Slice of The Life (4)
Kamis pagi ini langit berawan. Tapi keluargaku slash kakak-kakakku menganggap hari ini secerah Gurun Sahara. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Dan bisa kupastikan pemandangan yang terlihat dari keluargaku di pagi hari berbeda dengan keluarga normal lainnya.
Kami semua sudah berkumpul sejak jam enam lewat lima belas. Dengan pakaian super rapi atau setidaknya sopan. Ayahku, seperti biasa, membaca berita di tabletnya karena tukang koran belum datang. Sementara ibuku sedang memasak sarapan untuk pagi ini. Orangtua yang normal.
Seharusnya keluarga kami sangatlah normal andai saja kedua orangtuaku memiliki anak-anak yang normal. Pasalnya, bagiku, kedua kakakku tidaklah normal. Coba tebak apa yang akan laki-laki dan perempuan dewasa berumur 23 tahun lakukan di pagi hari dengan langit berawan?
Aku harus menahan diri untuk tidak memutar bola mataku saat Reza dengan sengaja—garis bawahi bagian sengajanya—menyiram hampir setengah botol minyak di lantai dekat kursi makan yang akan diduduki Elle.
“Stop act so stupid,” kataku setelah duduk di kursi makanku.
“I’m not. It called prank game. I already set cameras in special places. It will be funny to post in youtube,”
“So rude,”
“It’s a prank, sis,”
Reza sepertinya cukup gila untuk mengkategorikan penderitaan orang lain sebagai bahan lelucon. Kadang—hanya terkadang—aku merasa Reza kekurangan kasih sayang. Mungkin ayah atau ibu lupa mengajarinya kalau hal lucu baginya tidak selamanya menjadi hal lucu untuk orang lain.
Yah, meskipun kupikir, ayah dan ibu juga tampaknya lupa mengajariku agar selalu membantu orang-orang yang kesusahan. Setidaknya membantu kakakmu yang kesusahan. Karena aku tidak begitu peduli kalau Elle akan terpeleset karena minyak di lantai nanti. Pasalnya itu jadi makanan pembuka di hampir setiap pagi. Seharusnya Elle belajar dari pengalaman, bukan?
Ibuku sangat pandai dalam memasak. Seorang ibu dan istri idaman. Dan ayahku adalah orangtua dan suami idaman. Keluarga mereka seharusnya menjadi keluarga idaman andai saja anak-anaknya menjadi anak idaman.
“Bu, ingatkan si bodoh ini untuk cek ke psikiater. Dia gila!”
“Not that crazy. Just so funny,”
Aku berharap Reza dan Elle menjadi cukup normal dan berhenti saling mengejar di tengah sarapan kami. Sudah pasti Elle mengamuk karena dia terjatuh dengan posisi super aneh gara-gara minyak. Dan Reza—juga aku—sukses tertawa. Sangat membahana.
Beruntunglah pagi ini Elle tidak terlalu dendam dan hanya menarik kerah kausku sampai kendor lalu mengejar Reza dan berencana mencekokinya sebotol selai kacang. Ngomong-ngomong, kakak entah keberapaku itu alergi selai kacang. Bibirnya akan jontor beberapa senti kedepan. Dan itu sangat lucu.
“Sudahlah, Elle, cepat makan. Nanti terlambat ke kampus,”
“Bu!” aku hampir tersedak ketika suara Elle berubah manja. Aku tidak pernah terbiasa dengan itu. Sangat perlu diketahui, kepribadian Elle akan berubah di depan ibu. “Rokku robek, lihat! Dan basah, menjijikkan! Si gila itu—”
“That crazy is your bro,”
“You’re NOT!”
Aku mengabaikan pertengkaran tidak penting Reza dan Elle untuk kesekian kalinya. Aku terlalu lelah untuk sekedar mendengarkannya.
Mendengar mereka bertengkar selama lebih dari lima belas tahun membuatku sedikit mengerti. Alih-alih berperan sebagai saudara yang saling menyayangi dan mendukung satu sama lain sebagai bentuk kasih sayang, Reza dan Elle menjadikan pertengkaran mereka sebagai bentuk kasih sayang. Walaupun aku tidak mengerti bagian mana dari pertengkaran itu yang menunjukkan kasih sayangnya.
Pagi ini aku ada jadwal kuliah. Setelah selesai sarapan, aku berpamitan pada ibu dan ayah. Menaiki motor matic hitamku menuju ke kampus selama kurang lebih empat puluh menit. Begitu memarkirkan motorku, aku langsung pergi ke kelas. Meski masih cukup banyak waktu sampai dosen masuk.
