Sebenarnya, ini bukan tulisan karyaku. Tulisan ini, adalah tulisan karya Umiku untukku. Umi bisa menuliskan sebagaimana perasaan yang aku rasakan dan telah kusampaikan kepada Umiku. Tulisan ini dibuat ketika aku masih kelas satu SD.
Ok.. Begini ceritanya..
SEMPOA ITU HANYA SATU OLAH RAGA OTAK
Selama ini aku selalu merasa pelajaran sempoa itu susah! Pasti kalian juga merasa begitu. Belum lagi kalau Bu Guru membuat quiz. Wah . . . , belum apa-apa sudah merasa berat.
Suatu hari umiku bertanya, ”Hayo, tiga tambah lima tambah tujuh berapa….!” Aku langsung mengatakan, ”Nggak bisa mi…, sempoanya ditinggal di sekolah.” Umiku keheranan, ”Lho, menghitung nggak harus dengan sempoa, kan ada jari-jari tangan. Bisa juga dengan membayangkan ada bola-bola kelereng di dalam pikiran kita.
Aku tetap tidak mau berhitung kalau tidak ada sempoa. Umiku pun tidak memaksa. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin heran dengan sikapku.
Tapi besok akan ada olimpiade sempoa. Payahnya semua anak harus ikut. Hari ini aku pulang sekolah sambil berkeluh kesah kepada umiku.
”Aku tidak bisa menghitung cepat.” Kataku kepada umi. “Padahal sempoa itu harus cepat-cepatan.” Umiku mengerutkan keningnya memandangku.
Sore hari setelah aku mandi dan sholat ashar, umi mengajakku duduk. ”Kau tahu otak?” katanya sambil menyentuh kepalaku.
“Otakku ini, yang seperti komputer?” kataku sambil menunjuk kepalaku sendiri. Di dalam kepala kita ada otak. Aku ingat dulu umi pernah menyamakan otakku dengan komputer yang canggih. Supaya otakku bisa bekerja baik, maka harus dimasukkan banyak catatan-catatan. Belajar itu adalah memasukkan catatan ke dalam otak.
”Yaa benar. Mari kita anggap sempoa itu olah raga otak.” Kata umiku. Aku penasaran dengan olah raga otak. Umi lalu menyediakan kertas dan sempoa di depanku. Hai ternyata umi sudah menuliskan soal-soalnya. Banyak juga ya, ada 100 soal. Seperti yang dibuat Bu guru. Umi mengambil handphone yang ada penghitung waktu. Aku merengut. Aku malas ditest lagi.
Umi kemudian bercerita,” Pernahkah kau ikut lomba lari?” Aku mengangguk. ”Supaya berhasil sampai dengan cepat ke garis finish, kita harus konsentrasi ke tujuan akhir. Kemudian kita berlari sekencang-kencangnya. Menggerakkan tangan, kaki dengan sikap tubuh yang sebaik-baiknya. Kita tidak boleh melakukan pekerjaan yang lain. Tidak boleh sambil membaca, menoleh ke kiri ke kanan atau makan permen. Pokoknya semua pekerjaan lain tidak boleh, selain hanya berlari dengan baik.” Aku mendengarkan umiku dengan serius. ”Semakin sering kita berlatih berlari, maka semakin cepat kita bisa berlari. Tangan kita bisa bergerak semakin cepat. Kaki kita bisa melangkah semakin cepat. Sikap tubuh kita juga akan semakin baik. Sama seperti sempoa.” Aku mendengar kata-kata umiku. Menarik juga, karena aku suka berlari-lari. Naik sepeda pun kadang-kadang ngebut, kalau tidak ketahuan umiku, he… he…
”Menghitung dengan sempoa, itu olah raganya otak.” Umi meneruskan kata-katanya. ”Kita harus konsentrasi agar soal-soal bisa dijawab. Mulai dari nomor satu, dua, tiga dan seterusnya. Jangan menghitung sempoa sambil menoleh kiri kanan. Sambil makan juga tidak boleh. Jangan pedulikan suara-suara yang ada, karena bisa berpengaruh pada kecepatan.”
Aku bertanya, ”bagaimana kalau ada suara ribut di sekeliling kita?” Umiku kembali bertanya.
”Kalau kau sedang lomba lari cepat, apa kau berusaha mendengar suara-suara di sekelilingmu?” Aku menggeleng.
”Nah seperti itu berhitung dengan sempoa,” Umi memandangku.
”Bagaimana kalau kita coba?” Aku mengangguk. Aku mulai berolah raga otak. Umi mengatakan semakin sering berlatih berlari, larimu akan semakin kencang. Semakin sering otak berolah raga, semakin cepat otak bekerja. Untuk itu, kata umi jangan malas berolah raga otak. Nanti otak kita bisa jadi malas.
Umi juga mengatakan bahwa olah raga otak tidak hanya dengan sempoa. Dengan jari tangan juga bisa. Bahkan yang terbaik adalah hanya dengan membayangkan. Karena dengan membayangkan, di otak kita bisa ada sempoa. Bisa ada jari tangan, bahkan juga bola-bola kelereng yang bisa dipakai menghitung.
”Untuk apa kau menghitung?” Umiku bertanya. Aku tidak menjawab. Umi bertanya lagi,”Untuk apa kau menghitung semua angka-angka ini?”
Aku menjawab, ”Supaya aku tahu jumlahnya.” Umiku tersenyum senang.
”Kau memang pintar.” Aku senang disebut pintar oleh umiku. ”Tujuan menghitung adalah tahu jumlah yang dihitung.” Umi menunjuk sempoa, ”Bisa dengan sempoa.” Lalu ia menunjuk batu-batu di halaman. “Bisa dengan batu-batu.” Lalu ia memegang jariku, ”Bisa dengan jari-jari.” Umi memandangku, ”Ada banyak cara untuk menghitung. Kita boleh belajar banyak cara.” Lalu umi tertawa, ”Umi bisa menghitung banyak angka dengan sangat cepat.”
”Bagaimana caranya?” Tanyaku penasaran.
”Dengan kalkulator!” Kata umi sambil menunjuk handphone yang ada kalkulatornya. Aku mencoba merebut handphone umi. ”Hai jangan, ini untuk menghitung, sementara kau harus olah raga otak.”
” Mengapa umi boleh dengan kalkulator, aku tidak?” Aku protes.
”Karena umi harus menghitung keuangan, sementara kau harus olah raga otak. Olah raga otak itu baik bagi kecerdasanmu.”
Agak susah mengerti maksud umiku. Tapi karena aku mau jadi anak cerdas, jadi apa salahnya olah raga otak. Sekarang aku tidak menganggap sempoa itu susah. Anggap saja olah raga otak!
Agar cerita ini lebih terlihat nuansanya, aku merekam dan mengedit suaraku dengan mencampurkan beberapa instrumen. Karya rekaman ini pula yang aku kumpulkan saat pelajaran audio asuhan Ustadz Purwa Ariandi.
Link untuk SEMPOA ITU OLAH RAGA OTAK .mp3