Loading

Arial menepi. Ban sepeda motornya tak sengaja mencium beberapa butir paku yang sengaja ditebar oleh tukang tambal ban ‘nakal’ di pinggir jalan. Mahesya mendengus di belakang pundaknya yang bidang.

“Kenapa harus kempes segala sih bannya?! Aku bisa telat nih!” Mahesya menggelung rambut emasnya, hingga tak bersentuhan dengan leher mulusnya.

“Maaf ya, Sayang… Aku juga tidak tahu kalau akan begini jadinya…” Arial memelas pada kekasihnya itu.

“Aku kan sudah bilang, jangan pakai motor kolot begini! Asapnya kemana-mana, bikin polusi, bikin rusak kulit! Kenapa sih kamu selalu enggak mau dengarin aku?!”

“Memangnya kalau pakai mobil bannya bisa berubah jadi enggak kempes? Sama aja kan? Maafkan aku, Mahesya…” Arial berusaha memberikan pemahaman kepada Mahesya. Satu-satunya wanita ter-egois yang pernah ia temui. Namun Arial tetap mencintainya.

“Setidaknya kan aku jadi tidak kepanasan! Sudahlah! Aku ke sekolah naik taksi saja.” Mahesya berlalu. Meninggalkan Arial dengan Vespa bututnya.

*

Dua puluh menit terlewati. Arial belum juga tiba di sekolah. Mahesya berkali-kali menyambungkan panggilan dari ponselnya pada ponsel Arial. Namun, tak satupun jawaban yang ia terima. Sesekali ia mengirimkan chatting ataupun SMS, namun hasilnya sama saja.

Mahesya berpikir sejenak, sebelum ia memutuskan untuk masuk ke kelas lebih dulu, tanpa menunggu Arial di gerbang sekolah. Sebenarnya, kali itu ia telah melanggar perjanjian yang telah lama mereka sepakati. Perjanjian; sama-sama masuk kelas.

Mahesya menyusuri koridor sekolah dengan kesal. Begitu sial nasibnya hari ini. Ia sangat membenci perilaku aneh pacarnya itu. Bisa-bisanya anak seorang pengusaha minyak bumi, hobi sekali pergi-pergi ditemani dengan Vespa butut keluaran tahun sembilan puluhan. Terlebih lagi, ketika Arial membatalkan jadwal dinner mereka, hanya karena si ‘butut’ tergores.

“Good morning, my little angle… Dari tadi kok cemberut aja sih?” Gina merangkul mesra sahabat sekaligus sepupu dekatnya itu. Mahesya mengubrisnya dengan malas.

“Biasa. Si Arial sama ‘pacar bututnya’ itu.” Mahesya menekuk-nekuk jari telunjuk dan jari tengahnya di samping pelipisnya.

“Oh my God! Kamu udah melanggar perjanjian suci kalian?! Kok Mahesya tega sih tidak menunggu sang pangeran di depan gerbang sekolah?!” Gina melotot. Mahesya memutar bola matanya.

“Gin..”

“No… no… no! Kamu harus kembali ke gerbang, Sya. Kamu tahu kan apa yang akan terjadi kalau kamu melanggar perjanjian ini?”

“Gin…”

“Enggak ada alasan, Mahesya.”

“Apa? Apa yang terjadi kalau aku enggak nungguin Arial? Putus? Aku capek, Gin. Selama ini selalu aku yang mengalah. Selalu aku yang berusaha mengerti dia. Nurutin keinginan dia. Tapi dia? Enggak pernah sama sekali mikirin gimana susahnya jadi aku. Nahan malu berangkat ke sekolah pakai a f*cking ugly bicycle. Aku…” Kalimat Mahesya terputus.

“Apa? Kamu kenapa?” Arial berdiri di belakang keduanya. Mendekapkan kedua tangannya di atas dada dengan tenang. Meski tatapannya tak lagi teduh.

“Aku… capek.” Mahesya ragu, namun sifat ke-aku-an-nya masih meremang.

“Baik. Kita sudahi saja sampai sini.” Arial menusuk bola mata biru milik Mahesya dengan tatapan sinisnya.

“Semudah itu?”

“Kenapa tidak? Aku kasihan padamu yang terlalu ‘capek’ denganku.” Arial menekan suaranya pada kata-kata ‘capek’.

Mahesya melepaskan gelang yang dirangkai dari manik-manik aneka warna yang tersemat pada pergelangan tangan kanannya. Gelang itu buatan tangan Arial semenjak satu tahun sembilan bulan yang lalu.

“Semudah itu kamu mengakhiri ini semua? Kamu anggap apa perjuangan aku selama ini? Waktuku, hatiku, perjuanganku, semua hal aku lakukan untukmu. Tapi tidak ada satupun yang kamu hargai. Aku mati-matian menjaga hubungan kita. Berusaha mengerti kamu dan dunia khayalmu yang enggak pernah bisa aku mengerti. Mencoba mengerti mengapa aku harus membagi cintamu untuk Vespa pemberian Sarah. Mengapa seolah kamu tidak pernah berusaha untuk melupakannya? Ada aku yang selalu berusaha membuatmu bangkit. Sudah terlalu lama, Arial. Sudah terlalu lama kamu jatuh cinta pada Sarah. She was die…” Mahesya terisak dalam pelukan Gina. Gina hanya bisa mengelus lembut rambut emas Mahesya.

“Sesederhana itu kamu memikirkan perjuanganmu? Tidak pernah terbayangkan bagimu, aku juga telah berusaha merubahmu yang kekanak-kanakan. Berusaha memaklumi kebiasaanmu yang selalu ingin dimanja. Selalu ingin diperhatikan. Bahkan untuk menepati satu janji saja, sangat sulit bagimu. Tidak pernah kau pikirkan, bagaimana susahnya aku melupakan Sarah yang terlalu berpengaruh dalam hidupku? Berusaha setengah mati untuk mencintaimu hingga sekarang aku tidak pernah tega meninggalkanmu. Tapi kau malah menghina sesuatu yang aku jaga untuk orang yang aku cintai. Aku menjaganya untukmu. Meski itu hanya sebuah motor kolot seperti yang kau katakan.” Urat-urat di tangan Arial menonjol. Suara bel masuk kelas berbunyi. Memecah kebekuan di tengah-tengah koridor yang kelabu.

“Cukup sampai sini hubungan kita.” Arial berlalu. Meninggalkan Mahesya yang masih terisak dalam pelukan Gina. Gina menganga.[] Bersambung…

[Noviani Gendaga, santriwati Pesantren Media, angkatan ke-2, kelas 12]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *