Lanjutan Janji Rafael
Hah.. aku menghela nafas seolah lega saat melihat sosok itu berbalik meninggalkan ruangan. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan mulai melihat sekelilingku. Aku tercekat saat melihat senjata-senjata tangan di tempat persembunyianku. Ini adalah lemari senjata. Belum pulih dari keadaan terkejut, aku merasakan sesuatu yang berbahaya menuju ke arahku. Saat aku kembali mengintip ke celah persembunyianku. Aku melihatnya dengan jelas. Ia berdiri di depanku, sangat dekat. Menatap penuh selidik ke lemari tempatku bersembunyi. sontak aku ketakutan saat tangannya mulai berayun. Aku menahan nafas. Aku membekap mulutku agar tak berteriak. Tubuhku bergetar hebat. Aku berharap lemarinya tak ikut bergetar bersamaku. Wajahku semakin pias dan kepalaku mulai berdenyut. Tangannya telah mencapai celah pintu, aku bergerak mundur.
Braak! Bruk!
Seketika dunia di sekelilingku menghilang.
0o0o0
Adikku Rheva melakukan pembunuhan! Tidak! Aku harus merahasiakan hal ini dari papa! Jika papa tahu kehidupan kami akan berakhir. Kehidupan damai kami sebagai kakak adik akan menghilang. Tidak! Aku tak mau itu. Aku akan membuatnya melupakan ini semua, ya. Inilah keputusan yang tepat.
Ia mengerjap matanya menyesuaikan dengan kondisi penerangan di ruangan itu.
Krieet..
Mendengar suara pintu terbuka Rheva menegang. Tubuhnya menjadi kaku dan tak bisa bergerak.
“Rheva.., kamu udah bangun? Gimana tidurnya? Nyenyak?” Rafael, kakak Rheva muncul dari balik pintu lalu menyalakan lampu. Senyum tak lepas dari sudut bibirnya.
Hah.. ? Kakak? Di mana psikopat bermulut robek itu?
“Ehm, iya kak. Kak..kok kakak bisa ada di sini?”
“Lho? Kakak sedang merawat kamu. Kamu nggak ingat? Kamu udah 3 hari demam.”
“Masa sih? bukannya aku lagi di rumah psikopat bermulut robek kak?”
“Psikopat bermulut robek? Rheva, kamu ngigau?”
“Ih.. enggak kak, Rheva beneran tadi ada di rumah psikopat, lihat nih tangan Rheva, pasti ada darahnya.” Rheva mengulurkan kedua telapak tangannya. Rafael melihat tangan adiknya itu, tapi tak ia temukan setetes darahpun. Ia mengeryitkan dahi lalu tersenyum mengejek.
“Kamu pasti bermimpi, percaya deh sama kakak. Kamu percayakan sama kakak?”
Aku melongo, aku membolak-balik kedua telapak tanganku tak dapat kutemukan bercak darah itu. sebenarnya bukan bercak tapi seluruh telapaknya terkena darah. Bingung akan menjawab apa, antara percaya atau tidak.
“Udah deh nggak usah dibahas. Makan nih sarapannya terus istirahat lagi biar cepat sembuh.”
Aku hanya mengangguk pelan menjawab perkataan kakakku. Tak jauh dari meja belajarku terdapat sebuah tempat sampah yang penuh dengan tisu. Di balik tisu-tisu itu terdapat sebuah kebenaran yang akan menjawab semuanya. Sebuah buku bernoda darah.
Selesai
[Ela Fajarwati Putri, Santriwati angkatan ke-3 Jenjang SMA, Pesantren Media]