Loading

Apa yang akan kau lakukan jika orang jahat menyakiti orang yang kau sayangi? Kau akan mengampuninya dan biarkan dia pergi begitu saja? Atau kau akan membalasnya? Membalasnya dengan lebih jauh?

Aku membenarkan posisi kacamataku yang sedikit longgar. Kacamata untuk memata-matai, jelas sekali. Lensa bagian depan sengaja dirancang oleh pembuatnya untuk menjadi penghalang penglihatan dari luar, dari siapapun yang ingin menatap kedua mataku. Aku dapat melihat mereka, tapi mereka takkan tahu siapa yang sedang kuawasi.

Baiklah, bukan itu yang kukhawatirkan, bukan kekhawatiran orang akan memergokiku. Kaca mobilku sudah lebih dari cukup untuk menghalangi pandangan dari luar. Mau apapun yang kulakukan di dalam sini, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Aku mengelus kemudi mobilku. Entah mengapa aku melakukannya, mungkin sebagai bentuk sedikit terimakasih.

Aku sedang menunggu seseorang. Ini adalah hari ketiga aku mengawasi orang yang sedang kutunggu kemunculannya dari sebuah pintu keluar yang berjarak 11 meter dari tempat mobilku diparkirkan. Rencana sudah lama kususun di dalam otakku, semua persiapan sudah kumatangkan. Tinggal melakukan aksi saja. Tapi aku harus memastikan persiapan ini benar-benar matang, dengan mengawasi orang itu selama 4 hari. Besok adalah hari terakhirku.

Lahan parkir bisa dibilang sedang sepi. Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang, dan hanya beberapa mobil yang diparkirkan di halam itu. Sebuah mobil Avanza berwarna putih tulang memasuki lahan parkir. Pengemudinya yang seorang wanita dengan make up tebal turun dengan menjinjing tas yang besar. Akhir-akhir ini aku sering melihat tas besar seperti itu. Mungkin tas besar seperti sedang banyak diminati. Tak tahu lah, aku tak begitu mengikuti mode. Tidak penting menurutku.

Ada hal yang jauh lebih penting yang sedang kuhadapi dalam hidupku. Dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tiba-tiba saja datang ini. Aku harus mengakhiri ini sekali untuk selamanya. Jika tidak kuakhiri, entah berapa banyak lagi malam-malamku yang akan diisi dengan teriakan dan mimpi buruk. Sudah cukup malam-malam itu menghantuiku. Sudah saatnya untuk menghadapinya. Menghadapinya dengan cara terbaik. Terkejam.

“Tapi bagaimana kau bisa yakin, hah!” Andrea berteriak marah ke arahku. Matanya merah, airmata mulai turun dari kelopak matanya.

“Ini kehidupanku, jalan yang aku pilih, Andrea. Berusahalah menerimanya atau menjauh dariku selamanya.”

Andrea menghapus air mata dari pipinya, dan membiarkan tangannya tetap disana. Ia berbalik membelakangiku, “Aku… a-ku tidak percaya orang yang selama ini kucintai… akan… akan benar-benar melakukan… ini.” Kalimatnya dikacaukan dengan isakannya.

“Aku sudah memberitahumu sejak awal, Andrea. Apapun itu, termasuk rasa cinta, tidak boleh mengalihkanku dari apa yang aku inginkan selama ini. Terhitung juga rasa cintamu padaku, atau rasa cintaku padamu. Aku bahkan rela membakarnya jika perlu!”

Andrea kembali berbalik menatapku. Menatapku sekilas dari kepala sampai kaki, lalu berkahir di mataku. “Baiklah jika itu yang kauinginkan. Aku pergi.” Andrea berjalan menjauhiku dengan cepat. Aku menahan lengannya, berusaha mencegahnya pergi. Andrea menyentakkan tanganku menjauh dari lengannya. “Jangan pernah berani menyentuhku lagi!”

“Andrea! Andrea!!”

Aku berusaha agar dia tidak pergi, tapi telambat. Dia sudah menghilang di balik pintu dengan suara langkah yang semakin menghilang. Aku tidak percaya apa yang baru saja kulakukan. Andrea baru saja mendepakku dari kehidupannya. Karena aku mengatakan kalimat yang menyakitkan di depannya. Aku tidak percaya, cinta senjatiku baru saja meninggalkanku. Dan aku takut, ini untuk selamanya. Aku takut aku kehilangan dia untuk selamanya.

Tidak!! Bahkan Andrea sekalipun tidak boleh menghalangiku dari apa yang ingin aku capai selama ini. Tidak akan kubiarkan. Kepergian wanita cantik bernama Andrea itu dikalahkan dengan nyala api yang selama ini ada di dalam. Bahkan nyala itu semakin besar, membakar semuanya secara perlahan. Membakar bayangan senyuman indah Andrea.

Dan kini, aku duduk di belakang kemudiku, memikirkan itu semua, dan berusaha memusnahkan semua kenangan indah bersama Andrea dari kepala.

Orang itu baru saja keluar dari pintu.

[Hawari, santri angkatan ke-2 SMA di Pesantren Media]

By Hawari

Hawari, santri angkatan ke-2 jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://downfromdream.tumblr.com | Twitter: @hawari88

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *