Loading

Whoa…

We don’t even have to try

It’s always a good time!

Apa yang akan kalian lakukan jika komputer kalian mendadak hang dan menjadi sangat lemot untuk dijalankan? Cara paling sederhana mungkin kalian akan mengklik kanan di halaman desktop, kemudian tekan refresh. Jika cara tadi tidak manjur, bisa juga dengan menekan tombol ctrl+alt+delete secara bersamaan, dan tekan task manager. Segera akhiri proses aplikasi-aplikasi yang tidak begitu dibutuhkan namun menyita cukup besar ruang pada memori. Jika komputer tetap saja lemot, maka perlu direstart. Namun jika cara di atas tak kunjung juga membantu, maka terpaksa, kita harus menggunakan jalan akhir, yakni diberi LEM BIRU. LEMpar, BelI yang baRU.

Namun, apa yang terjadi jika hang terjadi pada manusia? Tentunya, hang yang terjadi pada manusia jelas berbeda dengan hang-nya komputer. Hang yang terjadi pada manusia bisa berbentuk turunnya semangat belajar dan kerja, mulai malas dan bosan, sehingga butuh di refresh. Manusia juga butuh penyegaran ulang!

Jum’at, 5 Oktober 2012 adalah tanggal kami me-refresh diri kami di sebuah tempat yang sama sekali baru bagi kami, yakni lokasi wisata air terjun Curug Luhur. Air terjun ini terletak di lereng Gunung Salak, tepatnya di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya,Kabupaten Bogor , Propinsi Jawa Barat. Kalau mau mencapainya dengan GPS, ini koordinasinya : 6° 39′ 38.59″ S  106° 42′ 21.71″ E.

Kami berangkat dari Pesantren Media pada pukul 07.00 WIB menggunakan tiga buah mobil. Satu milik Ustad Umar Abdullah, dan dua lain adalah angkot yang disewa oleh pihak pesantren. Tentu tidak seperti angkatan pertama dulu yang hanya memerlukan sebuah mobil setiap pergi. Kini santri di Pesantren Media sudah banyak, sehingga satu mobil saja tidak cukup. Kami berangkat secara beriringan. Angkot yang dinaiki akhwat SMA di depan, mobil Ustad Umar di tengah, dan mobil ikhwan SMA serta akhwat SMP di posisi yang paling belakang. Beberapa dari kami ada yang tidak ikut karena dilarang oleh orangtua mereka. Mungkin karena masih dikaitkan juga dengan kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak beberapa bulan lalu.

Hei, apa Sukhoi menabrak Gunung Salak tiap hari?

Sepanjang perjalanan, kami memandangi jalanan desa yang tidak seramai di bawah sana, di pusat kota. Jika diperhatikan, Bogor ternyata memiliki model jalanan yang naik turun, mirip seperti di Temanggung. Pemandangan dan cuaca di desanya pun mirip. Aduh, jadi teringat rumah. Angkot kami sempat beberapa kali terkentut-kentut mengerikan, bahkan sesekali berhenti di tengah tanjakan. Hal tersebut tentu membuat degup jantung melonjak cepat, dan akhwat SMP berteriak-teriak. Tapi akhirnya, pada pukul 07.50 WIB kami sampai di lokasi dengan selamat.

Suasana di depan lokasi wisata Curug Luhur

Kami turun dari angkot, dan kedua angkot itu segera pergi. Mereka tentunya hendak mencari penumpang. Jika mereka menunggu kami, mereka tentunya akan rugi. Ustad Umar pun segera menuju loket untuk melakukan pembayaran. Kami sudah mengumpulkan uang sebelumnya ke Teh Ika untuk biaya angkutan dan biaya masuk. 20 ribu rupiah untuk biaya angkutan, dan 5 ribu untuk biaya masuk. Tidak terduga, ternyata biaya masuknya 30 ribu! Mahal amat!

Namun, tiket masuk tetap dibeli meski kami sebenarnya tidak enak juga dengan pihak pesantren. Pesantren rugi 25 ribu per anak dong? Kalikan saja dengan jumlah santri di Pesantren Media.

