Loading

#3

Senin, 14 Juli 2014

Kisah kami masih berlanjut. Setelah semalam makan ta’jil dalam porsi yang wow, membantu warga TI pindahan dan istirahat dengan tenang ditemani Via, Ica, Nissa, Ela dan Cylpa, alhamdulillah Allah masih memberikan nikmat umur sehingga kami bisa menatap kembali indahnya bumi-Nya yang luas. Yap, kami harus bangun pagi agar tidak ketinggalan sahur. Walaupun hari masih gelap ditambah udara dingin –mungkin orang lain memilih tetap terlelap dalam tidurnya- namun sebagai hamba-Nya kami memilih bangun dari tidur. Menyudahi bunga-bunga tidur yang sudah menemani. Mengawali hari dengan semangat dan syukur kepada Ilahi Rabbi. Merindukan kebahagiaan saat sahur bersama santri akhwat yang tersisa.

Pagi ini kami telah bangun. Antri mandi sudah menjadi hal yang biasa bagi santri PM. Usai mandi, sholat tahajjud en wittir. Masih jam 4 kurang. Kami belum beranjak turun untuk sahur. Sahur di akhir waktu memang sunnah. Via dan Cylpa masih siap-siap, Ela masih mandi. Tak lama kemudian penulis dan Nissa turun menuju dapur. Yang lainnya menyusul. Menu sahur pagi  adalah ta’jil Maghrib kemarin. So, ketemu lagi dengan nasi, sosis bakar dan sayur wortel en buncis. Eh, ada sisa fried chicken juga. Sekarang sosisnya tidak ditusuk layaknya sate seperti yang semalam. Sosisnya dipotong-potong sehingga menjadi potongan berbentuk bulat. Yummy!

Seperti biasa, kami sahur di perpustakaan PM. Eits, jangan salah. Perpustakaan kami tidak seperti perpustakaan pada umummnya. Letaknya tidak jauh dari teras depan PM. Juga tak begitu luas. Kalau tidak salah ada dua rak buku dan satu lemari yang ke-tiganya bersandar di tembok sebelah kiri. Di sebelah kanan ada meja-meja kayu –biasa digunakan saat belajar- yang tersusun. Juga meja hijau di pojok ruangan yang ukurannya lebih besar dan lebih tinggi. Di bagian depan, ada sebuah dipan berkarpetkan merah lengkap dengan white board. Berbagai jenis buku bacaan seperti siroh, aqidah, tafsir, kamus, nafsiyah, fiqih, seni, majalah, buku cerita anak dll termasuk juga al-Qur’an. Puluhan kaset film, CD dan cover majalah udara VOI tertata di lemari. Ruangan ini serba guna. Selain sebagai perpustakaan, digunakan juga sebagai tempat untuk belajar, tempat santri akhwat makan, berkumpul, mengepak VOI dll. Ok, ini seputar perpustakaan kami.

Well, beberapa suap nasi sudah masuk ke dalam mulut penulis dan Nissa. Lauk pauknya juga tidak ketinggalan. Tak lama kemudian Ica datang sambil membawa sepiring nasi plus lauknya en segelas air putih. Via dan Cylpa menyusul kemudian meletakkan koper dan tas -yang akan mereka bawa ke kampung halaman- di dekat meja. Ela yang kebagian mandi terakhir pun datang menghampiri kami. Bagi penulis juga Ica dan Ela, ini adalah sahur terakhir kami bersama Nissa, Cylpa dan Via untuk tahun ini. Tinggal beberapa jam lagi mereka akan meninggalkan kami. Kebersamaan saat sahur, membagikan ta’jil, berbuka, sholat tarawih dan aktifitas lainnya akan menjadi kenangan indah. Menjadi bagian dari sejuta kisah dalam perjalanan hidup kami. Hmm…

Akhirnya kami ber-enam selesai sahur. Waktu imsyak pun tiba. Tak lama lagi adzan Shubuh akan berkumandang. Kami memutuskan sholat Shubuh di asrama. Alhamdulillah sudah waktunya berkomunikasi dengan Allah. Penulis sholat di kamar yang dulu ditempati Ica dan Rani (sekarang menjadi tempat untuk barang-barang milik penulis, Nissa, Ela dan Tia). Sajadah biru tua dengan gambar mesjid, pohon kelapa dan bunga di bagian tepi menjadi alas yang biasa penulis gunakan ketika sholat. Pagi ini udara begitu dingin, hampir menusuk tulang rusuk. Penulis dan beberapa santri akhwat memakai jaket. Apalagi sebentar lagi kami akan berangkat. Tentu udara di luar lebih dingin.

