Assalamu’alaykum wr.wb
Hay, penasaran dengan kelanjutan kisah sebelumnya? Nggak usah lama-lama. Penulis nggak mau basa-basi. Let’s check it out!
#2
Sosis bakar, nasi putih plus sayur wortel dan buncis telah habis (kecuali sayurnya Maila, Ela, Fathimah dan Teh Yuni) untuk kemudian diproses di dalam perut. Penulis bersama Ela masih duduk di sofa berwarna hijau tua yang tertata di teras depan Pesantren. Sementara Teh Yuni dan Maila sedang bersiap. Malam ini Maila akan menginap di rumah Teh Yuni. Udara dingin berhembus dan tidak lama lagi hujan akan turun. Oleh karena itu Maila memakai jaket hijau barunya. Terdapat dua telinga hewan (kalau tidak salah telinga panda) di sisi kanan dan kiri tudung jaketnya. Sebelumnya, Teh Yuni menyuruh Maila memakai jaket hitam miliknya. Jadi, Maila memakai dua jaket. Setelah siap, akhirnya mereka berangkat dengan naik sepeda motor. Menurut penulis, jarak rumah Teh Yuni dan Pesantren lumayan jauh. Tepatnya di Ciampea. Semoga sebelum hujan turun mereka sudah sampai. Amiin.
Kini tinggal kami berdua. Penulis dan Ela saling diam karena kekenyangan. Gerimis turun perlahan.Udara dingin masih berhembus. Tapi tak sampai menusuk tulang. Tiba-tiba penulis teringat obrolan saat makan tadi. Obrolan mengenai rencana pindahan santri akhwat TI ke PM. Rencananya malam ini mau pindahan. Soalnya, besok Via dan Cylpa mau pulkam. Usai makan, penulis meminta konfirmasi lagi kepada Via lewat SMS.
“Vi, jadi pindahan sekarang?”
“Jadi, Teh. Tapi anak PM bantuin, ya.”
“Ok, sekarang aku sama Ela mau ke TI. Nissa belum pulang. Beli oleh-oleh sama Om Dedy.”
Kurang lebih seperti itu isi SMS-nya (penulis lupa tulisan yang benernya. Udah kehapus. Jadi maaf-maaf jika ada yang salah). Tak lama kemudian penulis dan Ela ‘meluncur’ ke TI. Berjalan kaki ke TI pada malam hari ditemani gerimis dan udara dingin. Wuih… hati-hati kena kubangan! Kami melewati warung Ucok (baca: huruf ‘w ucok’ dalam bahasa Inggris) Sesampainya di asrama TI, Via, Ica dan Cylpa sedang beres-beres. Beberapa barang sudah ‘diisolasi’ seperti box, baju, tas, lemari dll. Penulis membantu mengikat kasur dan teman-temannya (bantal, guling dan selimut) menggunakan tali rapia. Warga TI mengeluarkan harus barang-barang yang masih ada di kamar, dapur, kamar mandi dan kamar di pojok ruangan. Kini dua kamar sudah kosong kecuali gantungan baju, sterofom dan sebuah kartu yang sengaja tidak diambil.
Kami kekurangan tali rapia. Kasur Ica terpaksa tidak diikat. Oya, ruang tengah lampunya mati. Hanya cahaya lampu kamar yang membantu kami membereskan barang. Sebagian barang kini sudah diletakkan di ruang depan. Perabotan yang ada di dapur belum dibereskan. Begitu juga dengan obat-obatan dan barang lain yang ada di atas meja di ruang tengah. Kamar di pojok ruangan pun masih belum beres. Dilihat-lihat ternyata barang-barang di TI banyak juga. Padahal sisa penghuninya cuma tiga orang. Wah… ternyata barang milik orang lain yang pernah dipinjam Teh Novi juga ada di ruang tengah. Ada meja, buku, baju mihna, gamis dll. Mungkin tidak sempat dikembalikan karena Teh Novi keburu pulkam tadi pagi.
Ok, masih banyak barang yang harus dibereskan. Kami mulai lagi dengan obat-obatan dan segala yang ada di atas meja. Ada obat milik Mila. Menurut Ica sih sudah lama jadi dibuang aja. Ada charger hp, mouse, earphone, kabel-kabel kecil dan baterai (hampir sudah rusak semua). Barang-barang ini (termasuk obat-obatan Mila) ‘diisolasi’ ke dalam kantong plastik hitam berukuran sedang.
“Via, ini dibuang nggak?”
“Cyl, ini gimana?
“Hey, yang ini dibuang juga?”
“Ini punya siapa? dibuang, ya.”
“Ica, kantong plastiknya!”
“Teh, yang itu dibuang aja.”
“Ini celana panjang siapa yang digantung?”
“Punya Ica.”
“Nggak, ini punya Mila.”
“Yang itu jangan. Masih bangus!”
“Jangannn!”
“Ini nggak ada pemiliknya. Buang nggak?”
“Ini apa? Raket? Buat apa?”
Kurang lebih itulah percakapan yang terjadi di saat kami sibuk memisahkan barang. Yap, kami memang super duper sibuk. Saking banyaknya pertanyaan mengenai barang mana yang harus dibuang, Via tertawa. Yang lainnya pun demikian.
Barang lainnya seperti cangkir, dispenser, tempat gula dll diletakkan bersama barang di ruang depan. Via membereskan sisa barangnya. Mouse yang selama ini dia cari ternyata ada di dalam tas berwarna ungu miliknya. Tas rotan yang sepertinya sudah lama tidak dipakai dimasukkan ke dalam kelompok barang-barang yang akan dibuang. Via sempat menawarkan tas itu kepada penulis. Otomatis penulis mau. Masih bagus loh. Tapi setelah Via memberitahu bahwa tas itu tidak bisa dicuci dengan air alias harus pake kuas, penulis mengurungkan keinginan itu. Sebagai gantinya, Via memberikan sepasang sepatu berwarna putih yang baru sekali dipakainya, yaitu waktu ke Bekasi.
Barang yang masuk ke dalam plastik hitam ternyata tak sedikit. Malah hampir penuh. Kami kekurangan plastik. Beruntung Ica segera membeli plastik hitam. Usai membereskan barang-barang di atas meja, lanjut ke kamar di pojok ruangan. Kamar itu gelap. Tidak ada lampu yang menyinari. Beberapa kasur dan karpet busa ditumpuk di pojok, sengaja tidak dibawa pindah. Ica mengeluarkan barang miliki Wigati, adik kelas kami yang sekarang sudah pindah dan menetap di Riau. Ternyata barang miliknya masih ada di sini.
Barang milik Wigati sengaja diletakkan di ruang tengah untuk dirapikan. Wuihh ada dua box. Satu box sangat berat karena berisi buku-buku. Box satunya berisi jilbab, kerudung dll. Oya, Wigati juga punya bros banyak. Barang-barang yang sudah rusak kami masukkan ke dalam plastik hitam.
“Ini udah rusak. Buang, ya?”
“Ih, ini masih bagus. Masukin lagi.”
“Aduh, banyak banget bukunya.”
“Ini bukannya mukena Rani?”
(Salah satu dari kami membereskan barang milik Teh Novi dan Via yang tersisa)
“Ini fried chicken siapa?”
“Punya Teh Novi. Semalem nggak sempet dimakan. Kekenyangan.”
“Terus gimana?”
“Udah, buang aja. Udah terkontaminasi dengan debu-debu.”
“Via…!”
“Iyaaa…”
“Ini punya kamu!”
“Buang aja!”
“Beneran?”
“Udah, buang aja…!”
Tawa pun kembali mengisi ruang tengah. Via tak kuasa menahan tawanya. Walaupun ruang tengah lampunya mati tapi suasananya sangat menyenangkan. Penuh canda tawa. Seolah-olah rasa pegal menjadi hilang. Padahal barang yang kami bereskan sangat banyak.
Tiba waktunya menunggu Om Dedy untuk menjemput dan mengangkut barang-barang ke dalam mobil panter. Mobil ini sengaja kami gunakan mengingat jumlah barang yang banyak. Sambil menunggu, kami istirahat. Beberapa ada yang tidur. Om Dedy tak kunjung datang. Sementara kami belum sholat Isya. Penulis pergunakan untuk sholat Isya dan tarawih di salah satu kamar. Yang lainnya memutuskan untuk sholat di PM.
Akhirnya Om Dedy datang juga. Alhamdulillah. Eh, ada Anam juga. Saat itu penulis belum beres sholat. So, Via, Ica, Cylpa dan Ela yang mengeluarkan barang ke teras depan. Om Dedy dan Anam kemudian mengangkutnya ke mobil. Mobil panter dua kali balik ke TI. Beberapa barang seperti kasur, perabotan dapur dll kami putuskan membawanya sendiri. Via dan Cylpa sudah lebih dulu ke PM untuk menurunkan barang. Penulis dan Ela menyusul. Sedangkan Ica yang terakhir ke PM. Ternyata sesampainya di PM, yang menurunkan barang adalah Om Dedy dan Anam. Via dan Cylpa mengangkat barang untuk diletakkan di kamar atas. Eh, ada Nissa juga ternyata. Dia ikut membantu.
Usai menurunkan barang, Om Dedy dan Anam pamit ke asrama ikhwan. Jazakallahu khairan katsira ya, Om Dedy dan Anam. (Semoga tidak kapok membantu kami. xixi) Tugas baru pun menunggu kami. Mengangkat barang ke kamar atas melalui tangga depan Pesantren. Semangat!!
Kami bekerja sama menaikkan barang ke atas. Via, Ela dan Ica memilih barang yang akan diangkat. Kemudian diserahkan kepada penulis yang berada di anak tangga bagian bawah. Kemudian diesfaet ke Cylpa yang berada di tengah deretan anak tangga. Nisaa yang berada di anak tangga paling atas menyambut barang untuk kemudian diletakkan di kamar. Kegiatan ini kami lakukan secara bergantian. Mengangkat box yang isinya penuh lumayan menguras tenaga. Bentuknya yang persegi panjang membuat kami kesulitan ditambah tangga yang tidak lebar. Berkat kerja sama team akhirnya beberapa barang sudah kami angkat. Dispenser, lemari, ember dan perabotan tidak kami naikkan ke kamar atas. Barang-barang ini kami letakkan di perpustakaan dan teras depan Pesantren. Seharusnya kami meletakkannya di dapur. Tapi pintu rumah Ummi dikunci. Sepertinya sudah tidur. So, kami memutuskan untuk naik ke kamar atas lewat tangga depan. It’s time for break! Yeah!
^_^
Wait…! time for break? No!
Kami belum bisa istirahat sepenuhnya. Penulis harus merapikan dan menyiapkan kamar untuk warga TI supaya mereka nyaman. Beresin barang, sapu sana, sapu sini. Sudah lama sekali mereka tidak tidur di kamar PM. Di saat penulis beresin kamar, Via memutuskan untuk menyegarkan badan dengan bermain air alias mandi. Sementara Cylpa dan Ica sibuk merapikan barang. Cylpa melipat beberapa baju. Ia juga menyiapkan jilbab dan kerudung untuk besok pulkam. Setelah Via selesai mandi, giliran yang lain masuk kamar mandi. Bergilir dong tentunya. Usai membersihkan badan (plus gosok gigi dan berwudhu) penulis dan Nissa memutuskan untuk berbaring di kasur masing-masing. Setelah sholat Isya, Via, Cylpa dan Ica melakukan aktifitas lainnya. Cylpa dan Via sibuk merapikan pakaian. Ela dan Ica asyik nonton. Nissa yang mulai menutup matanya. Sementara penulis memperhatikan mereka.
Penulis jadi teringat dulu. Tahun pertama penulis di PM ada 10 santri akhwat jenjang SMA yang tidur memenuhi kamar ini. Penulis, Via, Ica, Holifah, Maila, Syifa, Kak Dini, Neng Ilham, Teh Novi dan Rani (dulu, asrama akhwat untuk SMA hanya ada satu. Dicampur dengan angkatan pertama yaitu Neng Ilham dan Teh Novi). Saat itu kami tidur dempet-dempetan dibatasi guling/bantal. Sedangkan tembok menjadi pembatas bagi Rani, Ica dan Kak Dini. Pokoknya duu rame. Sekarang hanya enam orang. Besok berkurang tiga. Huuft…
Waktunya tidur. Ini baru time for break! Tak lupa berdo’a dan matikan lampu. Klek!
Good night all. Have a nice dreams. See you tomorrow… ~_~ zzzZzZ
Well, Sankhwat’s Story pamit. Jumpa di tulisan berikutnya, ya. Bye bye!
Wassalamu’alaykum wr.wb
[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]