Loading

Siang belum beranjak pergi meski mentari sudah tak menampakkan kemilaunya sedari tadi. Pucuk dedaunan meneteskan sisa bulir hujan tadi pagi selepas subuh. Udara dingin merayapi dinding bangunan rumahku yang putih dan kokoh.

Aku sedang duduk di atas sofaku yang hangat dan empuk berwarna krem dengan garis-garis coklat vertikal ketika kudengar bel berbunyi.

Gerakan tanganku yang akan menyuap sepotong kecil kue truffle coklat terhenti di udara. Rasa kesal tiba-tiba menggumpal di dada. Siapa yang berani mengganggu istirahatku di hari Minggu? Semua klien dan karyawanku tahu aku paling tak suka diganggu di hari libur begini. Kedua anakku juga tidak ada yang memberi kabar bahwa hari ini mereka akan berkunjung.

Semenit kemudian, Bi Nah, pembantuku, berjalan tergopoh ke arahku.

“Bu, ada yang pengen ketemu Bapak Soetomo. Katanya penting…” Bi Nah bicara sembari tertunduk-tunduk.

“Lho, Bi Nah ini gimana sih?! Sudah tahu saya dan suami itu tidak ingin ditemui sewaktu hari libur. Terutama hari Minggu. Sudah pikun ya?!” semprotku kesal pada perempuan berumur 60-an itu.

Bi Nah langsung pias.

“Saya masih ingat, Bu. Hanya saja Non yang datang itu memaksa. Katanya ini perihal sensasi. Aduh, apa ya? Saya lupa Bu.” Wajah pias Bi Nah berubah bingung.

“Ah sudah, pergi sana! ” usirku. Dengan berat hati, kuletakkan potongan truffle coklatku di atas meja. Dalam hati, aku bersyukur. Andai tak ada tamu, maka itu adalah potongan kelima truffle coklat yang masuk ke perutku. Hal itu akan menambah timbunan lemak di bawah perutku.

Bergegas aku menuju ruang tamu. Di sana, di atas karpet merah muda tebal dan lembut yang menghiasi lantai ruang tamuku, berdiri seorang gadis berusia sekitar 25 tahun. Wajahnya sederhana, dibalik gamis dan kerudungnya yang tak kalah sederhana. Ia sedang mengamati guci-guci antik buatan Jepang yang tersebar di pojok-pojok ruangan.

Aku berdehem, dan itu membuatnya terkesiap.

Aku tak langsung menyapanya, namun justru mengamatinya dari kepala hingga ujung kakinya yang berkaos kaki. Sepertinya aku pernah melihatnya.

“Assalamu’alaikum Bu. Saya Sabrina, salah satu tenaga pengajar di Stikes Sarana Mustika milik Ibu”  mata beningnya, tajam menatap bola mataku.

“Ya, saya pernah melihat Anda.” Aku duduk dan memberi isyarat padanya agar duduk di hadapanku.

“Ada apa? Anda datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Mungkin Anda perlu belajar lagi perihal sopan santun.” Kataku datar.

Wajahnya tampak terkejut dengan sambutanku, namun sedetik kemudian ia tersenyum dingin.

“Saya minta maaf Bu Novita. Seandainya saya memberi tahu ibu terlebih dahulu tentang kedatangan saya, saya khawatir Bu Novita tidak bersedia menemui saya.”

“Lalu, untuk apa Anda datang ke sini? Kalau tidak salah, SK Pemberhentian Anda sudah keluar Rabu kemarin.” aku mulai gusar.

“Ya, itu yang saya sayangkan. Bu Novita memberhentikan saya, tanpa mendengar konfirmasi langsung dengan saya.”

“Untuk apa? Informasi dari Bu Sulastri itu sudah lebih dari cukup. Beliau adalah wakil ketua STIKES Sarana Mustika. Beliau juga tangan kanan saya.” Tandasku. Kata-kataku ini cukup memuakkan. Kuharap ia tahu diri dan mundur.

