Rabu, 6 April 2016. Pesantren Media kembali melaksanan agenda rutin mingguan, diskusi aktual. Tema yang diangkat pada diskusi aktual kali ini adalah “Sentimen Agama di Pilgub DKI”
Seperti biasa, diskusi akan didampingi oleh Ustadz O.Solihin, dan dipimpin oleh 2 orang moderator dari Akhwat Zahratun Nissa (Kelas 3 jenjang SMA) Amillah Shalihah Army (Kelas 1 jenjang SMP) dan notulen Fathur Rahman Al-fatih.
Setelah mendengarkan prolog serta beberapa informasi dari Ustadz Oleh, sesi pertanyaan pun dibuka.
Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Fathimah “Ada pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik pemimpin non muslim tapi baik daripada pemimpin muslim tapi korupsi atau nggak baik, nah itu bagaimana penjelasannya?” lalu diikuti oleh beberapa pertanyaan dari santri yang lain. Karena waktu yang terbatas sehingga hanya terkumpul 6 pertanyaan saja.
Setelah 6 pertanyaan Terkumpul sesi jawaban pun dibuka. Pertanyaan dipilih secara acak oleh no tulen.
Pertanyaan pertama dari Kak Fathimah“Ada pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik pemimpin non muslim tapi baik daripada pemimpin muslim tapi korupsi atau nggak baik, nah itu bagaimana penjelasannya?”
– Abdullah: sebenarnya di dunia ini semua muslim, kalau muslim yang nggak baik berarti dia tidak termasuk muslim. Kan di dunia ini masih banyak muslim yang baik, kita cari aja muslim yang baik. Intinya pemimpin itu harus islam dan baik, kalo islam tapi jahat itu namanya dzolim nggak termasuk muslim
– Ela: pendapat yang seperti itu pendapat orang awam, jadi seakan memilih pendapat yang tidak bisa dipilih, kalo misalnya pemimpin kafir itu baik yaaa paling baik nya di luar, didalemnya ada niatan buruk. Misalnya ahok bisa saja mengembalikan Indonesia seperti ke zaman Suharto ketiika Indonesia di permainkan oleh cina, saham-saham yang dimiliki Indonesia diambil cina dan perbuatan curang lainnya. Kalo seperti itu tetep harus memilih muslim, karena semua bebannya di tanggung oleh pemimpin, sehingga yang diminta pertanggung jawaban nanti yaa pemimpinnya. Jadi kalo misalnya ada pendapat seperti itu tetep harus milih muslim karena itu pendapat orang awam yang sama sekali tidak bisa dipilih
– Difa: ketika seorang muslim berbuat dzolim pasti bakalan diminta pertanggung jawabannya oleh allah, jadi kalo kita milih Pemimpin muslim ketika berbuat dzolim yang dimintai pertanggung jawaban kan pemimpinnya. Sedangkan ketika kita memilih pemimpin yang kafir kan yang bakalan dimintai pertanggung jawaban kitanya “kenapa memilih orang kafir?”. Jadi masih mending lah kalo pemimpin muslim tapi jahat dari pada non muslim tapi baik, tapi jangan sampe.
Pertanyaan Selanjutnya dari Abdullah “Bolehkah kita menjadi gubernur tapi niatnya untuk menerapkan hukum islam? Nah kalo gitu boleh gak ikut pilgub?”
– daffa: kalaupun memang mau jadi gubernur seperti itu boleh, tapi karena sistemnya sudah salah dari awal jadinya susah. Kalaupun jadi gubernur udah nerapin hukum islam, nanti ujung-ujungnya tetep pake hukum demokrasi. Jadi intinya nggak boleh jadi gubernur kalo sistemnya masih demokrasi.
Pertanyaan selanjutnya dari Kak Nissa “Di Indonesia itu pake sistem demokrasi jadi kalo kita milih kan gak boleh karena sistemnya bukan sistem islam, Kalo kita niatnya memilih supaya pemimpin kafirnya nggak kepilih, bagaimana hukumnya?”
– Ustadz Oleh: Jadi ini memeang problem. Dulu kita pernah mendengar fatwa MUI tentang rokok yang tidak efisien dan efektif mengubah kebiasaan orang merokok. Terus juga ada fatwa tentang larangan GOLPUT atau Golongan Orang Putih supaya masyarakat menggunakan hak pilihnya terutama pada PILKADA, PILPRES. Tapi bukan berarti fatwa itu menjadi aturan, tetapi fatwa masih bisa diperdebatkan cuman biasanya untuk meminimalisir kekisruhan yang terjad. Nanti ketika PILGUB DKI atau PILKADA kelihatannya dugaan Ustadz Oleh nanti akan muncul juga fatwa baru untuk memilih pemimpin yang muslim. Nah, kendalanya sejauh mana efektivitas dari fatwa tersebut dan sebagai seorang muslim suatu perbuatan itu terikat hukum sara’. Misalnya Nufus mau minum khamr boleh nggak fus minum khamr? Nggak boleh, kalo maksa minum berarti berdosa nggak? Berdosa, nah karena itu ada hukum atau aturannya. Ketika kita akan melakukan sesuatu itu pasti ada hukum yang mengaturnya. Nufus kalo sholat maghrib dikerjakan bukan di waktu maghrib itu boleh nggak, atau misalnya Nufus pake kerudung nggak boleh. Jadi melakukan sesuatu pasti ada konsekuensinya atau aturannya. Sesuatu itu misalnya hukumnya wajib, sesuatu itu hukumnya sunah, makruh, mubah, atau haram. Kalo wajib itu udah pasti kalo dilakukan dapat pahala nggak dilakukan dapat dosa, sunah dikerjakan dapat pahala ditinggalkan nggak dapat apa-apa bisa jadi rugi, mubah dikerjain nggak dapat apa-apa ditinggalan nggak dapat apa-apa tapi dalam hal-hal yang bermanfaat, makruh dikerjain nggak dapet apa-apa ditinggalkan dapat pahala, kalo haram udah jelas dikerjain dapet dosa ditinggalkan dapet pahala. Nah, bagaimana memilih pemimpin dalam islam? Kita harus tahu dulu wadahnya apa, kalau sekarang kan wadahnya sistem demokrasi yang memang mengharuskan demikian. Makanya daripada ribut pro kontra muslim atau non muslim ya sudah diganti saja sistemnya. Karena kalo kita cerewet mau ini mau itu demokrasi tetap menghendaki begitu siapapun boleh menjadi pemimpin. Itu persoalannya mau teriak-teriak juga ngapain karena ini kan demokrasi. Jadi sama kayak peraturan PM tapi ada orang luar yang ngubah nggak bisa, atau misalnya peraturan SMA 1 kita pengen ubah jadi aturan PM yaa nggak bisa. Nah, jadi dalam demokrasi yaa memang aturannya begitu boleh pemimpin non muslim siapapun mereka nggak peduli asalkan warga negara indonesia udaah jalan, nah itu yang dikehendaki demokrasi yang memang aturannya begitu. Sudah pasti bertentangan dengan aturan islam sehingga ketika kita memilih dalam aturan islam atau khilafah pemimpin yang non muslim nggak boleh karena aturannya harus beragama islam dan laki-laki kalau memilih pemimpin negara. Kalau pemimpin wilayah wali atau gubernur tetap harus laki-laki. Jadi solusinya kalau memang mau betul-betul menerapkan syariat islam harus diubah dulu sistemnya, jadi kalo ahok mau nyalonin diri nggak akan bisa ini aturan islam. Tapi persoalannya dalam kondisi yang sekarang bisa nggak atau belum tentu bukannya tidak bisa. Sehingga ketika mending milih pemimpin islam tapi korupsi atau milih non muslim tapi baik. Sebenarnya nggak ada mendingnya sih logika mending emang kayak gitu jadi sama aja kayak mending sholat tapi jahat atau mending nggak sholat tapi baik yaa nggak ada mendingnya. Karena logika mending cuman ngasih dua pilihan padahal pasti ada pilihan yang ketiga lebih baik sholat tapi akhlaknya baik mendingan milih yang ketiga. Kalo pemimpin non muslim tapi baik tetep masuk neraka, Nelson Mandela baik tapi masuk neraka, bunda Teresa baik tapi masuk neraka, nah sekarang pemimpin muslim jahat korupsi tapi masuk surga, karena masuk surga punya syarat. Analoginya ibaratkan kayak mobil, nah mesin sama rodanya ibaratkan muslim kalo bodynya, kacanya, dan lainnya itu aksesoris. Kira-kira kalau aksesorisnya saja jalan nggak ya tentu nggak. Tapi kalo mesin sama rodanya itu bisa jalan sama kayak dipabrik waktu tes. Nah begitupun kalau masuk surga harus ada lisensinya lisensinya ya muslim karena sudah dijelaskan dalam al-qur’an “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (Al-Baqarah ayat 6). Jadi bagaimanapun juga lebih baik muslim atau lebih baik lagi muslim tapi baik. Nah, bagi teman-teman yang mau ikut milih atau mencalonkan ya silahkan, tapi jangan berpencar karena kalo misalkan. Ada 3 calon yang satu Ahok yang dua lagi muslim kemungkinan besar ahok menang, walaupun Ahok dapat suara 40% muslim yang pertama 35% yang satu lagi 25%, tetap saja yang menang ahok. Kalau mau 1 lawan 1 supaya masyarakat gampang memilihnya. Yaa temen-temen di Jakarta silahkan milih kalau saya nggak ikutan milih karena saya orang bogor. Nah ini mencakup semua pertanyaan tadi sebetulnya.
Karena waktu yang terbatas, dan ada beberapa pertanyaan yang jawabannya sama atau satu arah . Diskusi aktual ditutup dengan membaca Do’a Kafaratul Majlis.
[Fathur Rahman Al-fatih, santri angkatan ke-4, jenjang SMP, Pesantren Media]