Pagi ini kami akan mengantar Cylpa dan Via. Awalnya hanya Via yang mau berangkat habis Shubuh. Sedangkan Cylpa jam 6 diantar oleh penulis dan Ica. Tapi Cylpa juga mau ikut mengantar Via. So, dari pada bolak-balik mending sekalian aja. Oya, Fathimah juga ikut mengantar loh. Nissa memutuskan untuk tidak ikut karena ia harus menyiapkan barang untuk pulkam. Sekalian istirahat karena kemarin sore sudah ‘berjuang’ untuk mendapatkan oleh-oleh. Salah satunya kue talas Bogor. Malamnya membantu mengangkat barang warga TI. Kami mengantar Via ke Terminal bis Damri dengan naik mobil panter yang dikemudikan Kak Farid. Penulis, Via, Ica dan Cylpa duduk di kursi tengah. Sedangkan Fathimah dan Ela duduk di kursi belakang ditemani koper milik Via dan Cylpa. Setelah semua penumpang naik, Kak Farid pun tancap gas. Waktunya kami berangkat. Bismillah…

Di perjalanan penulis memperhatikan suasana di luar jendela mobil. Kami melewati sebuah pasar tradisional yang sangat ramai. Kebanyakan berjualan sayuran dan buah. Langit saat itu masih gelap. Mereka menggunakan lampu sebagai penerang. Penulis terus memperhatikan mereka. Sibuk sekali. Beberapa pedagang sedang melayani pembeli. Sisanya sibuk menata barang dagangan dan menurukan sayuran dari mobil pick up. Ada juga calon pembeli yang masih tengok kanan-kiri mencari apa yang dibutuhkannya. Ruas jalan raya dekat pasar itu cukup dipadati kendaraan. Ditambah sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan yang mengurangi ruas jalan untuk kendaraan yang sedang melaju. Sebuah pemandangan yang sudah biasa di negeri yang ‘katanya’ menjunjung tinggi HAM.  Di depan pertokoan yang masih tutup terdapat beberapa orang tua yang sedang tidur dengan beralaskan koran. Ya Allah, apa mereka tidak memiliki rumah sehingga tidur di tempat seperti itu? Apa mereka sudah sahur? Mungkin untuk mendapatkan  sesuap nasi saja susah.

Hey, pemerintah dan para penjunjung tinggi HAM di Indonesia! Di mana hak asasi yang kalian gembor-gemborkan selama ini??? Lihatlah! Berapa banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki rumah dan tidak bisa makan? Tidak memiliki pekerjaan dan tidak bisa sekolah!

~~

Ok, beberapa menit kemudian sampai juga di Terminal bis Damri. Saat-saat perpisahan tinggal di depan mata. Setelah memarkirkan mobil panter kami berhamburan keluar. Membantu mengeluarkan koper Via kemudian mengantarnya ke bis. Tiba saatnya untuk berpisah. Inilah momen yang cukup menyedihkan sekaligus mengharukan bagi kami (terutama bagi penulis). Berpisah dengan gadis Samarinda yang sudah penulis kenal selama dua tahun lebih. Jadi teringat saat pertama kali berjumpa dengannya. Menurut penulis, saat itu Via seperti gadis Solo. Santun, pemalu apalagi cara duduknya yang anggun. Sepertinya penulis akan terus mengingatnya (kecuali jika Allah mengambil ingatan itu). Hahaha…Via, apa kamu mengingatnya?

Setelah menemukan bis mana yang akan dinaiki, Via meletakkan koper miliknya di bagasi bis. Dan, saatnya berpamitan. Berbagai do’a, pesan dan salam kami ucapan. Ucapan terima kasih datang dari Via. Kini, waktunya bagi Via untuk naik ke dalam bis. Akhirnya, kami sebagai tim pengantar harus kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

Setiap pertemuan ada perpisahan. Sama seperti adanya kehidupan dan kematian. Setiap jiwa memiliki tujuan. Begitu juga Allah menciptakan manusia di muka bumi ini tak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya. Via pulang ke kampung halamannya. Kami pun insya Allah akan menyusul pulang ke rumah kami.

“Via, semoga perjalanannya menyenangkan. Semoga kuat ya di perjalanan. Udah bawa kantong plastik kan? Hehe. Good bye my friend. See you later…”

[Siti Muhaira, santriwati kelas 3 jenjang SMA, Pesantren Media]

By Siti Muhaira

Santriwati Pesantren Media, angkatan kedua jenjang SMA. Blog : http://santrilucu.wordpress.com/ Twitter : @az_muhaira email : iraazzahra28@ymail.com Facebook : Muhaira az-Zahra. Lahir di Bogor pada bulan Muharram.

One thought on “Sankhwat’s Story: Good Bye My Friend”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *