Loading

 Sejarah Antara Aku dan Ismail

 

Hari ini adalah hari sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Tetapi, hari ini bukan hanya tentang mereka. Jangan lupakan aku. Aku juga berhasil menjadi sejarah sejak empat tahun yang lalu. Ya, tapi tetap saja, aku kalah istimewa dengan Ismail. Bagaimana tidak, ritual – ritual untuknya tetap dijalankan selama bertahun – tahun. Sedang aku, yang mengorbankan segalanya demi menoreh sejarah, malah dicampakkan dan dilupakan. Ups, mungkin tidak lupa. Pasti. Mereka takkan pernah lupa. Tak akan pernah.

***

“Ibu, benarkah cerita itu? Jadi itu yang membuat Ismail dikenang umat. Ismail berani sekali. Ibrahim juga.”

“Begitulah, Nak. Makanya, suatu hari, buatlah dunia bisa mengenangmu. Ciptakan sejarahmu. Tapi ingat, jangan sekali – kali kau meniru cara iblis yang sejarahnya terkenal buruk. Sampai – sampai ia dibenci oleh seluruh alam semesta ini. Kau harus bisa menciptakan sejarah yang indah layaknya kisah Ismail dan Ibrahim ini. Mereka adalah salah dua inspirasi kita.”

Saat itulah hatiku bertekad, aku akan menciptakan sejarah. Niat yang awalnya halus, dengan sedikit sayatan, ia berubah buruk.

***

Aku telah dewasa. Aku berhasil menoreh beberapa sejarah untuk sekolah, dan kampungku. Aku di sekolah sukses menjadi murid teladan di setiap tahunnya. Begitu pula di kampungku, aku telah dikenal dengan Ayat yang baik dan cerdas. Aku banyak berjasa bagi mereka. Aku membuat penemuan – penemuan yang mampu membantu mereka. Seperti kincir yang berbaring dan mengeluarkan air untuk menyiram tanaman atau kebun yang luas. Itu sejarahku.

Aku tak ingin jika hanya sebatas itu. aku ingin sejarahku tanpa batas. Aku sekarang merantau ke ibu kota. Aku kuliah di jurusan kedokteran universitas ternama. Aku ingin membantu kondisi kesehatan masyarakat kampungku. Aku terus belajar keras. Tak peduli ruang dan waktu. Hingga akulah yang paling unggul di antara yang lain. Baru tiga semester, aku telah menggarap skripsi. Tahun depan, aku akan dinobatkan lulus. aku telah menggelar strata satu. Suatu kebanggaan untukku. Aku kembali mencetak sejarah. Aku mahasiswa di universitas ternama yang langsung lulus dalam tiga semester.

Tahun selanjutnya, aku melanjutkan strata dua dengan mendaftar ke luar negri, Jerman. Di sana, aku mencari pengalaman yang sebanyak – banyaknya. Lingkunganku adalah orang – orang yang hebat, dan selalu menginspirasiku agar terus belajar dan ambisiku untuk mencetak sejarah lebih besar dan kuat. Tak seorangpun yang bisa menghalangiku. Hingga aku buta oleh ambisi itu sekalipun. Walau inspirasiku dari Ismail dan Ibrahin lebih besar dan berpengaruh.

Setelah itu, aku melanjutkan strata tiga agar mendapatkan gelar doktor dan mampu menjadi doktor. Aku memilih agar menjadi spesialis bedah. Hingga ketika aku telah mendapatkannya, aku diterima kerja di Singapura. Aku harus mengumpulkan uang agar dapat membangun rumah sakit untuk kampungku. Aku harus bisa. Rumah sakit itu nanti akan menjadi simbol sejarahku. Itulah monumen, di mana aku akan terkenang sepanjang masa.

***

Pembangunan rumah sakitku akan segera dibangun. Aku telah menyiapakan dana untuk pembangunannnya. Soal karyawan, akan kuurus belakangan. Ya, walau sejatinya aku tak sabar melihat kekokohannya berdiri di depanku. Rumah sakit Ayat. Nama rumah sakit yang telah aku siapkan.

Aku merebahkan badan. Tiba – tiba telponku bergetar. Aku mengangkatnya, nomor yang tak aku kenal.

“Halo, Ayat. Kose Ayat, maksudku. Ah, dasar nama yang aneh. Oh ya, lupakah kau pada diriku? Oh, mungkin saja kau lupa. Tentu saja. karena kau sekarang fokus pada misi hidupmu,    ‘menjadi sejarah’. Ya, aku bisa maklum. Tapi aku memiliki tawaran menarik untukmu, Kawan. Aku harap kau tak menolaknya.” Aku bingung. Siapa dia ini.

“Hei, siapa kau sebenarnya. Bagaimana kau bisa mengenalku. Dan tawaran apa yang hendak kau tawarkan padaku itu?”

