperti dia,”
Tak kusangka. Itu diriku. Aku. “Benarkah?” Tanyaku tak percaya.
oo0oo
Tok, tok, tok
“Seperti ada yang mengetuk pintu?” tanyaku berbisik.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari balik pintu ruang tamu.
“Wa’alaikumussalam,”
Suaranya, terdengar tak asing di kupingku. Bergegas aku keluar dari kamar, lalu berlari kecil ke ruang tamu.
Ternyata…
“Ibu,” Aku terkejut. Tak sesuai prediksiku. Kukira Rianty yang berdiri di balik pintu dan mengucap salam tadi.
“Rini, ibu kangen sekali denganmu, Nak,” Ibu memelukku dengan penuh cinta. Air matanya tak sadar menetes di bahuku. Sudah lama aku merindukan momen-momen seperti ini. Merasakan pelukan hangat seorang ibu. Mengecup kening masing-masing lalu mengatakan “Aku merindukanmu, aku mencintaimu.” Kini, semua rasa rinduku terhapuskan akan kedatangan ibu.
“Ibu datang bareng ayah, bukan?”
“Iya. Dan bukan cuma itu” jawab Ibu sambil mengusap air matanya dengan sapu tangan yang digenggamnya.
Serombongan orang keluar dari mobil-mobil mereka. Tak kusadari, ada banyak mobil yang terparkir di halaman kos-kosanku. Dan selain mobil Ayah, ada 3 mobil lain yang tidak asing bagiku. Terios putih mutiara plat nomer ‘G’, “Ahh, itu kan mobil Mas Rifky. Kalo Avanza perak, Pajero Sport hitam?” Aku berpikir sejenak. “Ahh” aku langsung teringat rumah Rianty. Dan…
Entah apa yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Nafasku sesak. Darah seolah berhenti mengalir. Melihat kakak Rianty, Kak Rendi mengenakan setelan putih-putih melangkah dengan gagahnya. Menyembunyikan kedua tangannya di balik jas putih yang ia pakai.
Di sisi kanannya, ada wanita paruh baya yang kukenal namanya, Mba Reni. Usianya memang sudah masuk 45 tahun, namun aku masih memanggilnya mba karena sejak kecil aku biasa memanggilnya mba. Sikapnya yang seperti kakakku, bijaksana dan penyayang. Tak pernah bersikap seperti ibu-ibu. sangat bersahabat dengan remaja.
Di sisi kirinya, seorang pria berambut putih dengan senyum yang selalu mewarnai wajahnya. Wajahnya cerah dan penuh wibawa. Pak Rahmad namanya. Ayahanda dua bersaudara ini juga sudah seperti ayah keduaku. Beliau begitu perhatian padaku. Tak berbeda dengan Kak Rendi. Keduanya sangat mirip.
Langkah pria itu semakin lambat. Jaraknya kian dekat denganku. Tanpa basa-basi, ia berucap, “Rini,” ucapannya terpotong. Ia menarik nafasnya dalam. Mengalihkan pandangannya pada pria berambut putih di samping Rini. Terdengar Rendi mengucapkan ‘bismillah’ lirih.
“Pak, saya Rendi Bima Anggoro ingin meminang putri Bapak menjadi teman hidup saya. Pasangan hidup saya di dunia dan Insya Allah di akhirat kelak.” Ucapannya terdengar jelas dan lantang.
Ayah dan Bunda Rini bertatapan kompak. Sementara, aku berdiri diantara mereka dengan tubuh gemetar. Merapatkan kedua telapak tangan, mendekap mulut yang ikut bergetar juga, mendengar suara Rendi yang terdengar penuh keyakinan. Pipi ini basah akan air mata yang deras mengalir. Haru dan bahagia menyelimuti jiwa ragaku. Bibirku kelu. Tak mampu ungkapkan apapun.
“Jujur, selama ini saya memerhatikan Rini dan mencari tahu sosoknya lewat adik saya, Rianty. Saya sangat yakin, Rini mampu menemani saya menjalani kehidupan ini. Hati saya sudah mantap memilih Nadhifa Anggira Rini.”
“Kalau saya, terserah Rininya saja, Dek Rendi. Dia yang berhak menentukan pangeran dan ayah bagi anak-anaknya kelak. Jika Rini menerima, saya setuju-setuju saja. Saya percaya, Dek Rendi anak yang baik dan bertanggung jawab.” Ayah menyerahkan semuanya kepadaku.
Semua hening. Menunggu jawaban dariku.
Tak ada keributan yang berarti menyelinap ke rongga telingaku. Angin seakan tak berhembus. Awan seakan memayungi kami dari langit. Hanya ada suara burung-burung yang hinggap di dahan-dahan pohon.
Kuyakinkan hatiku. Ku mantapkan semuanya. Sebelum akhirnya aku menganggukkan kepala, tanda menerima lamaran Kak Rendi.
“Alhamdulillah…” Semua orang mengucap syukur. Hati kami seolah banyak bersemi bunga-bunga di dalamnya.
Kini, semua kegelisahanku telah terjawab. Semua pertanyaan hatiku terjawab.
Benih-benih cinta yang kutanam di kebun yang subur itu kini telah tumbuh dan berkembang. Buah cinta dari pohon itu juga telah muncul ke dunia. Mereka anak-anak manusia yang sangat pintar, shalih, dan lucu.
Ternyata, pemilik Kebun yang selama ini benih bunga cinta kutanam di dalamnya, adalah Kak Rendi.[]
[Zahrotun Nissa, santriwati kelas 2 SMA angkatan ke-3 | @nissaniza98]