Islam. Itu adalah satu kata yang memiliki terlalu banyak arti bagi tiap-tiap orang yang mampu merasakannya. Mampu merasakan Islam. Islam itu hidup, seperti pohon yang terus disiram setiap harinya agar tumbuh besar dan menghasilkan berbagai kenikmatan yang akan dipanen pemiliknya kelak.
Apa yang dipanen? Tergantung bagaimana ia merawat pohon itu. Dengan apa ia menyiraminya. Pupuk apa yang dipakainya. Bagaimana ia memperlakukan pohon itu. Seberapa besar cinta dan kasihnya pada pohon itu hingga membuatnya takut pohon itu akan layu dan mati.
Islam. Awal mendengarnya seperti kaset rusak yang memutar kata yang sama tiap detiknya. Selalu Islam, Islam, Islam, Islam. Bagaimana kata ini terus ada di tiap-tiap orang tidak peduli ia ‘merasakannya’ atau tidak.
Islam. Terlihat penuh tekanan, tapi entah mengapa tampak membahagiakan bagi yang ‘merasakannya’. Tekanan apa? Entah, hanya tampak penuh tekanan seperti kau terhimpit dari empat sudut berbarengan, tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Tapi kau mungkin tidak menyadarinya, kalau ada perlindungan yang tercipta dari tekanan itu. Menjagamu dari segala kesalahan yang justru menjerumuskanmu pada lubang dosa penderitaan, yang lebih menyakitkan. Yang sakitnya tak bisa terdeskripsikan.
Kau menganggapnya tekanan, padahal itu pertahanan yang menjagamu tetap aman.
Seperti Islam. Kau tertekan, tapi tidak. Keamanannya ada di mana-mana. Hanya saja, kau tidak menyadarinya. Memilih untuk terus merasa tertekan. Tertekan. Tertekan.
Hingga kau lelah sendiri dan kemudian menyerah, bersama rasa tertekan yang kau inginkan itu untuk tetap ada. Kenapa? Karena kau tidak mau menyadari, ada jalan keluar di manapun kamu berpijak.
Willyaaziza, Bogor 18 Januari 2017 10:12