Loading

SpeakUp

Berbicaralah dengan jelas, kalau kau memang harus bicara. Ukir setiap kata, sebelum kau biarkan terlepas. (Oliver Wendell Holmes)

Di kelas public speaking, pada awal pertemuan, ada seorang wanita – di kemudian hari ia menjadi teman akrab kami – yang kerap menjadi perhatianku. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat ia tampak berbeda. Ternyata kehadiran sosoknya juga menjadi perhatian mentor kami, yaitu Bapak Tubagus Wahyudi (Beliau adalah salah seorang sahabat Tantowi Yahya).

“Dari mata Ibu, sepertinya Ibu menyimpan sesuatu.” Kata Pak Tubagus, saat Ibu itu berada di depan kelas, dihadapan kami.

Kemudian beliau menoleh ke kami dan berkata “Teman-teman, tolong perhatikan mata Ibu Asti! (bukan nama sebenarnya-red). Mata itu menyimpan amarah, kecewa, dendam, sekaligus murung yang tampaknya disimpan Bu Asti, bertahun-tahun lamanya.”

Serempak, kami menatap Ibu Asti dan sepakat mengangguk membenarkan. Aku mulai menyadari, itulah yang membuat ia berbeda dengan teman-teman lainnya. Mata Bu Asti tak pernah menatap lawan bicaranya secara langsung. Ya, tentu saja bukan seperti mata seseorang yang hendak gadhul bashar (menundukkan pandangan).

Ketika kita berbicara padanya, mata itu berkilat aneh. Bukan, bukan pula tampak seperti mata seseorang yang melotot marah. Mata itu sebenarnya redup, namun menyimpan bara. Ah, betapa sulit menjelaskannya. Benar kata pepatah, mata itu cerminan hati. Siapa yang dapat menebak hati seseorang?

Ibu Asti masih di hadapan kami, dan tersenyum ‘terpaksa’.

“Bu Asti, ada yang ingin Ibu bagi dengan kami?” Suara Pak Tubagus yang tenang dan penuh tekanan, seolah-olah mendorong Bu Asti untuk bicara.

Suasana hening. Sesaat kemudian, akhirnya Bu Asti membuka mulutnya. “Saya hidup dengan orang-orang yang sulit diajak bicara. Dari kecil, saya sulit bicara dengan ayah. Sekarang, setelah menikah, saya sulit bicara dengan suami. Mereka tidak memahami saya.” Tandasnya.

Pak Tubagus menghela napas, kemudian berbicara dengan nada simpatik dan penuh tekanan.

“Tidak ada orang yang sulit diajak bicara, hanya kita yang tidak tahu, cara yang tepat untuk berbicara dengannya.”

Ya, terlalu banyak kata sambung ‘yang’. Namun menguranginya, aku rasa akan mengubah maknanya. Aku juga sudah lupa, kalimat tepatnya dari Pak Tubagus seperti apa. Hanya saja, kalimat itu selanjutnya menari-nari dalam benakku, berhari-hari lamanya.

Aku mencoba menelaah perjalanan hidupku. Rasanya, di beberapa episodenya, kutemui orang-orang yang memang sulit diajak bicara – meski pengaruh orang-orang itu terhadapku, tidak sebesar pengaruh orang-orang yang ditemui Bu Asti dalam hidupnya – seperti dosen yang tampak killer, tetangga yang berwajah tak ramah, teman yang mudah tersinggung, tokoh yang kerap menolak undangan. Semuanya kuanggap orang-orang yang sulit diajak bicara meski sudah berkali-kali kucoba. Maka, kuanggap itu bagian dari hitam putih kehidupan. Wajar-wajar saja.

Namun, makna dari kalimat Pak Tubagus berkata lain. Ketika seseorang sulit diajak bicara, kitalah yang sebenarnya tidak mengetahui cara menghadapi orang tersebut. Teknik berbicara kita dipertanyakan. Seni berkomunikasi kita diragukan. Kemampuan berbahasa kita diperdebatkan. Dengan kata lain, kitalah yang tidak optimal menggali kemampuan kita dalam berkomunikasi dengannya.

Ini berarti, sesungguhnya, dalam diri manusia sudah diberi Allah SWT kemampuan untuk berkomunikasi dengan bermacam-macam cara. Allah SWT telah memberi akal manusia yang berpotensi untuk menguasai itu semua. Cara-cara itulah yang kemudian dipelajari dan diberikan pada seminar-seminar motivasi dan kelas-kelas public speaking.

Maka aku mulai menelaah lagi. Benarkah aku sudah sungguh-sungguh bicara dengan orang-orang tersebut? Benarkah aku sudah bicara dengan cara, seni, dan teknik yang tepat dengan mereka? Bila ya, benarkah aku sudah mencoba-coba dengan berbagai metode yang berbeda?

Sebagai seorang muslim, bukankah Rasulullah sebagai suri tauladan yang utama telah memberikan bukti. Beliau adalah pembicara terbaik. Beliau adalah public speaker terunggul. Inilah sabdanya yang disampaikan oleh Ali ra,

Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui…” (HR. Al-Bukhari).

Demikian pula yang telah disampaikan dari Abdullah bin Mas’ud:

Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak terjangkau akal mereka, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim).

Ah, seharusnya sebagai seorang muslim yang memiliki aturan hidup yang lengkap dan sempurna, aku bisa menerapkan ini sejak lama.

Sejak saat itu, aku bertekad, akan mengupayakan untuk berbicara dengan orang-orang yang kutemui dengan cara yang tepat. Berbicara dengan tetangga, tentu berbeda caranya dengan berbicara terhadap dosen. Berbicara dengan remaja, tentu berbeda caranya dengan berbicara terhadap orang tua. Begitu pula berbicara dengan tokoh masyarakat, tentu berbeda dengan berbicara terhadap mahasiswa.

Percaya atau tidak, dalam pertemuan kami yang sekali seminggu, perlahan namun pasti, wajah Bu Asti mengalami perubahan. Matanya mulai menatap lawan bicaranya. Mata itu kini bukan hanya redup, namun juga mulai bersinar hangat. Hal itu tampaknya bukan hanya aku yang menyadari. Namun juga disadari teman-teman sekelas. Bahkan oleh Pak Tubagus sendiri.

Bagaimana dengan kalian, teman-teman? Maukah kalian belajar berbicara dengan cara yang tepat bersamaku? Karena dalam berbicara, aku tak mungkin sendiri. Bukankah begitu?

 

ooOoo

 21 Januari 2013

[Wita Dahlia, ‘santriwati kalong’ Pesantren Media]

Catatan: tulisan ini bagian dari tugas menulis feature di Kelas Menulis Kreatif, Pesantren Media

By Hawari

Hawari, santri angkatan ke-2 jenjang SMA di Pesantren Media | Blog pribadi: http://downfromdream.tumblr.com | Twitter: @hawari88

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *