Loading

“Haha, lookie there, the liar one!”

Aku memutar bola mataku malas dan bosan. Itu ledekan kesekian Jess padaku yang sudah mengaku padanya kalau aku tidak bisa membuat satu judul komik dalam semalam. Aku sudah malas bertanya-tanya kapan Jess akan menghentikan ledekkannya, karena sejak tadi pagi setiap bertemu denganku dia pasti akan meledekku. Lagi.

Karena aku terlalu malas dan malu untuk meladeni Jess, jadi aku tetap melanjutkan langkahku menuju kantin. Melepas penat setelah kelas Mr. Riz yang memuakkan tapi menyenangkan, dan ledekkan tiada henti dari Jess juga beberapa bebeknya yang juga saksi perkataanku. Hebat. Beruntunglah Jess punya bebek yang siap mendukungnya. Dan betapa bodohnya bebek-bebek yang mengekor Jess.

Full of the-rolling-eyes.”

Aku tidak bisa tidak terkejut saat mendengar suara itu yang begitu tiba-tiba tepat saat aku berbelok di pertigaan koridor. Aku menatap horor Zid. Yah, Mr. Zid sebenarnya, tapi dia menganggap dirinya seumuran dengan murid-muridnya dan memaksa kami memanggilnya Zid. Hanya Zid. Padahal umurnya terpaut lima tahun di atas kami. Muda untuk ukuran dosen, benar?

You shocked me.” Zid mengangkat bahunya tak peduli sambil mensejajarkan langkahnya denganku. “Is that bad, rolling eyes to react?” tanyaku pada akhirnya. Reza menyuruhku berhenti melakukannya, padahal itu refleks dan aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Dan kalau Zid juga mengatakan demikian, apakah itu berarti buruk?

No. But it scared. Like your eyes will realise while you rolled it. Aku tidak tahu bagaimana reaksiku nanti jika melihat matamu benar-benar copot.”

Teori yang menakutkan. Tapi aku mengangguk, “So it doesn’t mean I must to stop do it, right?” Zid terlihat berpikir sebentar sebelum mengangguk ragu.

But, actually, it’s good to stop it. Some people didn’t like it, and you look underestimate them. Lebih baik berhenti. Can you?”

I would think it. Bye Zid.”

Aku duduk di kursi setelah menemukan teman-temanku berkumpul. Vera dengan siomaynya, Len dengan mie ayamnya, Sir dengan jusnya. Dan aku mengangkat tangan sambil meneriakkan ‘bakso satu, yang pedes’ ke penjual bakso.

“Berbicara dengan Mr. Zid lagi, eh?” aku mengangguk sambil lalu.

My lil princes, did you ever think that Mr. Zid was liking you?”

My lil doll, did you ever think that I’m to ugly to being his like one?” kataku sarkasme. Ini sudah kesekian kalinya Len mengatakan hal demikian. Bahwa Zid menyukaiku atau sesuatu sejenisnya. Dan darimana dia bisa dapat kesimpulan seperti itu? Aku tidak pernah dan tidak ingin bertanya.

Aku berterimakasih saat bakso pesananku datang. “Semester depan aku akan mengambil hampir tiga puluh SKS sepertinya.”

“Tidak cukup terkejut jika aku mendengarnya dari mulutmu. Kecuali mungkin Vera kemasukan setan dan ingin melakukannya juga.” Aku terkekeh saat Vera langsung memukul jidat Len dengan sendok.

“Aku mengambil hampir tiga puluh SKS juga kalau kalian lupa.”

“Gosip cepat beredar. Jess mencari masalah lagi denganmu?” aku mendengus mendengar pertanyaan Sir tanpa mau menjawabnya. Lagi pula, memangnya penting?

“Oh, aku tidak tahu kalian akan bersikap kekanakan seperti itu sampai kapan. Sejak SMA kalian selalu seperti itu. Act like hate each other.”

“Tapi khawatir saat salah satunya dalam masalah,”

“Aku penasaran. Jangan-jangan kalian lesbi.” Aku langsung melempari Len yang bicara asal dengan sendok. Sejujurnya, aku menahan diri untuk tidak menyiramnya dengan kuah bakso panasku yang sudah dimasuki sambal tiga sendok makan penuh.

“Hati-hati kalau bicara, Len. Kata-kata adalah doa.” Aku bersyukur Sir menyelaku berbuat lebih pada Len.

Yah, pasalnya aku juga merasa aneh dengan diriku sendiri yang memang terlihat tidak menyukai-bukan membenci-Jess. Begitupun sebaliknya. Saat SMA dulu aku cukup dekat dengan Jess untuk saling berbagi cerita. Faktanya, kami bersahabat. Tapi akhir kelas sebelas kami bertengkar yang alasannya sudah aku lupa. Dan sampai saat ini sepertinya dendam karena pertengkaran itu masih ada. Aku jadi penasaran kenapa kami bertengkar waktu itu.

Tapi seperti yang dikatakan Vera, aku selalu mengkhawatirkan Jess kalau dia sedang dalam masalah. Seperti waktu itu, saat senior melabrak Jess di depan umum dan menuduhnya tukang cari perhatian sampai merebut pacarnya atau sejenisnya.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terlibat dan mengandalkan kata-kata sarkasmeku untuk memojokkan senior itu. Untuk kesekian kalinya aku bersyukur menjadi sarkasme dan ceroboh. Tapi setelah senior itu pergi dengan rasa malunya, aku malah menatap Jess penuh olokan yang dibalasnya menatap menilai sebelum pergi sambil mengibaskan rambut ombrenya. Tepat di wajahku! Ucapan terimakasih yang begitu indah.

Sir bilang mungkin aku terkena syndrome ex-protective-friend atau sejenisnya. Aku bahkan tidak yakin sindrom itu benar-benar ada. Yah, terserahlah. Toh aku cukup menikmatinya. Memberi warna pedas pada hidupku untuk sekedar bersenang-senang dan refreshing cukup bagus, kan?

Len berdiri, “Aku punya kelas, sampai jam dua. Kita bertemu di café biasa, okay? Dan kau,” aku menatap telunjuk Len datar, “I’ve a lot to talk to you. Don’t miss it! I’ll wait for you!”

“Shuh, go then! Ten minutes more!” Sir mengusir Len pergi yang dibalas dengusan malas.

How ‘bout you? Have any class?” Sir menggeleng sementara Vera mengangguk. Kasihan Vera, “I need to go to book store. Anyone join?”

Me,”

“Tidak. Aku seharusnya ikut. Ada tas limited yang kuinginkan.” Aku menepuk pundak Vera, berusaha menghiburnya. “Ugh, kelas Mr. Simon melelahkan. Aku sudah mangkir tiga kali dan dia tidak memberikan kompensasi lebih dari itu.”

Your bad. Bye, Ver!”

To be continued…

[ZMardha] willyaaziza, Bogor

Santri kelas 1 SMA (naik kelas 2) Pesantren Media

By Zadia Mardha

Santri Pesantren Media kunjungi lebih lanjut di IG: willyaaziza Penulis dan desainer grafis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *