Aku tidak bisa untuk tidak melangkahkan kakiku mengabaikan Reza yang sedang berjongkok di dekat selokan jalan. Rencana gila apa lagi yang dia pikirkan sampai mengharuskannya jongkok di sana?
“Whatcha’ doing?”
Aku mendengar Reza mengumpat sambil memegang dadanya. Mungkin dia kaget, dan aku tidak peduli. “Whatcha’ doing?” tanyaku lagi.
“Kitten. She was trapping in the mud.” Aku melirik ke arah yang ditunjuk. Seekor kucing berwarna belang putih hitam cokelat yang kotor karena lumpur mengeong tanpa suara sambil berusaha menarik kaki-kaki depannya keluar.
“Pity for her, eh?” kataku setengah meledek tapi diabaikan Reza. Okay, mungkin dia benar-benar mengasihani kucing itu. “Just put her out!” kataku pada akhirnya.
“I can’t.”
“Why?”
“She didn’t like me. I’d tried it before, but she bit me.” Aku melihat tangan Reza yang memerah dan mengeluarkan darah.
“Lemme,” Reza bergeser. Aku menyerahkan tasku padanya dan ikut berjongkok sambil mengulurkan tanganku ke selokan. Euh… sangat menjijikkan. Baunya saja membuat perutku mual. Tapi untungnya kucing itu tidak menggigit atau menolak saat tanganku mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di trotoar, di samping Reza.
“Euh, smell so bad.”
“Thanks! Uh, lil-lil kitten. Have you named?” aku menatap gila Reza yang sedang mengelus-elus kepala kucing itu dengan telunjuknya. Tanpa jijik sama sekali. Bukan Reza yang kukenal seperti biasanya. Jangan-jangan dia kesambet setan?
“Freak!”
“My name is Reza. I’ll call you Kitten, lil cat. Nice to meet you!”
“Freak. Weirdo. Look ma hand. Full of mud. Euh… put my bag home! Bye!”
Aku berjalan meninggalkan Reza menuju ke rumah. Lama-lama aku bisa ikutan gila kalau meladeninya atau lebih lama bersamanya dan kucing penuh lumpur itu. Ergh. Tanganku bau sekali, apa isi selokan itu sebenarnya? Aku tidak berani membayangkan apa isinya! Menjijikkan.
Aku masuk rumah dan langsung berlari ke kamarku, melewati ibuku setelah mengatakan salam dan ‘ibu’ yang panjang. Bisa kulihat beliau langsung menutup hidungnya begitu aku lewat. Ugh, salahkan Reza yang menyebalkan itu.
Aku langsung merebahkan diri di kasur dan memutar playlist lagu-lagu AKMU setelah mandi dan merasa tubuhku harum kembali. 200%, salah satu judul lagu AKMU langsung terdengar sambil aku memainkan hape dan masuk ke grup chatku, Len, Sir dan Vera.
Lena Zahra: aku benci ini
Sarah Inge.R: what’s wrong?
Lena Zahra: Thim, where’re u, thim? I think already told u to come to the café
Vera Larasati: dimana, Thim? Gak dateng?
Sekarang sudah jam tiga dan aku mangkir dari jadwal nongkrong kami. Bukan tanpa alasan aku melakukannya. Hanya malas nantinya mendengar ocehan Len. Dan lagi aku punya banyak tugas dari Mr. Zid dan Mrs. Chaula. Aku tidak menahan diri untuk mangkir.
Fathimah A.Z: sorry ☹ i’ve many work to do
Lena Zahra: hgvgyghjhuuyyguhjjkduissxd
Fathimah A.Z: *rolling eyes*
Vera Larasati: eat that! Work…duty….
Sarah Inge.R: …
Lena Zahra: You cheat me!
Fathimah A.Z: Cheat what?
Sarah Inge.R: Kau sengaja mangkir!
Lena Zahra: (2)
Vera Larasati: (11)
Fathimah A.Z: *rolling eyes*
Aku mematikan hape dan menchargernya. Sengaja supaya tidak membaca ocehan teman-temanku yang merasa rugi karena aku tidak datang ke acara nongkrong kami. Bukannya aku tidak tahu kalau Len punya banyak hal yang ingin dibicarakan denganku. Sangat jelas ia memintaku untuk tidak mangkir di kantin, tadi. Tapi fakta bahwa apa yang akan dibicarakannya lah yang membuatku mangkir. Yah, alasan lain selain tugas-tugasku.
Tapi aku tidak ingin membahas alasan itu. Setidaknya, untuk sekarang, aku tidak ingin membicarakannya. Antara terlalu malas dan lelah. Dan karena makhluk kecil muncul begitu saja dari balik pintu kamarku yang sedikit terbuka.
Kucing yang kuambil dari selokan itu. Ugh, aku jadi teringat dengan baunya lagi! Aku mendengus kesal saat kucing itu menggoyangkan badannya ganas hingga air yang menempel di tubuhnya terbang kemana-mana. Reza pasti habis memandikannya. Dan dengan tidak sopannya kucing itu naik ke kasur lalu menggulung diri di atas selimutku.
“Kitten!”
“Your kitten, you bad-“ aku langsung menutup mulut saat Reza menatap nyalang. “Get her out!”
Tanpa banyak basa-basi Reza langsung mengambil kucingnya dan keluar dari kamarku diikuti gebrakan pintu yang membuatku tidak bisa menahan diri untuk kesal dan membalasnya dengan lempara bantal yang mendarat mengenaskan di lantai setelah menabrak pintu.
Tapi serius. Kenapa Reza punya niatan untuk memelihara hewan peliharaan. Belum lagi notabenenya kucing itu liar, ditemukan terjebak di antara lumpur di selokan. Dan bau! Euh, kurang apalagi, sih? Reza pasti benar-benar kemasukan setan sampai berniat untuk membawa kucing itu dan mungkin menjadikannya hewan peliharaan.
Aku mengubur semua pertanyaan tentang Reza sebelum menjalankan rutinitasku dan berakhir dengan tenggelam dalam tumpukan tugas dari Mr. Zid dan Mrs. Chaula. Walau pada akhirnya aku hanya berkutat dengan tulisan-tulisan yang meskipun kubaca berkali-kali malam itu tetap tidak masuk ke otak. Banyak alasan yang membuatnya demikian. Dan itu membuatku merasa kesal karena Len mengungkitnya tadi pagi. Ugh, aku kesal-bukan benci-pada Len.
Aku sudah hampir tertidur setelah membaca bab tiga salah satu SKS yang diajarkan Mrs. Chaula yang entah membahas apa saat hapeku yang sebelumnya sudah kunyalakan lagi, berbunyi. Aku membukanya dan tidak heran notif pesan yang masuk bukan salah satu dari ketiga temanku. Semua kontak mereka aku matikan notifnya, ngomong-ngomong.
Tapi aku bingung saat melihat isi pesan yang kuterima, lebih lagi nama pengirim yang tertera di paling bawah pesan. Maksudnya, aku bukan tipe popular seperti Len apalagi Jess yang mampu dikenali mantan ketua BEM kampus yang sudah lulus dan sekarang sedang menempuh S2-nya di salah satu universitas terkenal.
Jadi, tidak heran aku sangat bingung dan heran-garis bawah tebali-saat membaca isinya yang memerintah: ‘Meet me in left-right café, thursday. -Haz’. Jelas itu ajakan ketemuan yang biasa digunakan cowok-cowok kalau mereka ingin menyatakan perasaan atau sejenisnya. Bahkan orang cupu yang hidupnya terasingkan dipedalaman Suku Fak-Fak yang nyasar kek Irian Jaya saja tahu.
Sangat wajar kalau aku merasa itu salah sambung. Pasalnya, selain aku yang hanya mengenal wajah dan namanya dan tidak pernah mengobrol sekalipun dengannya, atau fakta bahwa aku bukan tipe populer yang cukup penting untuk dikenal orang selevel mantan ketua BEM. Atas dasar apa seorang Haz mengajakku ketemuan?
Aku melempar hapeku asal ke atas kasur kemudian kembali menenggelamkan diri dengan tugas yang tadi sempat terpotong kantuk dan notif hape. Dan aku benar-benar tidak sadar kapan aku sudah menyandarkan kepala di atas buku dan tertidur terlalu lelap.
To be continued….
[ZMardha] willyaazia, Bogor
Santri kelas 1 SMA (naik kelas 2) Pesantren Media