Suasana sekitar Curug Luhur yang sudah tidak alami lagi

Lokasi wisata ini bisa dibilang sudah tidak alami lagi. Bayangkan saja, air terjun yang tingginya hanya 39 meter dan luas kolamnya yang hanya sekitar 150 meter persegi ini sudah dihiasi dengan puluhan kolam renang di sekitarnya yang disusun tidak rapi dan bahkan menurutku berantakan. Sehingga, suasana alami yang kami harapkan tidak kami dapatkan. Tak berapa lama saja, aku sudah bosan memandangi air terjun itu, bahkan sempat geram juga. Cuma beginian mah harusnya gratis, lagi pula pede banget sih merubah-rubah kondisi alam yang indah menjadi kolam renang yang aut-autan?  Aku kembali ingat Temanggung.

Air terjun Curug Titang Tembarak yang masih alami

Oh, di Temanggung sih apa-apa murah. Di dekat desaku, ada sebuah air terjun yang bernama Curug Titang. Air terjun tersebut memang tidak setinggi yang ada di Curug Luhur, namun aliran sungai yang sangat deras membuat air terjun tersebut terlihat sangat indah. Suasana di sekitarnya pun sangat hijau, dengan tebing-tebing tinggi yang kokoh dan dipenuhi lumut dan tumbuhan hijau yang meneduhkan. Kolam alaminya pun lebih lebar, sehingga bisa berenang lebih bebas. Dan yang paling penting, masuknya gratis! Nggak ada pengawas, atau apa lah. Penjual makanan pun tidak ada. Jika ke Temanggung, kalian harus mencoba air terjun ini. Mandi di sana serasa mandi di air terjun pribadi.

Dan kolam renang? Ada sebuah objek wisata di Temanggung yang diberi nama

Suasa di Pikatan Water Park Temanggung

Pikatan Water Park, dan lokasinya cukup dekat dari rumahku. Jika dibandingkan dengan Curug Titang, memang Pikatan hanya sekitar setengahnya. Namun, masalah kerapian, Curug Titang jauh! Meski fasilitas wisata airnya tidak selengkap di kota-kota besar, tidak sebesar dan seluas lokasi wisata water park lainnya, namun apa yang disediakan sudah cukup memuaskan. Lokasi wisata ini memiliki banyak kolam renang dan water slide yang ditata rapi. Dan yang paling indah adalah suasana tropika yang terlihat jelas dengan banyaknya pohon-pohon kelapa yang terletak di luar pagar. Dan untuk itu semua, kita hanya perlu merogoh uang di dompet sebesar 7.500 rupiah! Murah banget nggak sih? (http://pikatanwaterpark.com/)

Di Bogor, sebenarnya banyak juga lokasi kolam renang yang lebih bagus dan sangat bagus, tapi mahalnya itu lho, yang bikin sesak!

Air terjun Curug Luhur

Aku berdiri di salah satu sudut yang paling nyaman untuk mengamati Curug Luhur yang mengalir dan terjun dengan indah. Melihat air yang mengalir selalu menentramkan hatiku, termasuk meredam geramku terhadap pemilik lokasi wisata yang telah memangkas suasana alami di sini. Tempias air yang terbawa bersama angin mengelus-elus lembut wajahku, membawa udara basah yang segar. Beberapa anak mulai foto sana foto sini dengan riang. Setelah puas mengamati air terjun yang indah tersebut, kami pun mencoba kolamnya. Santri ikhwan ramai-ramai masuk ke dalam kolam alami tersebut.

Dan, wuih! Ternyata segar sekali airnya! Kami pun bermain-main air dengan

Santri-santri yang asyik berfoto di bawah air terjun Curug Luhur

gembira, melepaskan semua kotoran penat yang menumpuk selama seminggu kemarin. Terasa ringan sekali perasaan ini saat bermain-main air. Oh, asyik sekali rasanya! Ustad Umar menyuruh kami berbaris di depan air terjun, dan dalam hitungan ketiga, beliau menyuruh kami meloncat bersamaan. Ustad Umar segera mengabadikan momen melayang kami tersebut.

Setelah puas di kolam alami, kami pun menuju kolam-kolam palsu tersebut. Well, tidak buruk juga. Airnya masih alami, sehingga tidak membuat gatal dan mata merah. Wahananya pun juga tidak begitu buruk. Ember tumpah membuat kami terpental ke kolam, water slide yang sangat tinggi dan curam membuat kami berteriak sejadi-jadinya. Kami bermain-main air lama sekali,dan bahkan mencoba water slide yang sangat curam itu berkali-kali.

 

Salah satu wahana permainan di Curug Luhur

Berjam-jam bermain, Ustad Umar pun mengingatkan kami untuk segera membereskan diri dan segera mengerjakan tugas yang diberikan, yakni membaca fakta, wawancara, dan fotografi. Aku pun segera bilas. Tidak tahunya, ternyata bilas saja harus membayar 2.000 lagi. Ah, matre amat sih? Bahkan di sebuah tempat peristirahatan yang menyerupai tenda, terdapat tulisan yang menurutku sangat kejam bin matre. ‘Duduk di kafe dikenakan biaya 5.000!’ Kenapa ya, di depan saja sudah mahal begitu, di dalamnya pun kita masih diperas? Menurutku, pemilik obyek wisata ini memiliki pandangan ekonomi yang dangkal. Pengunjung seolah harus dieksploitasi sebisa mungkin. Ini bayar, itu bayar. Padahal, jika dia membuat biaya masuk murah, dan di dalam sudah tidak perlu membayar lagi, aku yakin pengunjungnya akan semakin banyak. Jika caranya seperti ini, aku saja rasanya tidak ingin mengunjungi tempat itu lagi.

Selesai bilas, kami makan nasi bungkus dengan lauk rendang. Lapar yang

Peringatan yang sangat kejam

diakibatkan gerakan kami tadi yang super pun terbalaskan dengan santapan lezat ini. Saat makananku sudah habis, rasanya aku masih lapar. Ustad Umar sebenarnya sudah menawari siapa yang ingin tambah. Tapi malu gimana gitu rasanya. Nggak tahu deh ya, kenapa aku sekarang ini kok suka ikut-ikutan jaim, alias jaga image. Padahal dulu, aku selalu berusaha menjadi diriku sendiri apa adanya. Ah, mungkin karena di sini ikhwan dan akhwat jaraknya bisa dibilang dekat, jadi bagaimana pun caranya, ‘rasa’ itu pasti akan ada. Namanya juga remaja. It’s usually such as that, right?

 

Adek Muhammad pun ikut bereksplorasi

Selesai makan, aku punya banyak waktu sendiri untuk mengeksplorasi seluruh isi obyek wisata ini. Aku sempat bertemu dengan seorang petugas kebersihan, dan mengobrol sebentar dengannya. Pria itu nampaknya sudah berada di pertengahan 40 tahun. Namanya Pak Rian. Beliau sudah bekerja di tempat tersebut sebagai petugas kebersihan sejak tahun 2005. Berarti sudah hampir 7 tahun beliau bekerja di obyek wisata ini. Beliau hanya tukang sapu dan kebersihan lingkungan curug, sementara untuk kebersihan kolam, sudah ada orang lain lagi. Kata beliau, memang hari Jum’at tempat ini selalu sepi, dan hari Sabtu orang-orang mulai berdatangan dan puncaknya adalah hari Minggu. Jelas saja beliau mengerti, sebab sudah bekerja di sini setiap hari dalam seminggu dan dilakukan selama 7 tahun.

Setelah puas bertanya-tanya, aku kembali menuju air terjun untuk merenung di sana.

Dalam Al-Quran Q.S An Nur ayat 43, Allah SWT berfirman;

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan,

Air yang mengalir

kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatan olehmu hujan keluar dari celah-celahnya, dan Allah juga menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakannya butiran-butiran es itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan dihindarkan dari siapa saja yang dikehendaki-Nya, kilauan kilat awan itu hampir menghilangkan penglihatan.”

Aku mulai memikirkan ayat di atas. Coba sekali lagi perhatikan, bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa mengatakan hal demikian (kata-kata yang indah namun mempunyai makna ilmiah yang faktual) di masa hidupnya, sedangkan Beliau bukanlah seorang pakar sains, dan di abad itu memang belum ada ahli sains, itu adalah abad dimana manusia tenggelam di dalam hal-hal mistis, tidak ada manusia yang berfikir tentang sains. Abad ke 7 adalah abad kuno, dan abad yang jauh menyentuh peradaban sains modern. Aku tidak percaya itu ucapan Nabi Muhammad, aku yakin itu adalah Firman Allah SWT, bukti bahwa dia Dzat Yang Maha Mengetahui, dan Dia ada. Sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah utusannya yang menyampaikan Kalam-kalam-Nya.[1]

Al-Qur’an bukan karangan Waraqah seperti yang difitnahkan film murahan sejenis Innocence of Muslims, temen-temen! Hoeeeek… denger judul filmnya aja udah jijik!

Jam 11 siang kami berkumpul lagi. Ustad Umar mengajak santri ikhwan untuk shalat Jum’at di luar, sementara akhwat dan Umi Latifah shalat di mushola. Dengan mobil Panther biru milik Ustad Umar, kami pun melaju meninggalkan lokasi wisata untuk sementara dan mencari masjid terdekat.

Sepanjang perjalanan menuju masjid, aku merasa sangat lelah. Mataku yang sudah tinggal beberapa watt terus meredup dan akhirnya aku tertidur. Aku hanya mendengar gumaman-gumaman tidak jelas dari orang di sekitarku. Kesadaranku tinggal setengah-setengah.

Aku samar-samar mendengar mobil sedang hendak diputar, tapi entah bagaimana. Logika orang setengah tidur memang selalu kacau. Namun tiba-tiba saja, aku merasa seolah gravitasi tersedot ke sebuah arah di depanku. Sontak aku membuka mata. Mobil yang kami naiki ternyata tengah meluncur tak terkendali di sebuah jalan sempit yang sangat curam, jalan yang memang tidak diperuntukkan untuk mobil. Namun entah mengapa, mobil ini terus melaju seolah tak bisa dihentikan. Musa yang sebelumnya diperintahkan untuk memberi arahan pada mobil yang hendak berputar segera menghindar ke samping setelah gagal berusaha menahan mobil itu meluncur seorang diri. Ustad Umar berusaha menekan rem, namun mobil tersebut seolah sudah tak bisa dihentikan lagi.

Semua orang di dalam mobil berteriak panik. Aku yang sebelumnya tertidur segera terbangun dan mengelukan takbir, Allahu Akbar!

BUKK!

 

Mobil yang ‘nyungsep’ parah

Mobil itu tertahan sepetak tanah yang sangat sempit. Sepetak tanah yang menjadi pertaruhan nyawa kami. Sepetak tanah yang letaknya lebih tinggi dari jalan sempit tersebut, yang membuat mobil miring ke kiri. Aku menahan nafas. Mobil masih bergerak pelan menanjak ke arah petak kecil tersebut, mengesankan seolah-olah mobil ini akan terbalik ke kiri dengan kami di dalamnya. Namun mobil tersebut sudah terlebih dahulu berhenti, dan Ustad Umar segera memerintahkan kami turun. Secepatnya.

Suasana kacau. Orang-orang yang sebelumnya sedang bersiap melaksanakan shalat Jum’at segera berhamburan keluar masjid untuk melihat apa yang terjadi. Wajah kami terlihat sangat tegang. Jantung berdegup kencang dan nafas terpotong-potong, seolah tak percaya apa yang baru saja kami lihat adalah sehasta menuju kematian. Oh…

Warga desa yang memang didominasi oleh sunda muslim segera saling mengoceh dengan Bahasa Sunda yang tidak dapat kami tangkap artinya. Akhirnya, salah seorang berkata kepada Ustad Umar, “Pak, kita shalat saja dulu, nanti setelah shalat Jum’at kami bantu menaikkan mobil bapak.”

Aku dapat menangkap wajah cemas masih terlukis di setiap kerut wajah Ustad Umar, bahkan sampai setelah wudhu. Aku membayangkan jika berada di posisinya. Aku adalah seorang yang diamanahi anak orang untuk tinggal bersamaku, dan baru saja kami hampir celaka bersama-sama.

Dalam menilai kehidupan, kita sudah seharusnya memandangnya dengan berbagai sudut pandang. Agar nantinya kita dapat melihat sisi yang tak terlihat jika kita hanya menjunjung ego pandangan kita. Jika kita ingin dimengerti, berusahalah mengerti orang lain.

Setelah shalat usai, penduduk desa kembali mengerubuni mobil Ustad Umar. Mereka kembali berdiskusi dengan bahasa ansing, dan ramai-ramai mereka berusaha menaikkan mobil yang terperosok jalan sempit tersebut.

Beberapa orang segera mengambil tali tambang, mengaitkannya ke bagian belakang mobil dan menariknya berama-ramai. Satu orang ditugaskan untuk naik ke dalam mobil untuk mengendalikannya, dan mobil didorong dari depan. Gas dinyalakan, dan misi penarkan mobil pun dimulai.

Mobil yang digas mundur dengan kekuatan tinggi ternyata tidak begitu membantu dikarenakan jalan yang begitu curam, sehingga tanpa penarik tambang dan pendorong mobil, usaha itu akan sia-sia. Roda hitam itu bahkan sempat hanya berputar di tempatnya tanpa memberi hasil yang cukup memuaskan. Jarak mobil terperosok cukup jauh, sehingga beberapa kali harus dihentikan dengan mengganjal mobil tersebut dengan batu. Aku nyaris tidak tahan melihat adegan itu, karena mobil seolah-olah selalu ingin jatuh menubruk pendorong di depan dan mencelakakan pengemudi di dalamnya.

Namun, aku melihat orang-orang yang berusaha menaikkan mobil tersebut itu adalah orang yang tangguh, tidak memasang wajah takut sekerut pun, dan terus berusaha dengan susah payah. Mobil ‘bandel’ tersebut akhirnya berhasil dinaikkan. Aku merasa sangat terharu dengan penduduk desa ini. Rasa gotong royong mereka sangat tinggi, dan ternyata mereka tidak meminta imbalan apa pun. Bahkan, ibu-ibu pemilik rumah tersebut menolak saat Ustad Umar memberikan beberapa uang untuk ganti rugi sepetak tanah yang ternyata adalah taman kecil ibu tersebut. Apakah hal seperti ini masih terjadi di bawah sana, di kota? Aku rasa tidak.

Ya Allah, semoga Kau jadikan orang seperti mereka semakin banyak. Jadikan mereka menjadi orang yang tertolong jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.

Amin.

Kami pun kembali ke Curug Luhur. Dua angkot yang tadi mengantar kami ternyata sudah datang menjemput. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, kami pun segera naik mobil masing-masing. Iringan mobil masih sama dengan yang tadi. Sekita pukul setengah dua kami melaju meninggalkan Curug Luhur di belakang.

Kami pulang dengan perasaan campur aduk. Subhanallah, ternyata Allah masih memberi kesempatan bagi kami tidur. Di angkot, aku kembali memikirkan kembali kejadian-kejadian sepanjang hari. Ternyata hari ini penuh dengan rasa yang berbeda-beda.

Ya. Satu cerita, namun sejuta rasanya.

[Hawari, @hawari88, santri SMA tahun pertama di Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini sebagai bagian dari tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif Pesantren Media

By Hawari

Hawari, santri angkatan ke-2 jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://downfromdream.tumblr.com | Twitter: @hawari88

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *