Hallo Para Sanory! Jumpa lagi di Sankhwat’s Story! Duh, udah lama nih nggak berbagi kisah sama Para Sanory tercinta di seluruh penjuru dunia. By the way, kaifa haluk? Semoga Para Sanory dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Aamiin. Eh, air matanya dihapus dulu tuh. Penulis tahu kok Para Sanory kangen banget kan sama kisah Santri Akhwat PM? Cup, cup. Penulis juga kangen kok. Aduh, jadi pengen nagis gini. Kayaknya bentar lagi pipi penulis basah sama linangan air mata. Gimana kalo kapan-kapan kita gathering bareng. Para Sanory penasaran kan sama Santri Akhwat PM? Penulis juga sih, pengen lihat wajah Para Sanory yang cantik, ganteng, imut, lucu, manis dll. Hehe.
Well, Sankhwat’s Story kali ini berjudul: Asli, Asem Banget! Wahh, apa ya yang asem? Asem banget lagi. Apa asem keringat ya? Jangan-jangan, ini kisah tentang asem keringatnya Santri Akhwat PM? Oh No! Nggak lah. Santri Akhwat PM kan wangi-wangi. Mandi aja sampe 1 jam. Oops, nggak deh. Just kidding! Masa mandi selama itu. Kami kan mandinya ngantri. Xixi. Hmm, penasaran? Apa sih yang asem? Yaudah, let’s check it out!
Para Sanory, Hari Kamis, 27 November kemarin Santri Akhwat PM kedatangan tamu dari BCC. Itu loh Bukit Cimanggu City. Tamunya beda banget dan spesial lagi. Apa yang beda? Tamu yang ini nggak berwujud manusia. Loh kok? Iya, coba tebak. Bukan manusia, bukan hewan. Melainkan berwujud BUAH! Suer deh! Tamu kami adalah lima buah manggu. Eh, mangga. Tepatnya sih mangga muda. Wuih, udah lama banget nih penulis pengen makan mangga muda. Oya, mau tahu kenapa tiba-tiba tuh mangga bisa mampir ke asrama kami?
Sebenernya sih, Maila yang bawa mangganya ke asrama. Setiap Kamis siang dia belajar menjahit di rumah Bu Wati di daerah BCC. Dari sana lah mangga-mangga itu berasal. Pulang-pulang, Maila bawa plastik putih yang isinya mangga. Wuih gede-gede lagi. Alhamdulillah. Hari berikutnya, penulis, Maila dan Icha bikin rujak mangga.
***
“Ayo, siapa yang mau patungan?”
Tanya penulis kepada beberapa santri akhwat yang lagi nyantai di lantai 1 BM. Ada Olip, Riska dan Maila. Ceritanya nih, penulis sama Maila mau bikin rujak. Siang-siang gini kayaknya pas buat makan rujak. Tapi kok Maila manyun gitu ya? Owalah, ternyata dia sedih karena di dapur nggak ada bahan buat bumbu rujak. Yang ada cuma garam dan gula pasir. Katanya sih Maila lagi kanker alias kantong kering. Uangnya masih ‘nyangkut’ di ATM. Eh, alhamdulillah ada yang mau patungan.
Then, dengan bermodal uang Rp 5.000 penulis ngacir ke warung Ucok. Mau beli cabe sama gula merah. Maila lagi ngupas kulit mangga di asrama. Duh, penulis khawatir nih uangnya nggak cukup. Sekarang BBM naik, otomatis bahan makanan juga naik. Biasanya kalo harga udah naik turunnya susah. Sekarang harga cabe berapa ya?
“Bang, cabe berapa harganya?”
“Satu ons Rp 6.000, Neng.”
“Mmm, setengah ons aja ya, Bang.”
Wah, wah… satu ons Rp 6.000. Alamaak! Untung beli setengah ons. Sisa uang bisa beli gula merah. Finally, dapet juga cabe dan gula merah. Come on, back to BM!
Maila masih serius ngupas kulit mangga. Eh, ada Icha juga. Kami dapet relawan nih. Duh, tapi kami nggak punya ulekan nih. Gimana caranya cabe sama gula merahnya cepet halus? Wait, slow down. Ada banyak jalan menuju Roma. Kami nggak abis akal. Gula merah dicampur warm water sambil dihaluskan pake sendok. Sedangkan cabe dipotong kecil-kecil, lalu diulek pake sendok. Waduh, Icha kebanyakan nuang warm waternya. Nggak seimbang sama gula merahnya. So, cair banget deh. Ok, no problem. Sekarang masukan potongan cabe dan garam.
Oya, Sanory, penulis nggak hitung loh berapa jumlah cabe yang kami gunakan. Pokoknya banyak. Ternyata setengah ons lumayan juga.
“Eh, cobain dong. Udah belum?”
Icha yang dari tadi serius menghaluskan bahan-bahan rujak buka suara. Penulis dan Maila menyicipi hasilnya. Ternyata cabe dan garamnya kurang.
“Ayo, tambah lagi! Seru Maila.”
“Duh, ini cabe bisa abis nih.” Penulis yang lagi motong mangga heran. Akhirnya cabenya ditambah lagi.
“Masih kemanisan nih.” Kata penulis.
“Ini garamnya masih kurang!” Seru Icha.
Beberapa kali kami tambah garam dan cabe. Rasanya kok belum pas ya. Semoga yang terakhir ini pas deh. Maila nambahin garam untuk kesekian kalinya. Penulis, Icha dan Maila nyicip mangga. Rasanya sesuatu banget.
“Asem….!!!” Teriak Maila.
“Coba pake sambalnya!” Icha memberi saran.
“Masih dominan asem, Cha. Rasa sambalnya kalah.” Kata penulis.
“Wuihh, ini asem banget ya.” Maila keheranan.
“Yaudah deh nggak apa-apa. Namanya juga mangga muda. Mangganya emang asem banget.”
Ya, akhirnya Icha memutuskan untuk berhenti meracik bumbu rujak. Rasanya asem, pedas, manis dan asin. Jadi Nano-Nano deh. Ok, rujak is ready to be serve!
“Ayo, yang di atas siapa yang mau rujak?” Teriak Icha kepada santri akhwat lain yang lagi asik nonton di lantai 2 BM. Udah diteriakin mereka belum muncul juga. So, penulis, Maila, Icha sama Riska yang makan.
Ekspresi Wajah Maila, Icha sama Riska saat makan mangga lucu banget. Mereka keaseman. Eh, akhirnya santri akhwat yang di lantai 2 turun juga. Ada Via, Daffa, Ela dan Cylpa. Wah, Cylpa nggak mau tuh makan yang asem-asem. Penulis ketawa-ketawa lihat ekspresi wajah mereka yang aneh.
“Cha, bagi minumnya!”
Selain air minum, Maila dan Icha makan meises ceres buat ngilangin rasa rujak yang Nano-nano tadi.
Nah, Para Sanory, sekarang udah tahu kan apa yang asem? Yup, bener. Mangga yang asem. Asem banget. But, it’s no problem. Santri akhwat seneng-seneng aja tuh. Ada juga sih yang nyerah setelah makan beberapa potong mangga. Tapi jarang-jarang nih makan rujak bikinan sendiri. Gratis pula. Haha. Pokoknya,
“Asli, asem banget!”
Well, Sankhwat’s Story pamit dulu ya. Jumpa di kisah berikutnya. Tetap setia di Sankhwat’s Story. See you!
[Siti Muhaira, santriwati jenjang SMA angkatan ke-2, Pesantren Media]