Loading

Slice of The Life (7)

Yeah, it really me,”

Kuharap mereka menangkap maksud sarkasmeku ketika aku menekanku kata ‘really’. Karena tampaknya mereka lupa ‘siapa’ aku. Lagipula, aku terlalu bingung untuk menanggapi pertanyaan mereka. Entah hanya aku saja atau tidak, tapi aku merasa suasananya canggung sekali.

Syukurlah Jess memecahkan atmosfer buruk yang kurasakan, “Why you must be here, you son of—”

I’m a daughter, not A SON!”

Be calm ladies, down your tone,

Are you planning for this, Kal?”

No. It stumbled across,”

Okay. Aku merasa berada di tengah pertengkaran antara sepasang…emh, well, ex-couple and me as the third between them. What a good situation. Tunggu sampai Sir mendengar ini, dan dia akan sibuk memikirkan alur teraneh berdasarkan drama film romansa thriller yang ditontonnya. So creepy.

Just like now.

Better I go. Right. “Time for my class. I have to go,”

Aku sudah bersiap pergi. Dan aku benar-benar membenci saat-saat langkahku harus ditahan seseorang. Termasuk Haz. “Can we talk?”

We? Including Jess?

Otakku berputar, mencari kemungkinan apa yang membuat Haz ingin bicara denganku dan Jess. Maksudku, kami bertiga? Kukira aku tidak punya masa lalu complicated dengan mereka. Yeah, well, I thought.

Don’t you want to talk with me? Just, the two of US,” Jess mengatakan itu dan sangat menekankan kata ‘us’. Tidak perlu IQ Einstein untuk tahu kalau maksudnya adalah dia dan Haz. Dan tidak ada aku. Aku memutar mataku untuk sikap protektifnya.

Yeah, better you talk with her. I really must go to my class. Bye,”

Aku meninggalkan Haz dan Jess. Keluar dari Re-Café penuh dengan perasaan dongkol yang kulampiaskan dengan hentakan kaki. Apa-apaan drama cinta-komedi-konyol tadi. Seharusnya mereka berdua tidak melakukannya di depanku hanya untuk sekedar pamer. Gosh.

Aku mulai benar-benar membenci pengaruh Haz disekelilingku. Selain fakta bahwa aku berubah jadi sangat melankolis, Jess semakin bersikap kasar padaku. Aku baru merasakan dua perubahan akibat Haz. Hanya dua dan aku stres.

Pada akhirnya aku memasuki kelas dengan mood tidak bagus. Penjelasan dosen lebih sering kuabaikan karena moodku. Yang untungnya berhasil menghasilkan tiga coretan pensil slash gambar.

Ketika aku selesai kelas, aku mengirim chat dan meminta kepada teman-temanku untuk berkumpul di kantin. Seperti biasa. Aku menambahkan kata important, urgent, dan about Jess and Haz. Sebagai bentuk pancingan agar mereka bergerak cepat.

Dan itu berhasil. How lucky.

First, stand treat us. Aku memaksamu tau kalau aku harus bolos kelas. And that is because of you,” itu adalah kalimat pertama yang Len katakana begitu menemui di kantin.

I didn’t tell you to cut the class,”

You, didn’t. But your words, done!”

Tanpa persetujuanku, Sir, Len dan Ver memesan semua makanan yang mereka mau. Mereka bahkan tidak akan peduli jika aku mengatakan kalau aku tidak bawa dompet.

Who is that Haz?”

Is he Haz the ex-president?”

Is he?”

Sir, Len dan Ver memulai pembicaraan tanpa aku. Mereka mengakhirinya dengan tatapan penuh selidik padaku. Aku yakin mereka sedang menilaiku. Pada faktanya, aku berteman terlalu baik dengan mereka adalah sesuatu yang aneh. Lebih aneh lagi kalau Haz tiba-tiba disangkutpautkan denganku. Oh, salah, yang aneh adalah akulah yang disangkutpautkan dengan Haz. Bukannya Len, Sir atau Ver si populer.

Stop starring at me like that,”

Well, ini seorang Thim. Tidak heran dia ada sesuatu dengan ex-president,”

What? “Hey, It was me, the nerd with the ex-president?”

Len menghela kesal, “You’re not a nerd,”

Ver mengangguk, “Sir do,”

Sir meraung, “I’m not!”

“Tidak perlu merendah, Thim. You are the girl in this collage,”

The woman,”

What girl? Argh, stop talking about this. I call you in order to talk. About my chance meeting. With Haz and Jess,” ketiga temanku mulai tenang, aku memulai cerita. “First—”

Aku memulai cerita dengan SMS Haz yang kuterima secara tiba-tiba dan seterusnya, seterusnya, seterusnya, sampai tadi di Re-Café. Well, aku tidak menceritakan bagian Mr. Zid karena itu bukan topik utamanya. Aku juga sedikit mengurang-ngurangi bagian aku menangis ketika di telepon Haz. Aku hanya bilang bahwa aku kaget dan sedikit—sangat sedikit—sedih.

Sir, Len dan Ver memberikan reaksi berbeda-beda. Mereka selalu berusaha memotong pembicaraanku. Dan aku selalu menarik makanan mereka sebagai ancaman untuk tidak memotong. Begitu aku selesai bicara, mereka sangat kompak terdiam. Aku tidak merasa mengenali mereka saat itu.

THAT INSANE!”

Yeah. Finally I know them. Len bahkan—garis bawah tebali bagian—berdiri dan berteriak hingga mengundang tatapan seisi kantin ke arah kami.

Not that insane,” yeah, ceritaku pada mereka tidak segila perasaan yang kurasakan saat itu hingga sekarang.

Are you in a relation with Haz before?”

Backstreet,”

It could be. Thim refused Mr.Zid because of Haz?”

“Wow. Hot gossip. Did Jess know?”

Is Thim in a love triangle with Jess and Haz?”

It could be,”

“Hello…I’m still here,”

Sir, Len dan Ver mengabaikan. Aku mengacuhkan mereka. Menunggu hingga mereka selesai berasumsi. Yang mana itu—garis bawah tebali bagian—sangat lama. Karena itu memang lama. Aku berhasil menghabiskan seporsi pempek dan batagor saat mereka selesai. Aku bahkan menyempatkan diri untuk mengerjakan tugas.

Why you just told us? It’s been so long right? Two weeks ago, eh?”

So cruel Thim,”

Yeah, right. Aku disudutkan sekarang. “With your, all of your character, how can I tell you without any accident? Like shouted ‘that insane’ so loudly,”

Aku memutar mataku. Merasa lelah dengan mereka.

“Okay. I’m sorry for that,” Jess duduk mendekat padaku, “Tell me, are you know Haz before?”

Before OSPEK? No. After that? Never talk with him, never meet for the serious reason nor other,”

Is Jess in relationship with Haz?”

I think, no. Even a rumour, Jess and Haz totally clear,” Sir mengklarisfikasi. Dan aku percaya. Karena Sir adalah informan rumor, gossip dan hot-news-collage terpercaya.

Are you…like Haz? Ah, I mean…like…emh, fallin’ in love?”

“Ewh. Thim? Love? She even don’t know what ‘fallin’ in love’ is,”

“Yeah, that was…right,”

Lagi-lagi Sir, Len dan Ver memulai obrolan tanpa memasukkan aku, objek obrolan, kedalamnya. What good friends—for a sarcasm.

“Aku berkesimpulan Haz dan Thim pernah, well, mungkin bertegur sapa. Haz tidak menyadari kalau dia love at first sight and then…tarara…he lookin’ for you!” Len mengatakan hasil kesimpulan absurdnya dengan gerakan tangan yang menunjuk padaku.

Aku tersenyum, menepis tangannya menjauh. “When do you think I talk with him?”

“Yeah…when?”

“Thim bahkan tidak mengikuti kegiatan kampus apapun,”

“Dia pemalas,”

Untuk kesekian kalinya, aku memutar mataku. Merasa lelah untuk sekedar mengomentari kata-kata tepat sasaran teman-bukan-temanku. Aku merasa sangat sia-sia menceritakan semua itu pada mereka bertiga sekarang.

Better I go, now,”

“Heol…apa kau merajuk?”

I’m not the sulky type,”

Aku hampir mengambil langkah ketiga saat Ver memanggil, “Thim, Haz bukan tipe orang yang mengajak ketemuan orang asing. Aku yakin dia mengenalmu, dan aku tidak heran kau melupakannya. Mungkin kau harus mengingat-ingat lagi pertemuanmu dengannya. Sengaja, atau tidak,”

Persamaan antara Len dan Ver adalah, keduanya terbuka, easy going hingga mudah disukai banyak orang, dan sangat peduli. Yang menjadi pembeda adalah, Ver memiliki satu sifat tambahan, dia mampu mengambil satu celah kosong di antara padatnya satu kesimpulan.

Aku tersenyum, “Thanks,”

Welcome,”

Aku tidak punya jadwal lain. Jadi aku memutuskan untuk pulang. Untunglah aku tidak mengalami kejadian aneh lainnya hari ini. Seperti misalnya bertemu Jess dan Haz lagi dalam satu waktu dan tempat yang sama untuk kedua kalinya. Aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.

 

Aku meneriakkan salam ketika membuka pintu rumah. Berjalan terlalu cepat ke kamar dan melemparkan diri ke kasur empukku. Diiringi dengan suara mengeong seekor kucing yang melompat masuk ke kamarku dari jendela. What a nice.

Aku membiarkan kucing mengeksploitasi kamarku, karena aku terlalu lelah untuk bertengkar tidak penting dengan seekor kucing. I’m not that crazy.

Sister, fry me something!”

The crazy is just come.

Tired,”

Così inutile,”

Oh, boy…. Aku bangkit dari tidur, menarik tangan Reza.

“Ow, ow, sis, don’t be so rude,”

What just…did you say?”

What?”

The oath,”

Così inutile?

I think I know when we met before.

Me, Jess and Haz.

 

bersambung…

ZMardha [willyaaziza] santri kelas 2 SMA Pesantren Media

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

One thought on “Slice of The Life (7)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *