Arial merebahkan tubuhnya di atas spring bed berwarna coklat kalem berbalut sprey putih polos. Perjumpaannya dengan kakak kelasnya itu, memberikan sedikit warna-warna baru.
Salah satunya, Arial berhasil menemukan apartemen yang tidak terlalu mahal tetapi memiliki fasilitas yang cukup bagi mahasiswa akhir tahun sepertinya. Apartemen yang ia tinggali dulu, dirasa terlalu mahal dan suasananya kurang kondusif untuk mengerjakan skripsi. Dan kini, ia satu gedung apartemen dengan Dzaki. Kamar mereka bersebelahan. 104 untuk Dzaki. 105 untuk Arial.
Salah duanya, Arial berhasil menyimpan secuil penyesalan karena terlalu lamban melamar Mahesya. Buruknya lagi, yang meminang gadis pujaan hatinya itu ialah kakak kelas terdekat yang ia kenal ketika aktif rohis dulu. Di lain sisi, ia bersyukur karena Mahesya kini telah berjalan pada garis yang sama dan memiliki imam keluarga yang sangat sholih. Meski, hati kecilnya merasa sedikit nyeri ketika mengingat Dzaki dan Mahesya.
Hand-phone Arial berdering. Arial bangkit dari pembaringannya. Ia melirik malas ke atas layar ponselnya di atas meja kayu di samping spring bed apartemen. Bunda.
“Assalamu’alaikum, Bunda… Alhamdulillah Adek udah dapat apartemen barunya… Tadi enggak sengaja ketemu sama Bang Dzaki… Iya, kakak kelas adek waktu di SMA… Terus Bang Dzaki menawarkan kamar kosong di apartemennya… Oke, Bunda… Bagaimana kabar Ayah dan Kak Vio?… Alhamdulillah kalau begitu… Alhamdulillah kabar Adek Ial baik-baik saja, Bunda… Oke, salam buat yang di Indonesia. Salam kangen dari Adek Ial… Walaikumussalam, Bunda.” Klik! Sambungan terputus.
Arial menghembuskan nafasnya perlahan. Semangatnya mulai berkoar setelah mendengar suara ibu kandungnya itu. Hampir empat tahun sudah, pria berambut cepak itu tak bersua dengan sanak-saudaranya di Indonesia. Hampir empat tahun sudah, pria berkulit sawo matang itu tak menghirup udara segar Bandung di pagi hari. Hampir empat tahun sudah, pria bertubuh tinggi jangkung itu tak mendengar logat Sunda yang berseliweran di tengah-tengah bumi. Hampir empat tahun sudah, kulit Arial tak bercengkrama dengan udara super dingin kota kelahirannya.
Arial melepas kaos kaki biru malamnya. Ia menggulung lengan kemeja putihnya. Dua belas menit lagi, waktu Dzuhur akan tiba. Arial membuka pintu kamar mandi berwarna emas, untuk mengambil wudhu.
Ia terhenyak ketika mendapati tubuh seorang pria arab tergeletak di lantai kamar mandinya. Mata kanannya seperti sengaja dicungkil.Urat-urat matanya ikut menjulur ke luar kelopak bersamaan dengan bola matanya. Beberapa bagian kulit kepalanya terkelupas. Menyajikan pemandangan urat-urat biru yang transparan. Darah segar memenuhi lantai putih di bawah jasad itu. Aroma darah mencekam rongga-rongga pernapasannya.
Arial terdiam sejenak, lalu reflek berteriak.
Tubuh Arial berguncang. Kakinya tak lagi dapat menopang berat tubuhnya. Ia terduduk seraya memaksa matanya untuk terpejam. Namun ia masih saja memelototinya. Tangan kanannya berusaha menggapai hand-phone di atas tempat tidurnya. Ia buru-buru menelfon Dzaki.
“Bang… tolong saya… to… long saya…” Arial terbata-bata dalam isakannya.
Sedetik kemudian pintu apartemen Arial diketuk dengan kuat.
“Ar! Ada apa, Ar?! Tolong buka pintunya, Ar!” Dzaki berteriak panik seraya terus-menerus mengetuk pintu kamar 105. Arial memaksa tubuhnya bangkit. Ia terseok-seok membukakan pintu untuk Dzaki.
Dzaki masuk ke dalam kamar Arial seraya membantu adik kelasnya itu agar bangkit. Wajah Arial pucat pasi. Jari jemarinya seolah menggapai sesuatu di langit-langit. Mulutnya tak jelas berkata apa.
“Ada apa, Arial?” Dzaki meletakkan tubuh lemas Arial di atas tempat tidur. Arial menunjuk ke arah toilet kamarnya. Dzaki melongok ke arah yang dimaksud Arial.
“ASTAGHFIRULLAHALADZIM! INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN!” Dzaki cepat-cepat menyambungkan layanan kamar dari telfon kamar Arial.
“Siapa dia, Ar?” Dzaki mengguncang-guncang tubuh Arial. Bibirnya tak lagi dapat berucap sepatah katapun.
*
Mahesya menyematkan jarum pentul pada kain kerudung di bawah dagunya. Kerudung ungu transparannya ia lapis dua dengan kerudung lain berwarna abu-abu. Membuat warna ungunya menjadi sedikit samar.
Ibu dari tiga anaknya itu merapikan letak buah-buahan dan obat-obatan di atas meja besi berwarna perak pucat. Langit masih tertidur pulas, dengan air impusan yang mengalir pada urat nadi tangan kanannya.
Mahesya menatap putra sulungnya dengan sendu. Berharap Langit segera bangun dan membacakan hafalan Al-Qur’an di hadapannya. Mendengar kembali canda-tawanya ketika menyambungkan Skype antara Langit dan ayahnya, merupakan kerinduan yang sangat ia nanti.
“Assalamu’alaikum…” Gina membuyarkan lamunan sepupunya itu.
“Walaikumussalam. Eh, Gina. Pagi-pagi udah ke sini aja. Tante Tina sama Om Herman enggak diajak?” Mahesya dan Gina saling bersalaman.
“In sha Allah Mami sama Papi ke sini nanti siang. Gimana kondisi Langit, Sya?”
“Alhamdulillah demamnya udah turun, Gin. Tapi dari kemarin belum siuman.” Mahesya mengambil mangkok steinless berukuran jumbo. Ia memasukkan air hangat ke dalamnya.
“Kak Dzaki udah kamu beritahu, Sya?”
Mahesya terdiam sejenak. Lalu kembali menyapukan air hangat ke tubuh Langit dengan sapu tangan.
“Belum, Gin. Aku khawatir kalau…”
“Dia itu suamimu, Sya. Sampai kapan kamu selalu menutupi semuanya dari dia?” Perempuan dengan hijab merah muda vintage itu menggantungkan switter rajutnya pada gantungan di belakang pintu.
“Iya, Gina… Aku akan memberitahu Kak Dzaki kalau dia sedang tidak sibuk dan ada waktu untuk menghubungiku.”
“Kenapa kamu tidak mencoba untuk menghubunginya lebih dulu?”
“Hanya tidak ingin buang-buang pulsa. Kairo itu jauh, Gin.” Mahesya tertawa kecil. Gina tersenyum.
“Dari dulu, emang kamu yang paling pintar beralasan, Sya! Kayak teknologi zaman sekarang susah saja.” Gina menimpali candaan sepupunya itu.
“Ngg… Sya. Aku mau memberitahumu sesuatu. Tapi, kamu janji ya jangan kasih tahu siapa-siapa dulu?” Gina memelankan suaranya.
Mahesya menggulung lengan baju gamisnya. Ia mencuci buah-buahan yang diberi teman-teman pengajiannya kemarin sore.
“Tapi aku malu banget!”
“Ha? Seorang Gina Wimardian malu? Berita apa nih sampai kamu jadi malu gini?”
“Ih! Aku juga manusia kali, Sya. Punya malu.”
“Oh ya? Aku baru tahu kamu manusia.” Maheysa tertawa seraya mengupas kulit apel.
“Aku seriusan nih…” Gina mengelus rambut Langit. Wajahnya bersemu.
“Iya-iya. Ada apa sih, Sayang?”
“Aku…” Kalimat Gina terputus. Hand-phone di atas meja perak di dekatnya berdering. Gina melongok melihat tulisan pada layar ponsel Mahesya.
“Kak Dzaki nih, Sya. Sumpah deh ya… Enggak ada romantis-romantisnya ngasih nama kontak buat suami!”
Mahesya meletakkan apel-apelnya di atas piring putih polos. Wajahnya berubah pucat. Segera ia menjawab panggilan dari suaminya itu.
“Assalamu’alaikum, Kak…” Mahesya berupaya membuat nada suaranya terdengar ceria. Lalu ia berjalan ke luar kamar. Gina mengambil apel di dekat westafel. Lalu mengunyahnya bersama dengan kabar bahagia yang ingin ia bagi pada Mahesya.
“Apa kabar, Bunda? Ayah rindu sekali denganmu dan anak-anak.” Suara di seberang sana membuat Mahesya resah.
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana kabar Kak Dzaki?”
“Alhamdulillah baik. Tapi sekarang aku lagi di rumah sakit, Sya.”
“Siapa yang sakit, Kak?” Suara Mahesya lebih terdengar datar dibanding khawatir. Empat tahun menikah, tidak menjadikan Mahesya merasa memiliki seseorang yang spesial selain ibu kandung, dan ketiga putra-putrinya. Kehadiran Dzaki sudah banyak merubah hidupnya. Meski hatinya masih tak begitu banyak berubah dari masa lalu.
“Teman lama dari Indonesia. Tadi pagi dia syok karena ada seorang pria arab mati secara tak wajar di kamar mandi apartementnya. Dia ada sedikit trauma di masa lalu tentang kematian yang tidak wajar.” Dzaki berdehem.
“Ooh…” Mahesya menerawang.
“Bagaimana kabar anak-anak kita, Bun?”
Mahesya mendelik.
“Pelangi dan Angkasa lagi main ke rumah Oma. Langit sedang bersama saya, tapi dia sedang tidak ingin bicara.” Mahesya berdalih. Mahesya selalu canggung dalam setiap percakapannya dengan Dzaki.
“Oh… Hahaha, apa dia sedang marah pada ayahnya karena tidak pulang-pulang?” Dzaki tertawa di seberang sana.
“Mungkin.”
“Apa kamu tidak merindukanku, Sya?” Dzaki berharap.
“Belum.” Mahesya mengutuk dirinya karena terlanjur mengatakan kata-kata jahat itu pada suaminya. Dzaki menghela napas.
“Aku mengerti, Sya.Tapi kamu harus mengetahui bahwa aku selalu jatuh cinta padamu di setiap waktu. Meski sulit bagimu untuk membalasnya.”
Hening sejenak. Dzaki dan Mahesya terdiam. Mencoba merasakan apa yang berputar pada signal-signal yang menghubungkan keduanya.
“A… ada yang harus saya beritahu, Kak Dzaki.”
“Iya, ada apa, Sayang?”
“Langit sedang sakit. Sekarang kami berada di rumah sakit.” Mahesya menggigit bibirnya.
“Innalilah! Sejak kapan, Bun?”
“Kemarin pagi, Kak. Saya minta maaf karena tak bisa menjaganya untukmu.”
“Bunda… Penyakit itu datangnya dari Allah. Kita tidak tahu kapan Allah akan memberikannya pada hamba-hamba-Nya. Bukan salahmu ketika Langit sakit seperti ini. Yang harus kita lakukan adalah senantiasa berikhtiar dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. In sha Allah Langit akan sehat atas izin Allah. Jaga dirimu, Oma, dan anak-anak ya, Sayang.” Dzaki memelankan suaranya agar terdengar lebih tenang. Mahesya menyadari betapa beruntungnya ia memiliki pendamping hidup yang mencintai istri dan anak-anaknya seperti Dzaki. Namun hatinya masih bersikeras untuk tak jatuh cinta.
“Maafkan saya karena belum bisa sepenuhnya mencintaimu.” Hati Mahesya seolah meringkuh.
“Tidak apa-apa, Sya…”
“ Oh, iya! Kalau tidak salah Bunda mengenali teman lama Ayah dari Indonesia yang tadi Ayah ceritakan. Dulu dia satu sekolah dengan kita ketika SMA. Malah satu kelas denganmu.” Lanjut Dzaki.
Mahesya menghela napas. Bersyukur karena Dzaki tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kedengaran seperti orang linglung.
“Oh ya? Siapa, Kak?”
“Arial. Pasti kamu kenal kan?”
“A… Arial siapa, Kak?” Mahesya terbata.
“Aduh… Siapa ya nama lengkapnya? Ayah lupa, Bun. Tapi, sepertinya dia mengenalmu.”
Aroma ruangan rumah sakit tak lagi asing bagi penciuman Mahesya. Namun bayang-bayang mantan pacarnya itu seolah hadir kembali pada lorong-lorong rumah sakit. Menghantam jantungnya hingga nyaris tak berdetak lagi.
Mahesya memberikan ponselnya kepada Pelangi dan Angkasa yang tiba-tiba menghambur dalam pelukannya. Sedang ibu kandung Mahesya dapat mengendus suasana hati anak bungsunya itu.
“Ayah mau bicara nih…” wanita berkulit putih pucat itu tersenyum nyinyir.
Mahesya memeluk ibu kandungnya dengan kuat. Berusaha menghancurkan rasa yang campur aduk berotasi dalam dadanya.[] Bersambung…
[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, kelas 12]