Sejujurnya, aku menghindari teman-temanku. Terkhusus Len. Dia mampu mencecarku selama lebih dari lima belas menit hanya untuk mengutarakan protesnya karena keabsenanku dari acara nongkrong kami kemarin. Dan aku agak malas kalau Len sudah membahas apalagi memojokkanku tentang masalah di antara kami.
Untungnya masalah di antara kami bukan masalah besar yang menimbulkan kecanggungan atau permusuhan. Bagiku itu hanya cinta sepihak Len pada seorang cowok. Tapi bagi Len itu cinta segitiga di antara dirinya, aku dan seorang cowok. Dimana Len menyukai cowok itu, tapi si cowok menyukaiku yang notabenenya tidak balas menyukai dan sahabat-sangat-dekatnya Len.
Klise? Har, har, aku menganggap itu terlalu tidak penting sampai harus dipikirkan dan dibicarakan dengan serius.
Delapan belas menit kemudian, dosen masuk. Kelas berlangsung dua jam ke depan. Mengalihkan pikiranku dari Len.
Rangkaian jadwal kuliahku selesai tepat jam dua siang. Aku belum bertemu Len, Sir ataupun Ver selama waktu itu. Dan aku tidak memiliki niat untuk bertemu dengan mereka seharian ini. Jadi, begitu kelas terakhirku selesai, aku langsung pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku referensi. Dan beberapa komik, juga novel, hehe…
Jangan bertanya kapan aku akan menemui Haz. Karena aku tidak berniat untuk menemui Haz dan pergi ke Left-Right Café. Ada cukup banyak alasan yang membuatku tidak pergi. Pertama, kemungkinan bahwa Haz salah sambung. Jangankan berkenalan, berada di tempat yang sama selama lebih dari dua puluh menit saja kami tidak pernah. Jadi sangat tidak mungkin Haz mengenalku dan tahu nomor teleponku. Mungkin ia berpikir nomorku adalah milik salah kenalannya di BEM.
Kedua, pesan yang dikirimkan Haz terlalu ambigu. Tidak ada waktu pertemuan, dan tidak ada nama orang yang dituju seolah itu adalah pernyataan sepihak. Kemungkinan ia salah sambung semakin tinggi.
Ketiga, kalau aku tetap menemuinya dan mengabaikan faktor pertama, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimana kalau ternyata dia memang salah sambung. Aku akan sangat malu kalau tiba-tiba menghampirinya dan berkata, “Hai Haz, jadi, kenapa kau ingin bertemu denganku?”, tapi kemudian Haz akan memasang ekspresi bingung dan bertanya, “Siapa kau?”. Tidak, aku masih membutuhkan muka untuk menampilkan diri di kampus.
Keempat, aku cukup yakin tidak ada sesuatu di antara Haz dan aku yang membuat kami harus bertemu. Berdua. Di Left-Right Café. Café yang terkenal sebagai tempat nongkrongnya pasangan-pasangan muda yang menawarkan suasana hangat, nyaman, tapi romantis. Haz and me were so not in that type relationship.
Aku membawa dua buku referensi ke kasir beserta tiga komik dan satu novel. Aku berani membeli banyak buku hari ini karena berhasil menguras dompet Reza sebagai imbalan mengambil kucing got itu. Reza sudah bekerja, ngomong-ngomong, yah, lebih tepatnya kerja sambil kuliah part-time. Dia memiliki perusahaan sablon sendiri. Pastinya dengan sedikit campur tangan ayah dan bisa dikatakan cukup sukses. Aku tidak lagi merasa bersalah kalau meminta uang padanya.
“I don’t know if you like reading comics,”
“Zid! You shocked me off!”
“Sorry, didn’t mean to,”
Aku ragu Mr. Zid mengatakan itu dengan tulus. Pasalnya, setiap kali aku bertemu dengannya di luar jam kelas, dia selalu muncul di saat yang tak terduga, di tempat yang tidak terbayangkan dan saat pikiranku tidak ada di tempat. Membuatku selalu terkejut. Aku tidak tahu dia menyadarinya atau tidak, tapi jujur saja, itu berhasil membuatku khawatir, takut jantungku perlu diganti ketika umurku masih sedini ini.
“Yeah, I read some comics,”
Mr. Zid mengangguk dengan khidmat. Kasir menghitung jumlah belanjaanku lalu menyebutkan sejumlah uang yang langsung kuberikan. Setelah mendapatkan palstik belanjaanku, aku berpamitan pada Mr. Zid dan pulang.
“Wanna take ride with me?”
“Thanks for your harbor, but I bring my motorbike,”
Aku buru-buru pergi setelah tersenyum meminta maaf, tanpa memberikan Mr. Zid kesempatan untuk bicara. Sejujurnya, aku sedikit risih dengan perlakuannya padaku. Aku tidak peduli dia menyukaiku atau tidak, tapi aku bukan tipe orang yang menerima dengan cuma-cuma. Dan aku tidak terima jika ada orang-orang yang menganggapku ‘butuh perlindungan’. Aku tidak serapuh, selemah dan sebodoh itu sampai memerlukan banyak perhatian, khususnya dari laki-laki. Walau kecerobohanku adalah satu hal yang perlu diwaspadai.
Begitu sampai di rumah, aku bergegas ke kamar dan melemparkan diriku ke atas kasur. Merasa lelah dan penat. Aku merasa tidak punya cukup tenaga lagi untuk sekedar ke kamar mandi dan membersihkan diri. Tidak sampai seekor makhluk kecil muncul dan menaiki kasurku. Menggoyangkan ekor panjangnya tepat di wajahku!
Aku melemparnya kasar ke arah lantai. Itu murni tidak sengaja, hanya refleksku saja. Aku sangat terkejut bercampur kesal. Lagi-lagi aku mengingat bau got itu. Ewh.
“Sorry,” bisikku sangat pelan saat kucing yang tidak sengaja kulempar itu mengeong pelan. Sepertinya dia kesakitan. Tapi aku tidak mencoba memotivasi diri sendiri untuk mengecek apakah dia terluka. Sejujurnya aku sedikit kaget saat mulutku mengucap kata maaf pada kucing itu. Itu menandakan aku peduli. Hal yang sangat jarang kurasakan.
Well, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan skill peduliku. Jadi aku bergerak, menjepit sebagian kulit di tengkuk kucing itu dengan jariku dan membawanya ke luar kamar kemudian menutup pintunya rapat-rapat.
Aku menepuk tangan, menyingkirkan bulu, dengan sedikit bangga. Mengeluarkan seekor kucing dari kandang singa—aku—dapat mencegah kemungkinan buruk berupa rencana pembunuhan pada kucing yang dilakukan oleh singa—aku.
Skill peduliku meningkat cukup pesat, rupanya.
Aku berjalan ke kamar mandi sambil mewanti-wanti untuk membelikan kucing itu beberapa sosis, sebagai hadiah karena telah membantuku meningkatkan skill peduliku.
“Thim, where is My Kitten?”
Aku menatap horor Reza yang tiba-tiba membuka pintu kamarku dengan satu gebrakan keras. Aku mengabaikan wajahnya yang panik dan berusaha menenangkan diriku sendiri. Fix, rasa-rasanya aku perlu untuk terapi kaget agar tidak mudah merasa kaget pada hal-hal sepele.
“I don’t know,” kataku pada akhirnya. Reza berlalu dari kamarku tanpa menutup pintu yang bisa saja ia rusak.
Samar-samar aku bisa mendengar Reza menanyakan hal yang sama pada Elle di kamar sebelah yang dibalas dengan pekikan dan suara barang yang dilempar. Well, setidaknya aku bukan satu-satunya orang di rumah ini yang mudah kaget.
Aku beranjak untuk menutup pintu lalu kembali pada kursi belajarku dan melanjutkan membaca buku referensi yang baru kubeli tadi siang. Aku berniat menyelesaikannya malam ini agar bisa menyelesaikan tugas dari salah satu dosen lebih cepat.
Sayangnya niatanku kembali terhalang oleh bunyi notif dari hapeku. Aku tidak pernah men-silent hapeku, karena aku sudah menon-aktifkan notif dari ketiga sahabatku. Dimana hanya mereka yang akan menggangguku malam-malam begini. Jadi notif yang masuk itu pasti bukan dari Sir, Len ataupun Ver.
Why you didn’t come to left right café?
Aku membaca pesan itu dengan kening berkerut. Pikiranku berputar, mengira-ngira siapa yang mengirimnya, meski di sudut hatiku, aku dapat menebak siapa pengirimnya. Aku baru akan membalas dengan satu pertanyaan saat tiba-tiba ada telepon dari nomor yang sama.
Aku menggeser tombol hijau tanpa pikir panjang. “Halo,” bisikku pelan dan ragu. Lebih mirip pertanyaan malah.
“Aku menunggumu hampir dua jam di left right café. Kenapa kau tidak datang?”
Aku diam. Belum berani menjawab dan masih bimbang. Memperkirakan milik siapa kira-kira suara berat dan nge-bass ini. “Who is this?” tanyaku, hanya untuk memastikan bahwa aku cukup geer kalau Haz mantan Ketua BEM sedang menelponku.
“Haikal Zuhri, don’t you remember me?”
Oh…my…Haz really calling me. He is definitely call me, RIGHT NOW!
willyaaziza [ZMardha] Kelas 2 SMA Pesantren Media
Gud euy 😀 I’m waiting for the next story ^^ Fufufu :3