Tembakan itu, masih berdesing di atas kepala kami.
Ledakan itu, masih menjadi sahabat bagi kuping kami.
Asap dari ribuan bom itu, masih memenuhi rongga paru-paru kami
Batu-batu itu, masih menjadi senjata kami
Batu-batu itu, masih menjadi teman setia dalam genggaman kami
Nafas kami, masih belum berhenti
Jantung ini, masih berdegup kencang
Kaki ini, masih kuat berdiri di depan kendaraan Jahannam itu
Tangan ini, masih mengepal ke udara
Menemani seruan AllahuAkbar dari mulut kecil kami
Bahkan mata ini, masih menyala untuk menyaksikan proses kematian ayah-ibu kami,
Saudara-saudari kami,
Teman-teman kami,
Bahkan mata ini,, masih sanggup menatap wajah-wajah Jahannam itu
Kami pernah bertanya,
Dimana saudara sesama muslim kami?
Dimana pembelaan mereka?
Mengapa mereka tak kunjung datang untuk membantu kami?
Waktu terus berlalu,
Namun mereka tak kunjung datang
Tapi kami tetap berusaha memperpanjang nafas kami
Karena kami yakin
Allah pasti memenangkan negeri ini
Kami telah berusaha,
Tapi dimana hati nurani kalian, wahai saudaraku?
Kalian melihat ribuan tampang kami di dalam media
Mayat-mayat ayah-ibu kami,
Saudara-saudari kami,
Teman-teman kami
Namun kalian tetap bergeming
Kami, anak-anak Palestine
Masih ngin melihat pelangi di luar tembok sana
Kami masih ingin mengejar kupu-kupu
Hidup layaknya anak-anak yang tidak dijajah
Lantas, harus sampai kapan kami menunggu kalian?
Berapa juta tetes air mata yang keluar dari mata kami?
Menahan sakit yang menghujam seluruh tubuh kami
Menahan rasa sedih akan kepergian orangtua yang sangat kami cintai
Membiarkan ayah kami mati dalam syahidnya
Menatap wajah ibu yang mati-matian menjaga kami
Inilah suara dan jeritan kami
Saudarimu, yang terlupa
[Noviani Gendaga, santriwati angkatan ke-2, jenjang SMA, Pesantren Media]