Satu Di Antara Triliun
Rabu pagi yang kelam mengawali kisahku hari ini. Retak kaki karena jatuh dari tangga. Disusul kecerobohan kakakku, menyebabkan mobil yang kutumpangi menuju rumah sakit oleng dan menabrak pembatas jalan. Berdampak pada mobil bagian depan yang rusak parah. Juga luka sedalam 0,5 cm di kepalaku dan patah lengan pada kakakku, menyisakan trauma untukku.
Pengaruh obat bius habis ketika aku terbangun ditemani sinar lembayung sore hari yang membakar bayanganku, menyisakan gurat-gurat kepasrahan di wajahku. Sepi termakan ketika suara pintu terbuka diikuti sapaan seorang dokter dan suster. Bertanya ringan, diselingi candaan tentang bagaimana keadaanku. Tidak pusing, hanya pegal di beberapa bagian. Keduanya pergi setelah menyiratkan kalau keadaanku akan baik-baik saja dua-tiga hari ke depan.
Sunyi kembali. Kicauan burung-burung tampak ingin mengisi, namun gagal seiring kepergian mereka ke tempat bersarang. Masih menikmati hangatnya sore hari, bayangan gedung-gedung pencakar langit tampak memanjang, menelan gedung-gedung kecil lainnya. Termakan gelapnya malam, hilangnya cahaya matahari ikut bawa pergi kepasrahan.
Sayup terdengar suara adzan saling bersahutan dengan nada beraturan dan suara yang terkadang ngilu terdengar. Masih seperti pertama kali aku mendengarnya. Tenang dan damai.
Melirik ke arah pintu yang masih tertutup rapat sejak dokter datang, di baliknya suara-suara gaduh terdengar. Ada apa?
Tubuhku rasanya hampir bergerak refleks ingin menolong ketika ada seorang anak kecil yang terjatuh dengan suara menyakitkan membentur lantai diikuti bedebum suara pintu yang menghantam dinding. Tiang infus bergerak jatuh mengikuti gravitasi, menimpa anak kecil yang kini sedang meringis menahan sakit.
Terhalang kaki kanan yang di gips juga selang infus, aku hanya bisa berteriak sekencang yang kubisa, terus memanggil-manggil dokter sekencang dan sejelas yang kumampu. Tak peduli keadaan di sekitarku. Tanpa usaha nyata menolong anak itu, hanya diam di kasurku dan berteriak tanpa ampun, menyakiti hatiku.
Aku bersyukur ketika tidak lama beberapa dokter dan suster berlari ke ruanganku dan mengambil tindakan cepat untuk menolong anak kecil yang selang infusnya sudah tidak pada tempatnya. Darah segar mengalir dari tangan kiri bekas selang infusnya disematkan. Bayangan huru-hara mereka menghilang tidak lama.
Atmosfer tegang itu hilang secepat kedipan mata. Kelegaan hatiku meluap terlalu hebat di dalam dada. Dan doaku, semoga anak itu tidak apa-apa.
Sebuah bayangan mendekat dengan tergesa-gesa. Dia berhenti tepat di ruanganku yang pintunya masih terbuka. Seorang dokter adalah tebakan paling tepat yang bisa disimpulkan pikiranku. Dan tampaknya memang benar. Dia melirik ke arahku dan melihat kekacauan di depan pintu. Yang akupun tidak menyadarinya. Darah segar menodai putihnya lantai, beberapa membekas seperti goresan panjang ban, dan yang lainnya menjejak karena terinjak.
Orang itu berjalan masuk ke ruanganku. Pakaiannya terlihat berantakan. Kemeja yang acak-acakan dan celana yang tergelung hingga di atas mata kaki. Jas dokternya dia tenteng asal menyisakan lipatan-lipatan kusut di sana. Memakai jas miliknya tanpa bicara, dia membuang napasnya seolah membuang beban yang besar. Dirogohnya saku jas, mengeluarkan senter kecil di sana. Dia akan menyinari mataku dengan seternya.
Namun suatu keadaan menghalanginya. Gerakannya cepat, mataku mengikutinya dan baru kusadari infusku sudah terisi sedikit darahku. Selang yang menghubungannya penuh dengan warna merah yang mencekam. Dan ketika akhirnya aku sadar dari lamunanku, infusku sudah diganti dengan yang baru. Berikut selang, dan yang pasti luka di tanganku akibat infus bertambah satu. Hela napas pasrahku terdengar memberatkan saat itu.
Baru saja aku menetralkan diri dari tiap keadaan yang tempak mempermainkan, dokter itu mengatakan hal yang menyakitkan. Bahwa anak kecil tadi adalah pengidap lupus yang tidak ada obatnya. Dokter bercerita, jarak ruangan anak itu dari ruanganku lima ruang. Untuk sampai ke ruanganku sendiri adalah suatu pencapaian yang besar meski harus roboh di tengah jalan.
Mendengar itu, aku bertanya kenapa anak itu mau keluar dari ruangannya padahal tau dia sulit melakukannya, yang dijawab senyum haru yang terlihat pedih.
Dia ingin sholat berjamaah, begitu kata dokter itu padaku. Jarak mushola ada di belokan di depan ruanganku lalu berjalan lurus sampai menemukan simpangan selanjutnya, belok lalu melewati dua pintu ruangan dan sampai di mushola yang besarnya tidak seberapa.
Aku menangis saat dokter menceritakannya. Usaha anak itu masih sangat panjang hingga sampai ketujuannya. Karena penasaran, aku bertanya kenapa anak kecil itu mau melakukannya. Jawaban yang diberikan dokter menggetarkan hatiku.
Anak itu ingin mensyukuri segala nikmat-Nya bersama orang-orang lainnya. Menyebut nama-Nya senada bersama orang-orang lainnya, dalam satu tarikan yang sama.
Menangis tak bersuara, kuluapkan segalanya bersama air mata. Pasrah-lelahnya, takut-sedihnya, tegang-shocknya, haru-senangnya, syukur atas nikmat-Nya. Penyesalanlah akhirnya andai saja tidak ada yang sadar akan segala karunia-Nya. Tuhanku masih sayang padaku. Tuhanku masih mencintaiku. Allah, masih bersamaku.
Buktinya, bukti kecil dari triliunan bukti lainnya. Aku masih bisa terbaring di rumah sakit, melihat perjuangan anak kecil itu, dan tau kalau Allah masih memberiku waktu untuk merenungi segala nikmat-Nya. Terutama nikmat hidupku.
Tangisku mereda bersamaan dengan suara dokter yang ternyata masih ada di ruanganku. Dokter itu berkata, kalau aku bisa bicara selancar orang pada umumnya untuk kemudian pergi dari ruanganku. Tak lupa, ia menutup pintunya.
Sesaat aku bertanya-tanya apa maksudnya. Untuk kemudian aku terkejut ketika tahu apa penyebabnya. Dengan tangan bergetar halus, kusentuh mulutku penuh rasa yang tak terdeskripsi kata. Bersama sunyi yang menyelimuti, aku baru sadar. Bukankah aku bisu?
Diselesaikan Hari Selasa di Bulan April tahun 2016
[ZMardha] willyaaziza
Santri kelas 2 SMA Pesantren Media