“Weisss, ternyata kau memiliki rasa ingin tahu yang besar ya. Sekarang aku jadi paham dengan caramu yang mampu menjadi sejarah. Baiklah, kenalkan, aku adalah Watari. Orang – orang menjuluki aku Watari Player. Karena, aku memiliki keahlian dalam mempermainkan segala hal. Termasuk insan sepertimu, Ayat. Dan tawaran itu, aku ingin menawarkan suatu pekerjaan yang mampu membuatmu menjadi seorang sejarah tanpa batas. Apa yang kau lakukan selama ini, itu membosankan. Siapapun mampu melakukannya. Ayolah, cobalah yang lain, yang menantang.”

“Maaf, bisakah kau langsung ke inti. Aku tak mengerti.”

“Ups, maaf. Baiklah. Maukah kau menjadi seorang pembunuh. Aku akan menjadikanmu kesatria.” Aku gemetar mendengar kata – katanya. Aku tak pernah terpikir aku akan mencetak sejarah dengan cara yang sepeerti itu. karena aku masih memegang teguh nasehat Ibu. Aku pantang meniru cara iblis.. membunuh, bukankan itu salah satu cara iblis.

“Aku tahu kau pasti terkejut dan ragu untuk menerimanya. Aku juga tahu kau tak ingin melakukan cara kotor. Tapi, dengan caramu yang monoton seperti itu, mana bisa melekat. Oh, Ibrahim adalah panutanmu, bukan. Ibarahim dikenal karena kisahnya yang diutus agar membunuh Ismail oleh Tuhannya. Lalu mengapa kau tak meniru hal itu. kau malah susah payah bertahun – tahun belajar, menghabiskan uang untuk membangun rumah sakit, itu terlalu lama dan melelahkan. Ada cara instan, Kawan.”

Jujur saja aku bingung dengan segala yang diucapkan. Aku harus bagaimana, dan memilih yang mana. Cara itu memang bukan pribadiku. Tapi hasilnya adalah tujuanku.

“Ya sudahlah. Aku akan memberimu waktu satu minggu. Setelah itu, aku ingin kepastian darimu. Ingat, keputusan ini akan menentukan masa depanmu. Dadah.”

Telpon terputus. Meski aku tak paham dengan cara orang ini mengenalku hingga ke akarnya, namun aku tak peduli. Aku hanya tertarik pada tawarannya itu. Tapi dengan membunuh, apa itu yang terbaik.

***

Aku shok. Rumah sakitku yang setengah jadi itu terbakar habis. Hanya ada arang yang menyedihkan. Entah apa yang ada dalam hatiku. Semua bercampur menjadi satu. Marah, sedih, menyesal. Kepada siapa aku harus melampiaskan itu semua. Tak hanya rumah sakit, dua hari setelah itu, rumahku terjadi pencurian. Semua uangku habis diambilnya. Sia – sia. Tak ada yang bisa aku harapkan dari hidupku. Ini adalah sejarah terburukku. Aku tak ingin dikenang dengan cara yang seperti ini.

Aku tak kuasa untuk bangkit. Aku seperti orang gila tak terurus. Hanya diam di rumah dengan keadaan lapar dan bingung. Hancur cita – citaku. Hancur tujuan hidupku. Badanku lemas setelah empat hari sama sekali tidak makan dan minum. Aku tertidur setelah lelah menangis dan tak kuat menahan lapar.

“Hei, Ayat. Siapa sekarang yang menjadi panutanmu setelah semua yang kau alami? Apakah kau tetap teguh mengagungkan Ismail? Sadarlah, Ayat, atas segala kebodohanmu selama ini. Sadarlah bahwa Ismail tak pernh ingin mendukungmu. Dia tak ingin kalau kau mencetak sejarah, dan menyainginya.” Aku diam. Suasana apa ini. Hatiku ragu, badanku terasa panas. Tempat ini gelap. Aku hanya mampu melihat sosok halus di depanku. Apakah wujudnya nyata, begitu pula pernyataannya.  Di tengah – tengah kebingunganku, ada sebuah suara dari arah lain yang menengahi. Sosok yang satu ini beda. Dia bersinar terang bahkan mampu membuat kegelapan ini menjadi terang sekali. Badanku terasa sejuk, dan hatiku terasa tenang.

“Wahai, Ayat. Luruskan niatmu dengan kebaikan yang telah diajarkan ibumu dari Rasulmu. Jangan kau berbelok arah pada keburukan. Sesungguhnya selama ini kau diambang kehancuran atas usaha dan ambisimu yang tak berujung. Ingatlah, kau memiliki Allah, Tuhanmu yang senantiasa membantumu, dan melimpahkan kasih sayangNya padamu. Semua yang menimpamu, dan rasa kehilanganmu ini bukanlah milikmu. Namun milik Allah, dan semua akan kembali kepada Allah. Tak perlu kau ratapi, karena ini teguran bagimu agar kau bertobat. Maka setelahnya, Allah akan kembali melimpahkan kasihnya padamu.”

Aku terjaga dari tidurku. Ternyata itu tadi mimpi. Namun aku merasa mimpi itu memiliki petunjuk, atau bahkan pilihan. Aku semakin bingung dengan semua ini. Benarkah Ismail merasa tersaingi olehku, sampai – sampai dia merenggut segala usaha dan cita – citaku itu. Tapi di sisi lain, benarkah ambiusku sangat berlebih hingga Tuhan marah dan mengambil segalanya dariku. Allah. Aku tak asing dengan sebutan itu. Dulu Ibu sering menyebut nama itu, bahkan setiap waktu. Namun setelah beliau meninggal, aku seakan membenci dan memutuskan hubungan dengan Tuhan. Dan sekarang Dia malah berkata bahwa semua ini milik-Nya, sehingga Dia seenaknya mengambil begitu saja. Ini semua jerih payahku. Sama sekali tak ada hubungan dengan-Nya.

Aku bengkit dari tempat tidur, bersiap. Aku tak ingin berdiam saja. Ismail dan Dia tengah menantang tujuanku, lebih tepatnya, menghalangi tujuan hidupku. Aku, Kose Ayat, akan menjadi sejarah dunia. Tak peduli jalan manapun. Aku sudah kecewa dengan kebaikan. Aku menuju alamat yang diberikan oleh Watari setelah kejadian kebakaran dan perampokan rumahku itu. Aku telah mengambil keputusan, aku akan ikut Watari. Aku yakin dia akan membantuku untuk mencapai tujuanku.

Aku memasuki sebuah gedung di kawasan terpencil. Gedung ini tinggi dan luas, juga sepi. Tak sulit bagiku untuk mencari pintu masuk. Namun ketika aku berdiri, aku tak sengaja mendengar suara sorakan dan sepertinya mereka membicarakanku.

“Ya, tentu saja. Watari Player. Tak ada yang tak bisa aku mainkan. Bahkan si Ayat yang katanya budak jenius itu, akhirnya takluk padaku. Oh ya, aku juga harus berterima kasih pada kalian semua yang telah memudahkan rencanaku. Kalian memang anak buahku yang pintar sekali. Pesta ini untuk kalian.”

“Iya dong, Bos. Perintah Bos benar – benar keren. Aku menaruhkan nyawaku hanya demi anak ingusan itu. Aku hampir saja dicurigai polisi gara – gara tugas membakar rumah sakit itu. Untung saja ada Bos yang melindunngiku. Teima kasih, Bos.

Brengsek. Merekakah dalang dari kehancuranku.

“Benar, Bos. Tapi untungnya aku mendapatkan uang yang banyak. Terima kasih, Bos, kau tak meminta sepeser pun. Kau baik sekali.”

Aku mendobrak pintu itu dengan kasar. Mereka terkejut melihat kehadiranku yang tiba – tiba. Wajah mereka panik. Darahku naik. Kemarahanku memuncah. Aku meraih pistol di meja mereka dengan sigap, sehingga mereka tak menyadari. Aku langsung menarik pelatuk, melepaskan peluru ke arah mereka.

Ternyata kelompok mereka banyak. Namun aku tak menyerah. Aku akan membunuh mereka. Aku menerima tawaranmu Watari. Aku menjadi pembunuh sekarang. Aku habisi mereka satu persatu. Tetapi hanya sebagian. Yang lain berhasil lolos.

Hari ini benar – benar aku mantapkan. Aku akan menghabisi anak buah Watari. Lukaku belum sepenuhnya sembuh karena sayatan pedang salah seorang anak buah Watari. Dan beberapa luka lainnya. Aku menggeledah markas terbuka mereka di tengah kota. Aku tak peduli hari ini adalah idul adha. Hari raya masyarakat Islam. Aku islam atau tidak, entahlah. Jika aku adalah Islam, aku korbankan mereka sebagai ibadahku. Jika bukan, izinkan aku menuntaskan dendamku. Tak perlu tenaga yang banyak. Aku langsung menumpahkan minyak gas ke sekeliling gedung itu. Lalu aku menyalakan api, hingga ia menjalar menghabisi para bajingan itu.

Beberapa menit kemudian, ramai orang datang berusaha memadamkan. Sayangnya, terlambat. Api itu dengan serakah menelan segala yang disekitarnya. Tak ada yang dapat menghentikan kebakaran itu. kebakaran yang hampir menghabisi setengah kota. Idul adha tahun itu, membekaskan sejarah  luka yang menyakitkan. Tapi aku tak lupa dengan tujuan utamaku. Aku datang ke kantor polisi dan mengaku aku sebagai pelakunya. Dan saat itu, aku telah menjadi sejarah dunia. “Kose ayat. Pelaku kebakaran setengah kota besar di Hari Idul Adha”

“Ayat, mengapa Anda membakar setengah kota. Mengapa Anda mengikutsertakan orang – orang tak berdosa dalam pelampiasan dendam Anda. Sebenarnya apa tujuan Anda.”

“Karena aku ingin menjadi sejarah. Walau aku harus masuk ke jeruji itu, yang terpenting aku takkan dilupakan dunia di hari terpenting. Jangan pernah lupakan itu.”

***

Natasha [Santriwati kelas I SMA]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *