#6
Kini, kami sudah naik ke dalam kereta. Kereta belum terisi penuh oleh penumpang. Alhamdulillah kami mendapat tempat duduk. Tapi hanya beberapa menit saja. Tak lama kemudian penumpang ibu-ibu naik ke dalam kereta. Kami memutuskan untuk menyerahkan kursi kepada mereka. Ica menyerahkan tempat duduknya kepada Nissa (karena dia membawa barang). Penumpang ibu-ibu semakin banyak memasuki kereta. Dan pada akhirnya, kami santri akhwat PM berdiri di dekat salah satu pintu kereta sambil memegang pegangan berbentuk bulat yang saling bergelantungan di atas tempat kami berdiri. Kereta kini siap untuk berangkat. Bismillaah… sebentar lagi kami akan meninggalkan Stasiun Bogor. Kereta pun bergerak secara perlahan. Semakin lama semakin cepat. Tapi tidak terlalu cepat juga sih. Hehe…
Di sepanjang perjalanan, penulis asyik menikmati pemandangan di luar kereta. Berbeda dengan Ica, Nissa dan Ela yang asyik mengobrol. Penulis memang sengaja melakukan hal ini karena inilah salah satu hal yang penulis suka. Menikmati pemandangan saat jalan-jalan. Melihat kebun, sawah, perumahan warga dll. Lagi pula, suasana di dalam kereta tidak sepi. Obrolan ketiga teman penulis juga kurang jelas terdengar.
Di tengah asyiknya menikmati pemandangan, penulis melihat ada seorang ibu yang duduk tak jauh dari kami. Ibu itu bersama anak laki-lakinya -usianya sekitar 5 tahun ke atas- yang terlihat tidak seperti anak se-usianya. Ya, penulis tidak sengaja mendengar perbincangan antara ibu itu dengan ibu di sebelahnya. Anaknya memang sedang sakit. Sering kejang-kejang. Penulis lihat, kaki dan tangannya seperti tidak bisa digerakkan dengan bebas. Mungkin seperti lumpuh. Saat kejang, anak itu mengerang dan mengeluarkan air liur dari mulutnya. Anak itu menjerit. Untuk menghindari hal ini, ibunya mendekatkan ia ke jendela agar bisa melihat pemandangan di luar. Ibu itu menciuminya lembut. Kejang-kejangnya berhenti sebentar. Penulis perhatikan, sepertinya anak itu suka dengan pemandangan di luar. Ya, dia tersenyum.
Dari penampilannya, sepertinya mereka berasal dari keluarga sederhana. Penulis dengar, ibu itu ke Jakarta untuk mengobati anaknya. Ibu itu berkata bahwa ada temannya bekerja di rumah sakit di Jakarta. Ada seorang ibu yang baik hati memberikan uang kepada mereka. Uang untuk tambahan ongkos ke Jakarta. Oh… melihat mereka penulis merasa kasihan. Ica, Ela dan Nissa merasakan hal yang sama (tentunya setelah mengetahui hal ini).
Berapa banyak rakyat Indonesia yang kesulitan untuk berobat dikarenakan biaya yang sangat mahal? Semoga ibu dan anak itu selamat sampai tujuan dan bisa berobat dengan lancar. Amiin…
~~~
Perjalanan belum usai. Untuk ke Stasiun Gambir kami harus melewati 10 jalur kereta api. Cukup lama kami berada di kereta. Satu per satu stasiun kereta dilewati. Rasa pegal tak bisa dihindari. Kereta semakin dipenuhi oleh penumpang. Rasanya ingin segera turun. Oya, saat petugas kereta memberi info bahwa kereta akan sampai di Stasiun Cawang, penulis teringat waktu pergi ke IBF yang diselenggarakan di Istora Senayan Maret lalu. Saat itu kami naik kereta dan berhenti di stasiun itu. Tapi kali ini kami tidak turun di sana. Masih ada beberapa stasiun yang harus kami lewati.
Dan akhirnya tinggal satu stasiun lagi. Kami turun di Stasiun Gondangdia. Sampai di stasiun itu kami melanjutkan perjalanan. Kini kami berjalan dengan menuruni anak tangga menjauhi beranda stasiun. Tibalah kami di pangkalan bajaj. Para sopir bajaj berdiri dekat pagar –yang menjadi pembatas antara stasiun dan pangkalan bajaj- sambil menawarkan jasa antar kepada penumpang kereta yang baru keluar dari area stasiun. Termasuk kepada kami. Om Dedy rupanya sedang bernegosiasi dengan sopir bajaj. Setelah sepakat menentukan harga, akhirnya kami semua naik bajaj. Nissa satu bajaj dengan Om Dedy. Sedangkan penulis bersama Ela dan Ica. Saatnya keliling kota Jakarta!! Yeayy!
Eits, keliling kota Jakarta? Tunggu!
Sebenarnya kami tidak mengelilingi semua area Jakarta. Tujuan kami hanya satu. Stasiun Gambir. Tapi tetap saja kami senang. Ternyata naik bajaj seru juga. Bagi penulis hal ini adalah for the first time. Kami menikmati saat-saat menyenangkan ini sambil melihat pemandangan di kanan, kiri dan depan jalan. Melihat kendaraan, jalan raya, gedung tinggi, juga warga Jakarta . Walaupun udaranya panas, kami tidak mempedulikannya. Naik bajaj –apalagi untuk yang pertama kalinya- memang mengasyikkan. Penulis, Ela dan Ica sebenarnya ingin mewawancarai sopir bajaj mengenai apa bahan bakarnya, bagaimana cara mengemudikannya, sejak kapan menjadi sopir bajaj dll. Tapi kami mengurungkan keinginan itu karena khawatir mengganggu konsentrasi Pak Sopir. Khawatir terjadi kecelakaan. Akhirnya semua pertanyaan tersebut kami simpan baik-baik (walaupun rasa kecewa seakan mengganjal di hati) Semoga suatu saat nanti kami bisa naik bajaj lagi.
Menurut penulis, bajaj itu bentuknya unik dan lucu. Di bagian dalam terdapat pembatas (hijab) antara sopir dan penumpang. Ternyata pembatas itu bersifat permanen berbeda dengan ojek motor yang tidak memiliki pembatas. So, jika naik bajaj sendiri pun tidak apa-apa. Tidak dikatakan berkhalwat (berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahrom).
Ya, beberapa menit kemudian kami sampai di depan gerbang Stasiun Gambir. Om Dedy membayarkan ongkos bajaj kami yaitu sebesar Rp 15.000- (untuk penulis, Ela dan Ica). Selanjutnya, kami berjalan masuk ke dalam area Stasiun Gambir. Let’s go!
[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]