“Hana!”Uchi melambaikan tangan padaku, aku tersenyum dan membalas melambai. Hari ini adalah hari pertamaku dengan seragam putih biru, dan teman kecilku juga masuk SMP yang sama. Uchi berlari kecil disampingku, tiba-tiba wajahnya mengerut saat memperhatikanku.
“Kenapa Chi?”tanyaku heran, Uchi justru semakin mendekatkan wajahnya padaku.
“Uchi? Kenapa sih?”tanyaku panik, “Ada luka..”jawabnya pelan, aku memiringkan kepalaku. Bingung.
“Luka? Luka ap..”aku langsung terdiam begitu mengerti maksud Uchi.
“Tapi lukanya agak kecil, diantara hidung sama mata kirimu.”cetus Uchi begitu melihat aku terdiam.
“Hahaha..mungkin gara-gara aku jatuh.”balasku sambil tertawa hambar.
“Gak mungkin Han..masa lukanya sampe disitu.”protes Uchi, “Udah yuk masuk aja.”
Aku langsung melangkah pergi, Uchi mengejar. Aku tau Uchi masih penasaran tapi aku tidak mau bercerita apapun, biar aku yang menanggung semua. Selesai perkenalan wali kelasku mengajak kami keliling sekolah, sayangnya aku tidak sekelas dengan Uchi. Mataku tidak bisa lepas melihat bangunan-bangunan di SMP ini semuanya terlihat menyenangkan, setidaknya.
Aku terkenal sebagai seorang anak yang sempurna, dimana pun aku berada pasti semua orang menganggap aku sempurna. Tapi mamaku sangat menyukai pendapat orang-orang, jadi dari kecil aku sudah dididik untuk melakukan semua secara sempurna. Sebenarnya aku ingin menjadi diriku sendiri seperti yang lain, namun mama akan menghukumku jika aku berani melakukannya.
Di kelas baru itu aku sudah mulai dekat dengan Dinda, Essy, dan Lubna. Mereka bertiga duduk dekatku, jadi mereka lebih dulu dekat denganku.
“Eh, kalian mau beli enggak? Kemarin pas aku beli kebanyakan, jadi mau aku jual sebagian.”tawar Essy.
“Waaah..bagus banget.”komentar Lubna, disebelahnya Dinda mengangguk.
“Aku mau beli deh, berapaan?”tanya Dinda sambil merogoh tasnya.
“Tergantung kamu mau beli yang mana, tapi harganya paling mahal cuma 5 ribu kok.”
Aku tersenyum getir, sebenarnya barang-barang yang Essy jual bisa dibilang barang bekas, dan mungkin bisa dibeli di tukang mainan yang biasanya lewat dengan sepeda. Tapi entah kenapa aku juga ingin membelinya, mungkin karena mereka teman baruku di SMP ini. Kumasukkan kartu mainan dan manik-manik kedalam tas begitu bel pulang terdengar.
“Jadi kan Han, kita main ke rumahmu?”tanya Dinda, aku mengangguk.
“Tapi cuma sampe jam 1 ya,”pesanku, mereka bertiga bersorak senang.
—#—
Saat pulang kutata barangku serapi mungkin, aku tidak mau terkena hukuman seperti tadi pagi. Sementara ketiga temanku terkagum-kagum melihat kamarku.
“Keren banget kamarmu Han..rapi banget.”komen Essy, “Iya, rapi banget.”tambah Lubna.
“Engga kok, biar keliatan gak terlalu berantakan aja.”kilahku. Berbohong.
“Tapi ini kelewat rapi Han..kamu bener-bener bisa ngejaga ya?”
“Aku cuma diajarin biar terus rapi aja,”sanggahku lagi. Berbohong.
“Tapi aku iri sama kamu Han..”ucap Dinda tiba-tiba, aku mengerutkan keningku, “Maksudnya?”
“Kamu itu ya udah cantik, baik, ramah, kaya, rapi, dan pasti pinter, sempurna banget kayak malaikat.”
Aku tersenyum kecil, mendengar kata sempurna membuatku agak sesak. ‘Engga sesempurna itu kok..aku malah tidak pernah ingin menjadi sempurna.’batinku dalam hati. Kami pun bermain di komputer kamarku, saat itu aku benar-benar bahagia bisa bermain bersama teman-teman baruku.
Untuk beberapa saat aku merasa bebas dari kurunganku selama ini, setidaknya aku bisa melewati garis terlarang itu walau selangkah. Tanpa kusadari, teman-temanku pulang ketika jam menunujukkan pukul 1 tepat, aku terlalu asik bermain sampai..
“HANA!!!”aku terkesiap, dan langsung menoleh. Pikiranku mulai kacau.
“Mama bilang apa tadi pagi?!”bentak mama dibelakangku, aku terdiam ketakutan.
“Liat apa yang kamu lakuin! Bukannya belajar buat besok malah main game!”
“Memangnya kamu pikir nilai-nilai pas kamu SD udah bagus?!”, aku menggigit bibir bawahku.
“Hapus semua gamenya!”lanjut mama lagi, mataku mulai buram oleh air mata. Aku mengangguk.
Dengan satu hentakan mama menutup pintu kamarku, buru-buru aku langsung merapikan kamarku dan kembali ke depan komputer mulai menghapus setiap permainan yang selama ini kusimpan, tak lama Mama kembali lagi ke kamarku dengan membawa sapu plastik.
“Mama bilang apa tadi pagi?! Semua harus sempurna! SEMPURNA, HANA!!!”
“Maaf ma…”aku mulai terisak, tapi mataku tidak bisa lepas dari sapu itu.
“Maaf, maaf..memangnya kamu pikir kamu sudah sempurna dengan kata maaf itu?”
“Hana..”belum kuselesai melanjutkan kalimatku sau pukulan langsung mendarat dikepalaku.
“Mama capek Han..mama udah berusaha supaya kamu bisa sempurna! Tapi apa yang kamu balas ke mama?! APA??!!”, saat aku mau membuka mulut hantaman itu terasa lagi di punggung kiriku.
“Kamu pikir kamu sudah sempurna iya?? Kamar aja berantakan kayak gini,”komen mama lagi, nafasnya terdengar beradu keras. Air mataku mulai berjatuhan.
“Mama lebih suka ngurusin anak orang daripada ngurusin anak yang enggak sempurna kayak kamu!”
“Mama juga lebih memilih mati daripada harus ngurusin anak kayak kamu!”, aku benar-benar menangis.
Belum puas, mama meraih hiasan kaca dimejaku dan melemparnya kearahku, darah pun langsung mengucur dari keningku, beberapa serpihan kaca itu juga melukai tangan kananku. Mama pun melanjutkannya dengan menusuk-nusukku dengan gagang sapu, sementara aku hanya bisa menangis dan berusaha menghindar sampai ayahku datang dan berusaha menahan mama.
“KELUAR HANA!!”seru ayahku sambil menahan mama yang siap melempar sapu kearahku.
Aku langsung berlari keluar dengan tertatih-tatih, nafasku terasa sesak. Adikku yang menunggu diluar sangat terkejut melihat kondisiku, dia pun langsung membawaku ke kamarnya dan menguncinya lalu memelukku, ikut menangis. Sakit. Ingin rasanya aku pergi dari tempat ini. Selamanya.
Perlahan-lahan aku mulai tertidur dipelukan adikku, dan ketika terbangun aku sudah terbaring dikasur adikku, Anne. Kulihat tanganku sudah diperban, begitu juga luka di keningku. Anne tersenyum di sampingku, senyum yang menyiratkan kesedihan.
“Makan dulu ya kak?” Anne langsung membantuku menyender, punggung kiriku terasa sakit.
“Kakak belum makan kan? Ini tadi Anne beliin bubur ayam.”
“Anne..”panggilku, “Mama?” Anne mengalihkan matanya sebelum menjawabku.
“Mama pergi, Anne gak tau kemana tapi kata ayah enggak usah khawatir.”aku langsung tertegun.
Pintu kamar Anne perlahan terbuka, kepala ayah langsung muncul. Aku melempar senyum kecil begitu pun ayah, ayah beringsut mendekatiku dan Anne.
“Gimana Han? Udah agak enak?”tanya ayah, aku mengangguk.
“Ya udah dimakan buburnya..ayah ganti ya perbannya?”ayah langsung melepas perban dikepalaku.
“Aww..sakit yah.”cetusku pelan, ayah menghembuskan nafas panjang.
“Makannya, jangan buat mama marah lagi ya? Nanti kamu sendiri yang ngerasain sakitnya.”
Aku menunduk, “Tapi Hana..”ayahku menggeleng, “Cukup Han..jangan buat masalah lagi.”, aku pun memilih diam. Sebenarnya aku juga tidak sanggup memberikan pembelaan atau pun melawan, fisikku terlalu lemah untuk balik melawan apalagi sudah 5 tahun aku dipaksa menjadi ‘boneka yang sempurna’ dimata mama. Aku lelah.
Tapi, mendengar kata-kata ayah barusan juga sangat menyakitkan kupikir ayah akan membelaku atau setidaknya tidak menyalahkanku, kenyataannya? Aku tetap menutup mataku sampai ayah pergi dari kamar Anne. Menahan rasa sakit.
“Kak?”Anne langsung mengenggam tanganku erat, air mataku mulai menetes. Lagi.
“Bisa tinggalin aku sendiri enggak?”mataku masih tertutup rapat. ‘Jangan menangis Han..’batinku.
Terdengar desahan pelan lalu, suara langkah kaki yang menjauh pergi. Kubuka mataku lemah, kemudian memeluk lututku erat-erat, akhirnya kulepaskan semua tangisanku yang sempat terhenti. Tangisan yang penuh dengan rasa bingung, marah, kecewa dan takut. Aku benar-benar ingin mati.
—#—
Kuusap air mata yang tanpa kusadari mulai menetes, lalu kupandangi langit yang bertaburan sinar-sinar kecil yang menyebar. Malam ini, malam festival, seseorang mengingatkanku pada diriku yang dulu, dan tanpa kusadari aku juga mulai mengikuti jejak mamaku yang selalu memaksakan segala sesuatu agar sempurna, tidak peduli dengan perasaan orang yang dipaksa sempurna.
Fela menghampiriku, nafasnya terdengar berantakan mungkin dia berkeliling mencariku. Aku tersenyum kemudian melambai, Fela menatapku prihatin begitu dia melihat mataku yang bengkak karena menangis.
“Kamu enggak apa-apa Han?”tanya Fela khawatir, aku mengangguk.
“Tadi semuanya langsung panik begitu kamu langsung turun dan pergi.”cerita Fela.
“Hahaha..maaf ya penampilan kita jadi kacau.”Fela menggeleng, “Enggak kok..”
“Tapi, tadi Aya juga langsung pergi kebalik panggung begitu kamu pergi.”tambah Fela, aku bergeming.
“Kenapa sih? Kok sikap kamu agak aneh akhir-akhir ini?”selidik Fela, matanya terlihat penasaran.
Aku hanya menggeleng dan kembali menatap langit diatas, indah tapi penuh luka. Mungkin ini belum saatnya aku menceritakan masa laluku, Fela pun menghela nafasnya dan memilih ikut memandang langit, kemudian aku memeluk kedua lututku dan mulai merenung, “Kapan aku bisa berdamai dengan masa laluku?”.
-Bersambung-
[Zulfa Aulia, Kelas 1 SMA, Pesantren Media]