Namun ia justru tersenyum sinis. “Sayang sekali jika pemimpin seperti Bu Novita ternyata tidak cukup bijak. Saya harap Ibu bisa mendengar dulu somasi dari saya ini” suaranya terdengar sangat tenang.

“Hari itu saya dipanggil oleh ibu Sulastri. Beliau mengatakan bahwa beliau mendapat aduan tentang saya yang menolak melakukan vaksinasi terhadap mahasiswa baru. Beliau menanyakan mengapa? Saya jawab dengan argumentasi saya perihal vaksin. Detik itu juga, tiba-tiba beliau meminta saya mengundurkan diri. Orang yang menolak vaksin, katanya tidak bisa bekerja di STIKES.”

“Lho, menurut saya, pernyataan Bu Sulastri itu sudah jelas.” Sergahku.

“Masalahnya, hal ini bertentangan dengan beberapa pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan Bu. Seharusnya saya diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga terlebih dahulu. Jika tidak, ibu bisa memberikan skorsing.  Pada kasus saya, saya langsung menerima SK Pemberhentian.”

“Hm…lalu?”

“Selain itu, Ibu dilarang melakukan PHK terhadap pekerja dengan alasan perbedaan paham. Dalam hal ini saya berbeda paham tentang vaksin dengan Bu Sulastri. Hanya karena itu, beliau tidak berhak melakukan PHK terhadap saya.”

“Tidak usah dijelaskan. Teruskan saja.”

“PHK dilakukan terhadap pekerja, misalnya karena pekerja melakukan pencurian dan sejenisnya. Bisa juga karena si pekerja melakukan penganiayaan, ceroboh dan seterusnya. Dalam hal ini, saya tidak termasuk dalam semua kriteria pada pasal tersebut.”

Hening sesaat. Suara detak jarum jam seketika membahana.

“Apa yang Anda harapkan dari somasi ini?” Ucapku akhirnya. Aku menatapnya dengan angkuh.

“Saya mohon, SK pemberhentian saya dicabut dan adanya permintaan maaf secara tertulis.” Ia balas menatap tajam.

Seketika itu juga aku tesenyum sinis. Pernyataannya tadi, terdengar menggelikan.

“Siapa engkau Nona? Berani memerintahku? Lagipula, engkau tidak akan nyaman bekerja di sana lagi. ”

Wajahnya memerah. “Saya tahu. Oleh sebab itu, saya membutuhkannya untuk bekerja di tempat lain.”

“Saya tidak akan melakukannya.” Tandasku. Sikapku tampak semakin pongah dan ia menatapku dengan sangat muak.

Kudengar, ia menghela napas panjang. Tampak sekali ia sedang menahan emosinya. Diam-diam, aku memujinya dalam hati. Ia terlihat dewasa dibanding usianya.

“Baiklah Bu Novita, saya tidak akan memaksa. Saya akan menyelesaikannya dengan cara saya sendiri.” Gadis itu menghela napas.

“Berarti, urusan Anda sudah selesai. Ada lagi yang ingin Anda sampaikan?” Aku mencoba basa-basi. Sementara aku sendiri sudah bangkit, meninggalkan sofaku yang empuk.

“Masih ada, Bu. Saya mohon satu hal,” matanya meredup dan tiba-tiba jari tangannya bergerak menyentuh tanganku. Aku terkejut dan segera menepisnya.

“Saya mohon, STIKES Sarana Mustika, berhenti melakukan vaksin terhadap mahasiswa baru. “ sambungnya dengan nada rendah.

Aku menatapnya tajam. Sikapnya melunak, namun kata-katanya justru membuatku meradang.

“Saudara Sabrina, tahu apa Anda tentang vaksin?! Anda itu anak kemarin sore! Sementara vaksin itu sudah diteliti puluhan tahun yang lalu. Jika memang terbukti vaksin itu berbahaya, ia tidak akan digunakan lagi jauh-jauh hari sebelum kau lahir.”

“Banyak fakta tentang vaksin yag disembunyikan Bu. Tidak pernah dipublikasikan. Di Amerika, Jerman, Los Angeles, Meksiko, Haiti, Afrika, Kansas dan masih banyak negara lainnya. Alih-alih mereka sehat. Vaksin justru menyebabkan anak-anak terbunuh.”

“Saudara Sabrina, Anda itu termakan isu. Jangan terlalu banyak membaca artikel-artikel yang meyesatkan.Seandainya saja tak ada vaksin, niscaya banyak anak-anak yang mati, cacat, baik fisik mau pun mental.”

“Selain itu, setahu saya, kandungan yang ada pada vaksin juga tidak halal bu.  misalnya enzim tripsin babi yang ada pada vaksin polio. Perusahaan-perusahaan farmasi banyak yang mengakuinya.”

Habislah sudah kesabaranku. Gadis ingusan ini sedang berusaha mempengaruhiku. Aku segera melangkah ke pintu dan memberinya isyarat untuk keluar.

“Waktu Anda sudah habis. Anda ini benar-benar tidak beretika. Datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, memojokkan saya dengan somasi dan sekarang menasehati saya. Silahkan Anda keluar!” Ubun-ubunku nyaris berasap.

Ia tersenyum kecut, namun sekali lagi, ia benar-benar gadis yang tenang. Langkahnya masih terlihat anggun ketika menuju pintu.

Selepas kepergian Sabrina, aku segera menaiki tangga, menuju ke kamarku yang berada pada lantai atas. Perdebatan tadi membuatku sedikit lelah. Namun, ketika melewati ruang keluarga, di sebuah kamar yang pintunya terbuka sedikit, aku mendengar erangan marah.

Aku tahu pasti itu erangan siapa. Erangan itu berasal dari anak bungsuku, Riana, yang berumur 8 tahun. Ia sedang menolak disuapi oleh baby sitter kami, Mila.

Riana terlihat marah dan mengerang-erang. Dibaliknya buburnya dan dilemparkannya ke arah Mila. Seketika seragam putih Mila berlumuran bubur. Mila menjerit kaget.

Aku mengintip kejadian itu sembari menahan napas. Riana nyaris tak mengerti apa-apa di usianya yang genap 10 tahun. Anak bungsuku itu mulai mengalami keterbelakangan mental saat usianya 5 tahun. Beberapa bulan setelah mendapat vaksinasi DPT, ia mengalami kejang hebat yang menyebabkan kerusakan pada otaknya. Setelah itu, Riana nyaris tak mengalami kemajuan apapun.

Diagnosa yang didapat adalah, Riana  mengalami Kejadian Luar Biasa pasca imunisasi.

Aku menarik napas dalam-dalam. Ada setetes cairan bening bergulir dari celah pelupuk mataku. Kata-kata tamuku tadi bagai rekaman yang diputar ulang. Meremas otakku dan menarikku dalam kesadaran.

Tiba-tiba kudengar langkah kaki dari arah kamarku. Cepat kuhapus airmata yang sempat bergulir. Kutegakkan kepala dan sigap merapikan riasanku. Dunia tak boleh tahu aku menangisi hal ini. Begitu pula suamiku. Tak seorangpun. Tak seorangpun…..

Sedetik kemudian.

“Papah sudah bangun…” senyumku mengembang. Palsu.

 

Bogor, 15 Januari 2013

[Wita Dahlia, santriwati kalong, Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai tugas menulis cerpen, dan menjadi bagian dari tugas menulis di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Farid Ab

Farid Abdurrahman, santri angkatan ke-1 jenjang SMA (2011) | Blog pribadi: http://faridmedia.blogspot.com | Alumni Pesantren MEDIA, asal Sumenep, Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *